Selasa, 5 Oktober 1965
Bertepatan
dengan hari ABRI ke -20, hari ini jenazah tujuh pahlawan revolusi
diberangkatkan ke Taman Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, dari MBAD di jalan
Merdeka Utara. Iringan jenazah dilepas oleh jutaan rakyat Jakarta disepanjang
jalan menuju Kalibata, sementara suasana kota diselimuti mendung yang diselingi
hujan rintik-rintik. Waperdam I Dr. Soebandrio ditunjuk oleh Presiden sebagai
inspektur upacara dalam pemakaman tersebut.
Sementara itu
ppada upacara peglepasan jenazah di MBAD pagi ini Jenderal Nasution, dengan
dengan tersendat-sendat mengatakan: “Fitnah, fitnah adalah lebih jahat dari
pembunuhan. Tetapi kita jangan dendam hati. Kami semua sedia juga mengikuti
adik-adik, jika memang fitnah itu benar. Kami akan buktikan. Hari ini adalah
hari Ankatan Perang yang selalu gemilang. Akan tetapi kali ini dihinakan oleh
khianatan, dihinakan kekejaman,...”
Sabtu, 5 Oktober
1968
Hari ini segenap
bangsa Indonesia, dan khususnya anggota ABRI , memperingati ulang tahun ABRI
ke-23. Dalam memperingati ulang tahun ABRI pagi ini, Presiden Soeharto
menegaskan bahwa tidak ada alasan untuk mengkhawatirkan peranan ABRI yang besar
dalam berbagai bidan pemerintahan sekarng ini. Presiden mengatakan bahwa
peranan yang besar itu “sama sekali bukan didorong oleh karena ABRI haus
kekuasaan, melainkan semata-mata untuk memenuhi kehendak rakyat sebagaimana
naluri ABRI yang sejak dilahirkan 23 tahun yang lalu selalu tunduk kepada
rakyat”.
Minggu, 5 Oktober 1969
Pada upacara peringatan
Hari ABRI ke-24 hari ini di Senayan, Presiden Soeharto mengungkapkan perubahan
dan penyempurnaan struktur organisasi dan prosedur dalam Departemn Haankam.
Sebagai langkah pelaksanaan pertama, mulai hari ini ABRI dinyatakan terdiri
atas Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), dan Kepolisian Negara (Polri).
Dalam rangka ini, maka sebutan panglima angkatan diganti dengan Kepala Staf.
Menurut Presiden penyempurnaan-penyempurnaan akan dilaksanakan secara bertahap
dengan tujuan mencapai peningkatan integrasi dan konsolidasi dalam tubuh ABRI.
Senin, 5 Oktober
1970
Upacara
peringatan Hari ABRI yang ke-25 dipusatkan di lapangan Parkir Timur Senayan,
Jakarta, dimana Presiden Soeharto bertindak sebagai Inspektur Upacara. Dalam
amanatnya, Presiden antara lain mengatakan bahwa selama 25 tahun ABRI telah
banyak berbuat dalam mengakkan prinsip dan cita-cita kehidupan yang lebih baik,
lebih sejahtera, lebih adil untuk kita semuanya. Hal ini dilakukan berdasarkan
keyakinan ABRI pada Pancasila dan UUD 1945 serta kecintaannya kepada negara
kesatuan RI. Dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut ABRI selalu mendapatkan
dukungan rakyat, karena rakyat tahu bahwa ABRI berjuang untuk kepentingan
rakyat. Unsur dukungan rakyat ini merupakan salah satu modal ABRI yang terpenting, yang tidak boleh terlepas
dari tangannya.
Menyinggung
tentang dwifungsi, Presiden mengatakan bahwa segala yang dilakuakn ABRI itu
berdasarkan tatacara, berdasarkan aturan permainan. ABRI duduk dalam lembaga
perwakilan rakyat dipusat maupun di daerah, menjadi Gubernur sampai lurah
berdasarkan pilihan dan peraturan perundang-undanganyang berlaku. Bahkan yang
lebih penting lagi ABRI menerima tugas-tugas tersebut karena di dorong oleh
idealisme perjuangan, bukan karena ingin jabatan, bukan karena ingin menumpuk kekuatan
untuk kepentingan sendiri.
