Selasa, 16 November 1965
Bertempat di War Room Staf Angkatan Bersenjata telah berlangsung rapat kerja menteri/panglima dari keempat angkatan, yang merupakan rapat pertama sejak terjadinya G-30-S/PKI. Rapat yang dipimpin oleh Menko Hankam/KASAB Jenderal AH Nasution ini membahas masalah kekompakan ABRI, baik lahir maupun batin, terutama akibat dari petualangan Gestapu yang memang menimbulkan keretakan lahir dan bathin diantara angkatan bersenjata. Dalam rapat tersebut diputuskan secara bulat bahwa kekompakan ABRI adalah mutlak diperlukan. Dalam hubungan ini pimpinan Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian, telah menyatakan kesediaan untuk membantu Menpangad Letjen. Soeharto dalam hal pengumpulan fakta-fakta dan persaksian dalam angkatannya masing-masing.
Segenap anggota DPR-GR yang merupakan wakil-wakil dari golongan Nasionalis, Agama Islam/Kristen/Katolik, dan Karya, dalam sebuah pernyataan yang dibacakan oleh Harsono Tjokroaminoto di Jakarta memberikan dukungan sepenuhnya atas kebijaksanaan yang dijalankan oleh Pimpinan DPR-GR yang telah membekukan keanggotaan DPR-GR bagi semua anggota DPR-GR yang mewakili PKI beserta organisasi-organisasi massanya yang terlibat dan atau diduga terlibat dalam G-30-S/PKI yang kontrev itu. Mereka juga meminta kepada Presiden Soeharto untuk segera mengambil keputusan politik terhadap Gerakan 30 September sesuai dengan tanggung-jawab Bung Karno kepada negara, revolusi dan tuhan, dan sesuai dengan tuntutan-tuntutan rakyat, yaitu membubarkan PKI beserta organisasi-organisasi massanya tanpa embel-embel.
Rabu, 16 November 1966
Jenderal Soeharto dalam sambutan tertulisnya pada Seminar II Serikat Sekerja Pos Telepon dan Telekomunikasi (Sekber Golkar) di Lawang, Jawa Timur, baru-baru ini telah menekankan betapa pentingnya peranan ekonomi bagi proses stabilisasi politik. Dikatakan juga, kemerosotan ekonomi merupakan salah satu sumber dari ketidak stabilan politik yang senantiasa dihadapi Indonesia pada masa lalu. Oleh sebab itu, dalam rangka penciptaan stabilitas politik perlu adanya pembangunan ekonomi.
Sementara itu penekanan dalam bidang politik telah dikemukakan Jenderal Soeharto dalam sambutannya pada peringatan ulang tahun Korps Pierre Tendean beberapa waktu yang lalu. Pada kesempatan ini, Jenderal Soeharto antara lain mengemukakan perlunya tiga syarat pokok bagi perjuangan Orde Baru. Ketiga syarat pokok itu ialah kemurnian Pancasila, kemurnian pelaksanaan asas dan sendi-sendi UUD 1945 dan bersih dari mental G-30-S/PKI.
Untuk memperlancar pelaksanaan tugas di departemen-departemen dan penegasan struktur organisasi masing-masing departemen dalam kaitannya dengan keseluruhan jaringan kabinet, maka Presidium Kabinet Ampera telah menggariskan struktur organisasi dan pembagian tugas dari departemen-departemen pemerintahan dalam Kabinet Ampera. Hal ini tercantum dalam Keputusan Kabinet Ampera No. 75/U/Kep/11/1966. Yang dikecualikan dalam pengaturan ini adalah departemen-departemen di lingkungan Angkatan Bersenjata.
Senin, 16 November 1970
Malam ini di Istana Negara berlangsung peringatan Nuzulul Qur’an yang juga dihadiri oleh Presiden Soeharto. Dalam sambutannya, Presiden mengajak umat Islam untuk mengejar kemajuan, dan meninggalkan keterbelakangan. Menurut Kepala Negara, keterbelakangan dan kemelaratan bukan saja merupakan penderitaan lahiriah, melainkan juga dapat menjadi sumber kegelisahan batiniah dan moral. Sebaliknya, kemajuan bukan saja harus diusahakan, tetapi harus dijadikan satu tekad dan sikap mental bagi setiap warganegara. Demikian Presiden Soeharto.
