Senin, 29 September 1969
Presiden
Soeharto meresmikan stasiun bumi Jatiluhur. Dalam sambutannya, Presiden
mengatakan bahwa dengan digunakannya stasiun bumi ini maka bangsa Indonesia
sekarang memasuki taraf baru dalam memanfaatkan
secara langsung hasil teknologi tinggi. Ia juga mengingatkan arti penting
telekomunikasi sebagai sarana yang mutlak diperlukan untuk menunjang
kelancaran-kelancaran kegiatan pembangunan, seperti dalam hal perdagangan,
pengangkutan, perbankan dan pemerintahan.
Usai peresmian,
Presiden mengadakan percakapan telepon dengann Duta Besar RI di Washington,
Sudjadmoko, Duta Besar RI di Tokyo, Ashari, dan Duta Besar RI di London,
Ibrahim Adjie.
Selasa, 29
September 1970
Hri ini Presiden
Soeharto mengirimkan kawat belasungkawa kepada pemerintah RPA, sehubungan
dengan meninggalnya Presiden RPA Gamal Abdel Nasser.
Rabu, 29
September 1976
Presideen
Soeharto pukul 11.00 pagi ini di Cendana menerima Ketua Umum PDI, Sanusi
Hardjadinata, yang didampingi oleh Prof. Usep Ranawidjaja, salah seorang ketua
dalam struktur kepemimpinan partai itu. Mereka datang untuk bersilaturahmi
dengan Kepala Negara.
Pada kesempatan
itu Presiden memberitahukan mereka tentang dokumen-dokumen Sawito. Berdasarkan
dokumen-dokumen tersebut diketahui bahwa Sawito dengan gerakkannya bermaksud
untuk mengganti kepala negara dengan cara yang inkonstitusional. Salah seorang
yang terlibat dalam gerakan itu adalah Supeno, seorang kader Pesindo (Pemuda
Spesialis Indonesia), sebuah organisasi yang berafiliasi dengan PKI dan terlibat
dalam Peristiwa Madiun.
Selasa, 29
September 1981
Presiden
Soeharto menghimbau agar di masa-masa mendatang penanam modal dalam negeri
diberikan kesempatan yang luas untuk menanamkan modalnya. Menurut Presiden,
sekarang telah tiba saatnya bagi kita untuk mengadakan pembatasan yang tegas
mengenai penanaman modal asing. Demikian dikatakan oleh Ketua BKPM, Ir.
Soehartoyo, setelah menghadap Kepala Negara di Bina Graha pagi ini. Ia datang
untuk memberikan laporan mengenai proyek-proyek mesin kendaraan bermotor, dan
penyusunan buku Daftar Skala Prioritas.
Senin, 29
September 1986
Bertempat di
Istana Negara, pada jam 10.00 pagi ini Presiden Soeharto membuka rapat kerja
Departemen Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi. Dalam amanatnya Kepala Negara
mengatakan bahwa keputusan mendevaluassi mata uang rupiah baru-baru ini
merupakan keputusan yang sangat beratdan sulit bagi pemerintah. Namun, setelah
mempertimbangkan dengan saksama dan dalam waktu yang cukup lama, maka
pemerintah harus berani mengambil keputusan yang berat dan sulit itu demi
kelangsungan pembangunan jangka panjang.
Dikatakannya
bahwa tujuan utama devaluasi adalah untuk menjamin agar dalam tahun-tahun yang
akan datang neraca pembayaran kita dalam keadaan yang sehat, sehingga mampu
mendukung kelanjutan pembangunan. Untuk itu jalan yang paling utama adalah
meningkatkan penerimaan devisa negaradari ekspor non-migas dan pariwisata,
untuk mengimbangi penurunan yang sangat tajam dari penerimaan devisa dari
sektor migas.
Karena itu,
demikian ditegaskannya Presiden, peningkatan kegiatan kepariwisataan dan ekspor
non-migas merupakan medan juang yang harus kita perjuangkan secara mati-matian.
Devaluasi mata uang rupiah kita merupakan peluang yang harus dipergunakan
sebaik-baiknya untuk menarik wisatawan luar negeri dan peningkatan ekspor
non-migas itu.
Selasa, 29
September 1987
Indonesia akan
membicarakan lebih serius mengenai kemungkinan peluncuran satelit komunikasi
Palapa B-2R dengan roket Ariane milik Prancis, setelah Exim Bank dari Amerika
Serikat tidak dapat memenuhi permintaan kredit untuk harga satelit tersebut.
Demikian dikatakan oleh Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi, Achmad
Tahir hari ini usai melaporkan masalah terssebut kepada Presiden di Bina Graha.
Sebagaimana diketahui, semula Palapa B-2R direncanakan diluncurkan di roket
Delta milik AS.
Minggu, 29
September 1991
Pukul 07.00 pagi
ini, di Tapos, Presiden Soeharto menerima 75 orang perwira tinggi peserta Rapim
ABRI dipimpin Pangab Jenderal Try Strisno. Dalam acara itu hadir pula Menteri
Hankam LB Moerdani. Pada kesempatan itu Kepala Negara mengharapkan kepada ABRI
dan seluruh lapisan masyarakat agar hasil yang telah diperoleh didalam proses
pembangunan nasional supaya dipertahankan, dan jangan sampai mengalami kemunduran.
Dihadapan para
peserta Rapim ABRI tersebut, Kepala
Negara juga berbicara mengenai hubungan antara pemerintah dengan DPR.
Dikatakannya bahwa pemerintah dan DPR tidak perlu saling berhadapn, dan tidak
bisa saling menjatuhkan, tetapi saling isi mengisi. Namun ditegaskannya bahwa
tidak ada larangan bagi anggota DPR untuk bicara vokal dan melakukan kritik
terhadap pemerintah, asalkan itu dilakukan sesuai dengan sopan santun Demokrasi
Pancasila dan aturan main yang ada, serta tidak asal “jeplak” atau asal ingin
diap berani saja. Menurut Presiden, DPR tidak dilarang untuk vokal dalam
menyuarakan aspirasi rakyat, karena memang tugasnya adalah mengontrol
pemerintah. Namun, dalam soal mengeritik, hal itu harus dalam batas-batas
wewenangnya. Presiden mengakui bahwa masih banyak orang yang tidak mengerti
Demokrasi Pancasila yang berdasarkan musyawarah mufakat. Dalam musyawarah untuk
mufakat itu kepentingan rakyat dan kepentingan negara harus diutamakan dan
sebaliknya kepentingan pribadi dan golongan harus disingkirkan.
Selasa, 29
September 1992
Dalam
penerbangan menuju tanah air, Presiden Soeharto, sebagai Ketua Gerakan
Non-Blok, menyatakan pendapatnya bahwa keanggotaan tetap Dewan Keamanan PBB
perlu ditambah minimal enam negara lagi. Negara-negara yang dianggapnya pantas
menjadi anggota Dewan Keamanan adalah Indonesia, India, Jepang, Jerman dan
masing-masing satu wakil dari Afrika dan satu dari Amerika.
Sumber : Buku Jejak Langkah Pak Harto Jilid 1-6
Penyusun : Rayan Lesilolo