Selasa, 5
Oktober 1971
Menhankam/Pangab
Jenderal Soeharto dalam amanatnya pada peringatan Hari ABRI ke-26 hari in
mengatakan bahwa tugas angkatan perang dan kepolisian RI dalam pembangunan
sungguh tidak ringan. Angkatan perang dan kepolisian RI, menurut Jenderal
Soeharto, harus menjadi kekuatan pembaharu masyarakat, sehingga bangsa
Indonesia tumbuh menjadi bangsa yang modern.
Jenderal
Soeharto selanjutnya mengatakan bahwa ABRI harus menunjang pelaksanaan
pembangunan ekonomi. Menyinggung tentang turut sertanya ABRI dalam kegiatan
politik, pemerintahan dan pembangunan, dikatakan oleh Presiden bahwa hal itu
adalah untuk bersama-sama rakyat menggerakkan pembangunan dan membina kehidupan
politik yang demokratis berdassarkan Pancasila. Ditegaskannya bahwa hal itu
bukan untuk kepentingan ABRI, bukan pula untuk mempertahankan kekuasaan,
apalagi untuk menghadirkan rezim militer. Dikemukakan pula bahwa pelaksanan
peranan ABRI sebagai kekuatan sosial politik, dan pengkaryaan anggota-anggota
ABRI pada tugas sipil, harus dilaksanakan dengan landasan serta arah suksenya
pembangunan dan kehidupan demokratis itu. Jenderal Soeharto menilai peranan
ABRI sebagai usaha untuk mengembalikkan tegaknya wibawa dan kemampuan aparatur
sipil.
Kamis, 5 Oktober
1972
Presiden Soehato
menolak anggapan bahwa pemeliharaan stabilisasi nasional sekarang ini berlaku
ketat, dan tidak memungkinkan adanya perubahan-perubahan sosial dan politik.
Pengalaman menunjukkan bahwa pencegahan sebelumnya lebih penting, sebab kita
tidak boleh mengambil resio apapun terhadap kemungkinan terjadinya
gejolak-gejolak sosial politik baru. Demikian antara lain dikatakan Presiden
Soeharto dalam amanatnya pada hari ulang tahun ABRI ke-27 hari ini.
Bertepan dengan
peringatan Hari BRI, Presiden Soeharto hario ini meresmikan museum ABRI di
jalan Gatot Subroto, Jakarta. Museum ini diberinya nama Satria Mandala. Dalam
museum ini terdapat visualisasi perkembangan ABRI dari tahun 1945 hingga
sekarang.
Rabu, 5 Oktober
1973
Dalam amanatnya
pada peringatan Hari ABRI ke-28 di Parkir Timur, Senayan, Jakarta, pagi ini,
Presiden Soeharto menekankan bahwa keutuhan ABRI lebih diperlukan pada tingkat
perjuangan bangsa dewasa ini dimana ABRI memikul tugas sebagai kekuatan
pemantap dan penggerak. Menurut Presiden, keutuhan itu lebih diperlukan, sebab
sejak awal tahun1966 ABRI dengan sadar memikul tanggungjawab politik yang lebih
besar. Artinya, ABRI ikut serta dalam mensukseskan pelaksanaan progaram-program
nasional dalam bidang-bidang yang sangat luass ruang lingkupnya. Hal ini
dilakukan dengan satu tujuan, yaitu untuk memperkokoh pelaksanaan Pancasila dan
UUD 1945, untuk kesejaheraan dan kemajuan seluruh bangsa Indonesia.
Selanjutnya
ditekankan oleh Presiden bahwa didalam melaksanakan tugas keamanan dan pertahan
nasional, ABRI tidak hanya mengandalkan diri pada kekuatan senjata, melainkan
harus berusaha juga untuk mengembangkan nilai-nilai dan nilai luhur bangsa kita
sendiri yang tersimpul dalam Pancasila. Ditegaskannya pula bahwa penerapan
Pancasila dan UUD 1945 dalam seluruh segi kehidupan bangsa kita inilah yang
akan merupakan jaminan bagi pertumbuhan dan keselamatan bangsa kita seterusnya.
Demikian antara lain yang dikemukakan
Presiden.
Sabtu, 5 Oktober
1974
Pagi ini Hari
ABRI ke-29 diperingati secara nasional dalam suatu upacara di Parkir Timur,
Senayan, Jakarta. Presiden Soeharto yang bertindak sebagai Inspektur Upacara
dalam acara peringatan tersebut, dalam amanatnya antara lain mengatakan bahwa
bangsa Indonesia tidak terkotak-kotak atau terbagi-bagi dalam generasi yang
berlainan. Apalagi ABRI, kata Kepala
Negara, tubuhnya tidak terbagi oleh Generasi 45 dan generasi yang lebih muda.