Kamis, 16 November 1972
Presiden Soeharto dan rombongan hari mengakhiri kunjungannya di Prancis dan menuju Wina, Austria, dengan menumpang pesawat Fokker 28 milik Prancis. Setiba di Wina, Presiden dan rombongan disambut oleh Presiden Franz Jonas dan Menlu Austria Rudolf Kirchs.
Dalam jamuan makan malam yang diselenggarakan oleh Presiden Austria, Franz Jonas, untuk menghormati kunjungannya, Presiden Soeharto antara lain mengharapkan adanya kerjasama dari semua bangsa dalam tatanan hubungan internasional yang baru, demi memecahkan masalah-masalah dunia yang dewasa ini sudah bersifat universal.
Jum’at, 16 November 1973
Presiden Soeharto pagi ini membuka Kongres Nasional ke-3 LVRI di Gedung Granada, Jakarta. Dalam sambutannya, Kepala Negara mengatakan bahwa kita jangan mengharapkan keajaiban, sebab pembangunan merupakan proses yang panjang dan sambung menyambung. Banyak masalah yang kita hadapi, sehingga kita harus menggarap lebih dahulu masalah yang paling mendesak.
Kepala Negara membantah bahwa kita hanya memperhatikan pembangunan di bidang ekonomi dan mengabaikan bidang non-ekonomi. Dikatakannya bahwa meskipun kita memprioritaskan pembangunan ekonomi, kita juga berusaha mengembangkan kehidupan demokrasi, mendewasakan kebebasan, memperkokoh kehidupan konstitusional dan mengusahakan kepastian hukum. Jadi, pembangunan bangsa dalam arti luas tetap kita kerjakan. Kita menyadari bahwa pembangunan ekonomi saja tanpa usaha memberi tempat dan arti terhadap nilai-nilai kemanusiaan tidak akan mendatangkan kebahagiaan. Sebaliknya, kebahagiaan dan perbaikan mutu kehidupan juga tidak akan mungkin tercapai dalam keadaan ekonomi yang buruk.
Sabtu, 16 November 1974
Delegasi Parlemen Rumania yang terdiri atas enam anggota Parlemen dan dipimpin oleh Ketua Parlemen Nicolas Giosan, pagi ini diterima oleh Presiden Soeharto di Istana Merdeka. Yang menjadi fokus perhatian dalam pertemuan itu adalah kemungkinan partisipasi Rumania dalam pembangunan industri petrokimia, kimia, bahan-bahan bangunan dan konstruksi di Indonesia. Selesai bertemu dengan Kepala Negara, Dr. Giosan mengatakan kepada para wartawan bahwa delegasinya menilai pembicaraan itu sangat bermanfaat untuk mengembangkan hubungan kedua negara dalam bidang politik, kebudayaan, teknik, dan trauma dalam bidang ekonomi dan perdagangan.
Minggu, 16 November 1975
Presiden Soeharto hari ini mengadakan pembicaraan tidak resmi tahap pertama dengan PM Tun Abdul Razak di Prapat, Sumatera Utara. Menurut Menteri Luar Negeri Adam Malik, pembicaraan tahap pertama ini baru bersifat tukar pikiran saja sekitar penyelenggaraan KTT ASEAN. Ternyata pada tahap ini tidak ada perbedaan yang bersifat fundamental antara kedua pemimpin itu.
Dalam pembicaraan tidak resmi tahap kedua antara Presiden Soeharto dan PM Razak, kedua pemimpin pemerintahan itu berhasil menyepakati beberapa hal. Keduanya antara lain sepakat bahwa Indonesia dan Malaysia perlu meningkatkan kewaspadaan nasional masing-masing. Untuk itu kedua negara akan meningkatkan kerjasama di berbagai bidang.