Selanjutnya
Presiden menegaskan bahwa tahun-tahun ini merupakan tahun peralihan generasi.
Semangat perjuangan dan cita-cita besar yang bersumber pada nilai-nilai 45
harus dipelihara dan diperkuat, tidak hanya oleh ABRI, melainkan juga oleh
seluruh bangsa Indonesia. Nilai-nilai 45 itu bahkan harus diteruskan dari
generasi; demikian penegasan Presiden Soeharto.
Minggu, 5
Oktober 1975
Presiden
Soeharto mengatakan bahwa ABRI harus berani melihat kembali kekuatan dan
kelemahan yang ada pada dirinya,
disamping harus berani pula melihat keberhasilan, kekurangan dan
ketertinggalannya. Dorongan terhadap ABRI ini dikemukakan Kepala Negara dalam
konteks kejuangan, dimana seorang pejuang ahrus memiliki cita-citanya dengan
segala usaha serta memiliki pengabdian yang bertekad mewujudkan prinsip dan
cita-citanya itu. Demikian antara lain diamanatkan oleh Kepala Negara, yanng
bertindak sebagai Inspektur Upacara pada perayaan ulang tahun BRI ke-30 pagi
ini di Parkir Timur, Senayan, Jakarta.
Selasa, 5
Oktober 1976
Ulang tahun ABRI
yang ke-31, pagi ini diperingati dalam suatu upacara di Parkir Timur, Senayan,
Jakarta, dimana Presiden Soeharto bertindak sebagai Inspektur Upacara. Dalam
amanatnya, Kepala Negara antara lain mengatakan bahwa kepeloporan ABRI bukan
didasarkan atas paksaan dengan mengandalkan kekuatan senjata, melainkan dengan
bekal dan menyebarkan kemurnian semangat
45 yang memang menjadi kekuatan pkok ABRI. Inti semangat 45 adalah kesetian
pada dasar-dasar dan tujuan kemerdekaan, kerelaan berkorban untuk memperthankan
dan mewujudkan tujuan kemerdekaan, serta kemampuan untuk menundukkan
tantangan-tantangan dalam mewujudkan cita-cita itu.
Lebih jauh
dikatakan oleh Presiden bahwa sepanjang hasil-hasil pemerikasaan hingga
sekarang tidak ada kesatuan ABRI__ yang kecil sekalipun __ yang
terlibat dalam “Gerakan Sawito” yang baru-baru ini diumumkan oleh pemerintah,
Namun demikian, dimintanya agar segenap parajurit ABRI senantiasa waspada,
karena setiap ada gerakan ilegal dan inkonstitusional dari manapun datangnya,
selalu diusahakan agar ada oknum atau satuan-satuan ABRI yang mendukungnya.
Rabu, 5 Oktober
1977
Peringatan Hari
ini dipusatkan di Senayan, dimana Presiden Soeharto bertindak sebagai Inspektur
Upacara. Dalam amanatnya, Presiden mengemukakan bahwa sebagai kekuatan politik,
gagasan dan pikiran ABRI mengenai masalah kenegaraan tetap disalurkan mengenai
cara-cara yang demokrasi dan konstitusional. Juga diingatkan bahwa selama inni
ABRI juga tidak pernah memaksakan kehendaknya. Hal ini menunjukkan bahwa ABRI
sebagai pengawal Pancasila dan UUD 1945, tetap menjunjung ciri-ciri demokrasi
kita, yaitu mufakat melalui musyawarah.
Menurut Kepala
Negara, sejaralah yang telah melahirkan peranan kembar ABRI, yang kemudian
mendapat tempat dalam kehidupan bangsa dan kenegaraan Indonesia yang kemudian
dikenal dengan masa Dwifungsi ABRI. Tetapi ia menegaskan bahwa Dwifungsi sama
sekali tidak berani bahwa ABRI mencampuri atau mengambil alih urusan sipil,
lebih-lebih bidang atau urusan yang telah berjalan dengan baik. Namun duduknya
seorang anggota ABRI dalam jabatan sipil harus dapat menjadi teladan, baik
dalam mental ideologi, dalam semangat pengabdian, dalam disiplin, maupun dalam
kemampuan teknnis. Demikian antara lain dikatakan Presiden Soeharto.
Kamis, 5 Oktober
1978
Pagi ini di
Parkir Timur Senayan, berlangsung upacara peringatan Hari ABRI ke-33. Pada
peringatan ini Presiden Soeharto telah bertindak sebagai Inspektur Upacara.
Didalam amanatnya, Presiden mengajak segenap warga ABRI untuk meresapkan dan
menghayati kembali kemanunggalan ABRI dengan rakyat. Dikatakannya bahwa
kemanunggalan itu telah pernah terwujud dalam kehidupan bangsa kita. Sekarang
dan seterusnya, kemanunggalan itu harus makin diperkuat demi suksesnya sejarah
yang diletakkan diatas pundak ABRI.
Selanjutnya
dikatakan oleh Presiden bahwa ABRI bukan kelas khusus yang berada diatas
rakyat. Menjadi anggota ABRI bukanlah untuk mencari suatu kehormatan, melainkan
suatu kepercayaan, bukan suatu keistimewaan melainkan suatu pengabdian. Jadilah
ABRI yang dicintai rakyat, karena ABRI telah setia dan mencintai rakyat.
Demikian ajakan Presiden.
Jum’at, 5
Oktober 1979
Ulang tahun ABRI
yang ke-34, hari ini diperingati dalam suatu upacara di Parkir Timur, Senayan,
Jakarta, dimana Presiden Soeharto bertindak selaku Inspektur Upacara. Dalam
amanatnya, Presiden Soeharto mengatakan, ABRI harus dapat menempatkan diri dan
memainkan peranan yang tepat dalam situasi rasional, regional, dan
internasional sekarang ini. Hal ini karena ABRI merupakan salah satu modal
dasar pembangunan nasional baik sebagai kekuatan pertahanan-keamanan maupun
sebagai kekuatan sosial.
Selanjutnya
Presiden berbicara secara panjang lebar mengenai kepribadian ABRI. Dikatakannya
bahwa kepribadian ini lahir dan berkembang dari sejarah perjuangan ABRI
sendiri. Karena itu ABRI adalah kekuatan bangsa yang mendukung dan berjuang
untuk cita-cita kemerdekaan. Karena itu pula, ABRI sama sekali bukan
semata-mata alat negara. Menurut Presiden, disinilah letak suasana kerohanian
dan sumber sejarah yang melahirkan Dwifungsi ABRI. Peranan ABRI sebagai kekuatan
pertahanan-keamanan dan sebagai kekuatan sosial ini telah dilaksanakan sejak
semula, jauh sebelum dikenal istilah Dwifungsi ABRI.
Minggu, 5
Oktober 1980
Pagi ini
Presiden Soeharto bertindak sebagai Inspektur Upacara pada peringatan hari
ulang tahun ABRI yang ke-35 yang dipusatkan d jalan tol Jagorawi. Peringatan
hari ulang tahun ABRI kali ini merupakan acara terbesar yang pernah
diselenggrakan, dengan menggelarkan kekuatan ABRI.
Salah satu acara
yang menarik adalah peragaan terjun bebas dari ketinggian 12.000 kaki oleh 40
orang anggota Kopassandha. Begitu mereka mendarat dalam jarang lebuh kurang 20
meter dari tribun kehormatan, salah seorang dari mereka menyematkan wing
kehormatan ke dada Presiden, sementara yang lainnya mnyampaikan rangkaian bunga
anggrek kepada Ibu Soeharto.
Kepala Negara
dalam amanatnya antara lain mengatakan bahwa dalam zaman pembangunan masyarakat
modern, kemanunggalan ABRI dan rakyat harus tetap kita pertahankan. Karena
itulah, gerakan ABRI masuk desa yang kini sedang kita galakan lagi merupakan
bagian yang penting untuk memperkuat kemanunggalan ABRI dan rakyat itu. Apapun
yang dikerjakan ABRI dalam gerakkan masuk desa ini yang paling utama adalah
agar rakyat merasa benar-benar tenteram hatinya. Pendek kata, demikian
ditegaskan Presiden, ABRI harus berada di hati rakyat dan dicintai rakyat,
karena pada rakyat itulah kekuatan ABRI.