Selasa, 16 November 1976
Presiden Soeharto membuka dan memimpin sidang Dewan Stabilisasi Politik dan Keamanan Nasional di Bina Graha pada jam 10.10 pagi ini. Sidang hari ini antara lain membahas masalah Timor Timur yang sedang disorot oleh forum-forum internasional, terutama sidang Komite IV PBB. Saat ini Komite IV PBB sedang membahas rancangan resolusi tentang Timor-Timur yang diajukan oleh sebuah negara Afrika.
Dalam hubungan ini Presiden menegaskan bahwa apapun yang diputuskan oleh Komite IV PBB itu mengenai Timor-Timur, sikap Pemerintah sudah jelas yaitu bahwa masalah itu adalah persoalan dalam negeri Indonesia. Ia menekankan bahwa setiap tantangan politis yang muncul di luar negeri dan di forum-forum internasional perlu kita hadapi secara politis pula. Lebih jauh dikatakannya bahwa tugas kita adalah meyakinkan PBB khususnya bahwa Indonesia memandang persoalan Timor Timur itu sebagai kelanjutan proses dekolonisasi dan penentuan nasib sendiri.
Jum’at, 16 November 1979
Pagi ini Presiden dan Ibu Soeharto berpamitan kepada Ratu Elizabeth dan Duke of Edinburgh di Istana Buckingham. Selanjutnya Presiden dan rombongan menuju Wisma Indonesia untuk beristirahat sebelum terbang ke Kolombo pada pukul 14.45 siang ini. Keberangkatan Presiden dan rombongan di bandar udara Heathrow dilepas oleh Lord Chamberlain, yang mewakili Ratu Elizabeth II, Menteri Luar Negeri Inggris, Peter Blaker, Duta Besar Inggris untuk Indonesia, dan Duta Besar dan Nyonya Saleh Basarah, beserta masyarakat Indonesia di London.
Jum’at, 16 November 1984
Pagi ini Presiden dan Ibu Soeharto secara resmi melepas keberangkatan Presiden Hongaria dan Nyonya Pal Losonczi dari pelabuhan udara internasional Halim Perdanakusuma. Dari Jakarta, dengan pesawat “Arun” Pelita, kedua tamu negara melanjutkan kunjungan ke Yogyakarta dan menghabiskan sisa kunjungannya di Indonesia dengan mengunjungi obyek-obyek wisata di sana.
Sabtu, 16 November 1985
Pagi ini, waktu setempat Presiden, Soeharto dan rombongan mendarat di Pangkalan Angkatan Udara Palam, India. Perdana Menteri Rajiv Gandhi, yang mengundang Presiden Soeharto untuk mampir disana dalam perjalanan kembali ke Indonesia, menyambut Presiden dan rombongan di pangkalan udara itu.
Kunjungan Presiden ke India ini merupakan kunjungan tidak resmi yang dilakukan atas permintaan Perdana Menteri India Rajiv Gandhi. Di pangkalan udara ini juga keduannya mengadakan pembicaraan tidak resmi, baik menyangkut hubungan bilateral, masalah-masalah regional dan internasional. Mengenai hubungan bilateral antara lain telah dibahas masalah kerjasama ekonomi antara kedua negara; antara lain disinggung soal bantuan India kepada Pabrik Semen Padang. Sedangkan mengenai aspek internasional, telah dibahas masalah Gerakan Non-Blok. Disepakati bahwa kedua negara akan selalu berusaha menjaga kemurnian gerakan tersebut.
Usai pembicaraan, Presiden dan rombongan langsung terbang ke tanah air. Pesawat yang ditumpangi Kepala Negara dan rombongan mendarat di pelabuhan udara internasional Halim Perdanakusuma petang ini.
Jum’at, 16 November 1990
Pagi ini Presiden dan Ibu Soeharto serta rombongan mengunjungi Tembok Besar yang terletak kurang lebih 70 kilometer dari Beijing. Sekembali dari Tembok Besar yang sangat terkenal itu, masih di luar kota Beijing, Presiden dan Ibu Soeharto mengunjungi koperasi di desa Si Ji Qing (Kota yang Selalu Hijau). Dengan menggunakan lahan seluas 2.300 hektar, koperasi ini melayani kebutuhan sayur dan buah-buahan untuk kota Beijing.