Senin, 5 Oktober
1981
Presiden dan Ibu
Soeharto pagi ini menghadiri acara peringatan ulang tahun ABRI ke-36 yang
dipusatkan di Cilegon, Jawa Barat. Bertindak sebagai Inspektur Upacara, dalam
amanatnya Presiden antara lain mengatakan bahwa dengan segala masalah dan
tantangan yang dihadapinya, Republik Proklamasi dapat tetap tegak seperti
sekarng ini, antara lain adalah berkat pengawalan yang setia dari ABRI. Di
sana-sini dalam sejarah pertumbuhannya, ABRI memang pernah mengalami berbagai
luka pada tubuhnya. Namun secara keseluruhan ABRI tetap utuh dan setia kepada
Pancasila dan UUD 1945, melindungi rakyat dan membentengi negara dari segala
macam ancaman.
Selanjutnya
dikatakan oleh Kepala Negara bahwa jika ABRI tetap utuh sampai sekarang, maka
kekuatan pokok keutuhan itu adalah kesetiaan ABRI pada cita-cita rakyat,
cita-cita Proklamasi Kemerdekaan. Jika ABRI bberhasil menunaikan panggilan
tugasnya mebela keselamatan rakyat dan melindungi kedaulatan negara, maka
kekuatan pokonya adalah manunggalan ABRI dan rakyat. Dengan kemanunggalan ABRI
dan rakyat, dan dengan melaksanakan dwi-fungsinya, maka peranan dan kegiatan
ABRI sebagai pejuang dan prajurit harus sekaligus merupakan pengalaman
Pancasila dalam mewujudkan keadilan sosial bagai seluruh rakyat Indonesia.
Selasa, 5
Oktober 1982
Presiden dan Ibu
Soeharto pagi inimenghadiri upacara peringatan hari ulang tahun ke-37 ABRI yang
berlangsung di Lapangan Udara Utama Iswahyudi, Madiun, Jawa Timur. Dalam
amanatnya, Presiden antra lain mengatakan bahwa sejalan dengan kemajuan
pembangunan kita maka ABRI sekarang makin bertambah kuat. Kita telah memiliki
Angkatan Bersenjata yang mempunyai personil yang terlatih baik dan sistem
persenjataan yang mutakhir di darat, laut dan udara. Kita sudah mempunyai
Angkatan Bersenjata yang kemampuan profesionalnya tidak kalah dengan
negara-negara berkembang lainnya. Walaupun demikian, tingkat kemampuan yang
telah kita capai itu baru merupakan sebagian dari sistem pertahanan keamanan
yang kita bangun, yaitu sistem pertahana keamanan yang didasarkan pada dukungan
segenap potensi nasional secara semesta. Demikian Presiden.
Rabu, 5 Oktober
1983
Presiden dan Ibu
Tien Soeharto pagi ini menghadiri upacara peringatan Hari ABRI ke-38 yang
berlangsung di Lapangan Parkir Timur, Senayan, Jakarta. Selain parade dan
defile, peringatan ulang tahun ABRI kali ini dimeriahkan pula dengan pameran
industri dan teknologi pertahanan keamanan. Pembukaan pameran ini diresmikan
oleh Presiden dengan menekan tombol sirrene, sementara Ibu Tien melakukan
pengguntungan pita.
Dalam amanatnya
di depan para anggota ABRI dan undangan lainnya, Kepala Negara mengatakan bahwa
dengan kesadaran akan tugas sejarah yang diemban, maka ABRI dengan rasa
tanggungjawab yang sebesar-besarnya juga telah melaksanakan Dwifungsi dengan
sebaik-baiknya. Inilah yang menjadi kunci dari mantapnya stabilitas nasional
selama ini. Di satu pihak, dengan Dwifungsi itu ABRI ikut mengembangkan
Demokrasi Pancasila, dan di lain pihak, ABRI secara sadar menghindarkan diri
dari akses-akses negatif peranan ABRI dalam pembangunan bangsa seperti yang menjadi pengalaman
negara-negara lain yang sering melahirkan militerisme, otoriterisme, dan bahkan
totaliterisme. Ditegaskan oleh Presiden bahwa di Indonesia, Dwifungsi ABRI
tidak pernah dan tidak akan menjurus kepada militerisme, otoriterisme, dan
totaliterisme itu, justru karena ABRI adalah kekuatan pendukung dan ideologi
negara, Pancasila, yang telah menjadi sumpah ABRI dalam Saptamarga. Demikian
antara lain amanat Presiden Soeharto.
Jum’at, 5
Oktober 1984
Berkenaan dengan
Hari ABRI ke-39, pagi ini Presiden Soeharto bertindak selaku Inspektur Upacara
pada peringatan yang berlangsung di
Parkir Timur Senayan, Jakarta, mulai pukul 08.00. Acara ini antara lain
ditandai dengan defile dan penganugerahan tanda kehormatan Satya Lencana kepada
para prajurit teladan.
Dalam amanatnya,
Kepala Negara telah mengajak kita semua untuk merenungkan dengan dalam hakikat
perjuangan mempertahankan dan menegakkan Pancasila. Dikatakannya bahwa jika
dalam babak perjuangan dahulu, ABRI bersama-sama seluruh kekuatan bangsa kita
telah berhasil dalam perjuangan mempertahankan dan menegakkan Pancasila, maka
dalam babak perjuangan pembangunan sekarang dan selanjutnya, bersama-sama
dengan seluruh bangsa kita pun ABRI harus berhasil dalam perjuangan besar
melaksanakan pembangunan nasional sebagai pengalaman Pancasila.
Ini berarti, di
satu pihak, dengan rasa tanggungjawab yang sebesar-besarnya ABRI harus
melindungi rakyat, bangsa dan negara kita terhadap segala macam marabahaya dan
rongrongan terhadap Pancasila. Dan di lain pihak, ABRI harus mampu menjadi
stabilisator dan dinamisator dalam pelaksanaan pembangunan nasional sebagai
pengalama Pancasila.
Kesetian ABRI
terhadap Pancasila tidak pernah goyah sedikit pun di masa lampau sampai hari
ini. Kesetian ABRI terhadap Pancasila itu tidak akan pernah goyah hari esok dan
sepanjang masa. ABRI harus timbul tenggelam bersama-sama Pancasila itu, ABRI
harus timbul tenggelam bersama-sama rakyat yang berjiwa Pancasila.
Sabtu, 5 Oktober
1985
Pukul 08.00 pagi
ini Presiden dan Ibu Soeharto menghadiri upacara peringatan Hari ABRI ke-40
yang dilangsungkan di lapangan udara Kemayoran, Jakarta. Hari ulang tahun ABRI
kali ini ditandai oleh parade,defile, dan fly-pass. Pada peringatan ini Presiden Soeharto bertindak sebagai
Inspektur Upacara.
Dalam amanatnya,
Kepala Negara mengatakan bahwa kita tidak menutup mata terhadap kekhawatiran di
sementara kalangan di luar negeri dan juga di dalam negeri, bahwa Dwifungsi
ABRI serta peranannya sebagai stabilisator dan dinamisator suatu waktu akan
melahirkan pemerintahan yang meliteristis, otoriter atau totaliter.
Kekhawatiran semacam itu tidak beralasan. Sejarah membuktikan bahwa dalam saat
yang sulit sekalipun, dalam saat negara dan bangsa kita dihadapkan kepada
bahaya yang mengancam keselamatan Pancasila, ABRI tidak pernah memikirkan dan
bertindak militeristis. Sebaliknya ABRI justru membangkitkan dan mengajak semua
kekuatan rakyat untuk bangkit bersama menegakkan Pancassila dan bertindak
sesuai dengan semangat Pancasila.
Minggu, 5
Oktober 1986
Presiden
Soeharto bertindak selaku Inspektur Upacara peringatan Hari ABRI ke-41 yang
diadakan di Parkir Timur Senayan, Jakarta. Dalam amanatnya, Kepala Negara
mengatakan bahwa karena Saptamarga sudah menjadi darah daging ABRI, maka proses
modernisasi dan profesionalisasi prajurit ABRI tidak akan melemahkan semangat
kejuangan ABRI, baik sebagai kekuatan hankam maupun sebagai kekuatan sosial politik.
Ditegaskannya bahwa Dwifungsi ABRI akan senantiasa melekat pada ABRI, karena
setiap prajurit ABRI pertama-tama haruslah seorang warganegara yang baik,
kemudian ia juga harus seorang patriot sejati dan selanjutnya ia massih
dituntut sebagai ksaria yang utama, maka barulah ia seoarang prajurit ABRI.
Dikemukakan pula
oleh Presiden bahwa pengalama ABRI dalam perjalanan proses modernisasi seperti
itu merupakkan sumbangan yang sangat berharga bagi proses modernisasi bangsa
kita yang dewasa ini juga sedang berlangsung dengan cepat di segala bidang dan
lapisan masyarakat kita. Lebih jauh ditegaskannya bahwa memiliki ABRI yang
telah makin maju dan selalu siap siaga akan memberi perasaan aman bagi seluruh
bangsa.