Dalam pembicaraan dengan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Cina, Ziang Zhemin, di Gedung Pusat Pemerintahan hari ini, Presiden ingin mengetahui dari tangan pertama, sampai dimana Partai Komunis Cina menganut prinsip tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Ziang Zhemin menegaskan kepada Presiden bahwa PKC tidak mencampuri urusan dalam negeri dan partai komunis negara lain. Dikatakannya juga bahwa PKC menginginkan RRC bekerjasama dengan negara lain.
Atas pertanyaan Ziang Zhemin, Presiden mengatakan bahwa bekas-bekas anggota PKI yang masih berada di RRC boleh saja kembali ke Indonesia, tetapi mereka akan harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka didepan pengadilan. Jika ada diantara mereka nanti ternyata tidak bersalah, maka mereka tidak diapa-apakan.
Kepadanya, Presiden juga menjelaskan bahwa kini tidak ada satu orangpun tahanan PKI di Indonesia dan bekas-bekas anggota PKI yang telah menjalani hukuman itu bebas hidup di masyarakat.
Sore ini Presiden dan Ibu Soeharto mengunjungi Masjid Dongsi, salah satu dari 60 masjid yang terdapat di Beijing. Di masjid yang dibangun pada tahun 1447 Masehi ini, Presiden menyerahkan sumbangan uang sebesar US$30.000,- serta sejumlah kitab Suci Al Quran terbitan Indonesia dan kaligrafi kepada imam masjid tersebut, Haji Saliha An Shi Wei. Imam masjid ini memberikan sebuah kitab suci Al Quran terbitan Cina kepada Presiden Soeharto, sebagai tanda persahabatan sesama muslim.
Senin, 16 November 1992
Didampingi Menko Ekuin Radius Prawiro dan Menteri Luar Negeri Ali Alatas, pagi ini di Istana Merdeka, Presiden Soeharto menerima kunjungan kehormatan rombongan menteri Australia. Rombongan tersebut terdiri atas Menteri Luar Negeri Gareth Evans, Menteri Perdagangan dan Industri John Button, Menteri Pendidikan dan Latihan Ken Christian Beazley, Menteri Sumber Daya dan Parawisata Allan Griffith serta Menteri Industri Primer dan Energi Simon Crien. Mereka akan menghadiri forum yang akan membahas berbagai masalah kerjasama dengan menteri-menteri Indonesia.
Masalah yang akan dibahas dalam forum ini termasuk masalah pengembangan perdagangan dan kerjasama ekonomi antara kedua negara. Selain itu akan ditanda tangani lima kesepakatan mengenai perlindungan dan peningkatan investasi, kerjasama bea cukai serta hak cipta. Dalam kesepakatan kerjasama dalam bidang teknologi nuklir itu, Australia memberikan akses kepada Indonesia guna mempelajari teknologi nuklir untuk kesehatan dan teknologi perlindungan radiasi Australia.
Presiden Soeharto mengatakan bahwa pemerintah terus berusaha untuk meningkatkan pengawasan terhadap para pengusaha pemegang HPH, meski ada diantara mereka yang berusaha berbohong tentang kegiatan yang mereka lakukan. Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Forestry Agreement, maka pengusaha harus mentaati beberapa ketentuan antara lain jumlah pohon yang boleh ditebang pada suatu areal. Pemerintah menempuh berbagai upaya mengawasi berbagai ketentuan itu.
Dalam hubungan ini, kemampuan para ahli Indonesia didalam melakukan pemotretan udara serta membuat inteprestasinya harus terus ditingkatkan agar ketergantungan dari negara lain bisa dikurangi secara bertahap. Demikian dikatakan oleh Kepala Negara sebelum menyaksikan pemaparan Sistem Informasi Geografis Kehutanan yang dibuat oleh Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) di Bina Graha siang ini. Acara ini dihadiri pula oleh Menteri Pertanian Wardojo, Menteri Transmigrasi Sugiarto, Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap, Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita, serta Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie.
Sumber : Buku Jejak Langkah Pak Harto Jilid 1-6
Penyusun : Oval Andrianto