Senin, 5 Oktober
1987
Presiden
Soeharto pagi ini menghadiri upacara peringatan Hari ABRI ke-42 yang
berlangsung di Parkir Timur Senayan, Jakarta. Upacara yang di pimpin oleh
Presiden selaku Inspektur Upacara itu berlangsung secara sederhana tanpa
diwarnai dengan kegiatan kirab seperti tahun lampau. Selesai memberikan
amanatnya, Presiden menerima defile seluruh pasukan di depan mimbar upacara,
didampingi oleh Panglima ABRI dan Kepala Staf ketiga Angkatan dan Polri.
Dalam amanatnya
Kepala Negara antara lain mengatakan bahwa kita menyadari bahwa tahun-tahun
mendatang merupakan tahun yang penuh dengan ujian dan tantangan berat. Aspirasi
dan harapan rakyat akan meningkat. Aspirasi dan harapan itu harus mendapat
saluran dan tanggapan yang sebaik-baiknya, sehingga dapat menjadi kekuatan
positif yang akan mendorong kemajuan; dan tidak menjadi sumber kerawanan.
Dikatakannya,
dalam suasana aspirasi dan harapan yang meningkat itu, kita dihadapkan pada
masalah-masalah sosial ekonomi yang harus dapat kita tangani dengan baik,
terutama masalah kesempatan kerja, pendidikan, kesehatan, perumahan dan lain
sebagainya. Ujian dan tantangan kita pasti akan bertambah berat, karena
semuanya itu akan kita hadapi dalam suasana perekonomian dunia yang serba tidak
menentu.
Rabu, 5 Oktober
1988
Pagi ini
Presiden Soeharto bertindak sebagai Inspektur Upacara pada upacara peringatan
Hari ABRI ke-43 yang berlangsung di Lapangan Parkir Timur Senayan, Jakarta.
Dalam amanatnya, Presiden antara lain mengatakan bahwa sejarah dan pertumbuhan
bangsa kita sejak proklamasi kemerdekaan penuh ujian yang besar dan berat.
Semuanya itu kita anggap sebagai bagian dari perkembangan dan pertumbuhan
bangsa kita, agar kita dapat menjaddi bangsa yang kukuh kuat. Karena
itulahnkita harus mengambil pelajaran yang sebaik-baiknya dan
sebijaksana-bijaksananya dari semua pengalaman sejarah kita masa lampau.
Dikatakannya
pula, kita harus berani mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah
adalah salah. Dengan mengatakan yang benar adalah benar, kita akan dapat terus
melanjutkannya dengan keyakinan. Dengan mengatakan yang salah adalah salah,
kita akan dapat menghindarkan kesalahan yang sama dengan penuh kesadaran.
Denagn sikap itu pelajaran yang kita petik dari sejarah masa lampau akan
memberi makna yang positif bagi kita semua, bukan menjadi beban yang berkepanjangan.
Kamis, 5 Oktober
1989
Presiden
Soeharto hari ini bertindak sebagai Inspektur Upacara pada peringatan Hari ABRI
ke-44 di Parkir Timur Senayan, Jakarta. Dalam amanatnya Kepala Negara antara
lain mengatakan bahwa dalam melaksanakan tugas-tugas besar dimasa yang akan
datang, kita tetap memerlukan stabilitas . Namun dinamika masyarakat dengan
prakarsa dengan kreativitasnya perlu terus dikembangkan, agar kita memiliki
tenaga yang besar untuk tinggal landas.
Dikatakannya
bahwa pembangunan itu sendiri telah melahirkan kekuatan-kekutan baru dan
aspirasi-aspirasi baru. Ini juga harus disalurkan dan diserasikan agar menjadi
kekuatan positif untuk pembangunan. Karena itu, demikian Presiden, stabilitas
yang kita perlukan bukanlah stabilitas yang statis, melainkan stabilitas yang
dinamis, yang sehat yang sesuai dengan tuntutan kemajuan pembangunan.
Rabu, 5 Oktober
1990
Pagi ini
Presiden dan Ibu Soeharto menhadiri upacara peringatan Hari ABRI ke-45 yang
berlangsung di Parkir Timur Senayan, Jakarta. Acara ini melibatkan sebanyak
7.000 anggota ABRI dari ketiga angkatan dan Polri. Dalam amanatnya Kepala
Negara mengatakan bahwa kendati proses alih generasi dari generassi 45 kepada
generasi penerus telah tuntas dilaksanakan, namun kesadaran dan tanggungjawab
ABRI dalam melestarikan nilai-nilai kejuangan 45 serta kesetiannya kepada
cita-cita kemerdekan tetap tinggi. Kepribadian ABRI sebagai prajurit pejuang
dan pejuang prajurit juga berhasil dipertahankan. Bahkan kemampuan
profesionalnyadapat ditingkatkan sesuai dengan kemajuan zaman. Semua itu
menunjukkan bahwa selain dapat melaksanaka tugas dengan sebaik-baiknya, ABRI
juga berhasil mempersiapkan generasi yang akan meneruskan perjuangannya.
Sabtu, 5 Oktober
1991
Pagi ini pukul
08.00, Presiden Soeharto menghadiri peringatan hari ulang tahun ABRI yang ke-46
yang diadakan di lapangan Parkir Timur Senayan, Jakarta. Dalam amanatnya,
Kepala Negara mengatakan bahwa dengan arif dan bijaksana ABRI harus dapat
memahami tanda-tanda zaman. Ada saat-saat ABRI harus mengambil posisi “ing ngarso
sung tulodo”. Ada pula saat-saat ABRI harus “tut wuri handayani”. Apapun
peranan dan posisi yang diambil ABRI, maka sasarannya adalah mantapnya landasan
pembangunan nasional agar bangsa kita dapat tumbuh dan berkembang dengan
kekuatan sendiri.
Di bagian lain
amanatnya, Presiden dewasa ini kita telah berada di ambang era baru dalam
pembangunan, yaitu era tinggal landas. Era baru ini menghendaki keterlibatan
aktif, kreatif dan dinamis dari seluruh kekuatan pembangun bangsa kita yang
telah mulai tumbuh dan berkembang dalam proses pembangunan nasional selama ini.
Kekuatan-kekuatan pembangun ini memerlukan ruang gerak yang cukup untuk
menumbuhkan prakarsa dan kreativitas.
Menurut Kepala
Negara, membangkitkan prakarsadan kreativitas masyarakat ini sejalan dengan
hakikat pembangunan nasional kita, yaitu pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Pembangunan nasional
kita memang bertujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia Indonesia.
Ini berarti, pembangunan kita harus berorientasi kemanusiaan dan mengandalkan
kekuatan sumber daya manusia Indonesia sendiri.
Senin, 5 Oktober
1992
Presiden dan Ibu
Soeharto yang di dampingi oleh Pangab ABRI serta ketiga Kepala Staf Angkatan
dan Kapolri pagi ini menghadiri peringatan Hari ABRI ke-47 yang berlangsung di
Lapangan Parkir Timur Senayan, Jakarta. Pada kesempatan itu Kepala Negara
mengatakan bahwa perlu adanya peningkatan kualitas fungsi sosial ABRI secara
terus menerus dalam mendukung tercapainya sasaran-sasaran pembangunan nasional
pada babak baru mendatang. Dalam tahun mendatang, kata Presiden, peranan ABRI
sebagai stabilisator dan dinamisator perlu dialihkan titik beratnya ke
bidang-bidang pembangunan nasional.
Dikatakan pula
bahwa ABRI adalah potensi modern dalam masyarakat dan bangsa Indonesia yang
sedang membangun. ABRI merupakan kekuatan bangsa yang terdidik dan terlatih
serta mahir dalam berorganisasi dalam menangani peralatan teknologi tinggi.
Apalagi dalam masyarakat yang modern ditandai oleh makin menonjolnya
spesialisasi, maka kemampuan ABRI amat dibutuhkan untuk kemajuan bangsa.
Lebih jauh
dikatakan Presiden bahwa masalah pertahan keamanan yang menjadi porsi terbesar
tugas ABRI, tidaklah berdiri sendiri. Masalah tersebut berkaitan erat dengan
bidang politi, ekonomi, sosial budaya di dalam maupun di luar negeri. Karena
itu ABRI dalam mengemban tugasnya itu senantiasa mempertahankan watak dan
tradisinya sebagai pejuang. Justru sebagai pejuang yang bertanggungjawab itulah
ABRI selalu tanggap dan peka terhadap masalah
yang dihadapi bangsa. Denagn penuh kehati-hatian dan kewaspadaan kearifan dan
keteguhan, ABRI melaksanakan perannya sebagai kekuatan perjuangan di bidang sosial, politik dan
sebagai kekuatan pertahanan keamanan.
Sumber
: Buku Jejak Langkah Pak Harto Jilid 1-6
Penyusun
: Rayvan Lesilolo