Rabu, 28 September 1966
Indonesia secara
resmi diterima untuk bergabung kembali dalam PBB dan menjadi anggota yang
ke-60. Sebagaimana diketahui, pada tanggal 7 Januari 1965 Indonesia menyatakan
keluar dari PBB, menyusul sebuah pidato Presiden Soekarno yang berapi-api.
Penerimaan kembali Indonesia dalam PBB telah diumumkan oleh Ketua Sidang Umum
PBB, Abdul Rahman Pazwak, yang berasal dari Afghanistan.
Selasa, 28
September 1971
Wakil Sekretaris
Badan Pengendalian Operasi Pembangunan, Brigjen. Bardosono, atas nama Presiden
Soeharto telah menyerahkan cheque sebesar
Rp. 10 juta kepada Bupati Gunung Kidul. Sumbangan yang merupakan tahap kedua
ini akan dipergunakan untuk
menyelesaikan empat buah dam atau irigasi dan 30 buah tandon air di kabupaten
itu. Keseluruhan bantuan Presiden itu adalah Rp. 24 juta.
Selasa, 28
September 1976
Selama dua
setengah jam pagi ini Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan Menteri
Negara Ekuin Widjojo Nitisastro, Menteri Perdagangan Radius Prawiro, Menteri
PAN Sumarlin, dan Menteri/Sekretaris Negara Sudharmomo. Dalam pertemuan yang
berlangsung di cendana itu telah dibicarakan masalah perkembangan ekonomi pada
umumnya, terutama menyangkut pengadaan dan harga sembilan bahan pokok pada hari
lebaran yang lalu. Selain itu dibahas pula persiapan kerjasama dengan
negara-negara penghasil karet alam lainnya.
Rabu, 28
September 1977
Presiden
Soeharto mengikuti secara seksama perkembangan dan kegiatan yang dilakukan para
tenaga kerja sukarela BUTSI di daerah-daerah. Hal ini disampaikan Menteri
Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi Subroto pada peserta rapat kerja
nasional TKS BUTSI angkatan ke-7 dan ke-8 yang berlangsung di Semarang.
Kamis, 28
September 1978
Dalam suatu
upacara yang berlangsung pada jam 10.00 pagi ini di Istana Negara, Presiden
Soeharto melantik Prof. Dr. Ir. BJ Habibie sebagai Kepala Badan Pengkajian dan
Penerangan Teknologi (BPPT). Dalam pidato pelantikan itu, Kepala Negara
menjelaskan bahwa BPPT merupakan suatu badan yang dibentuk untuk memperlengkapi
aparatur pemerintahan menghadapi tuntutan-tuntutan dan tantangan-tantangan
pembangunan yang makin banyak dan makin mendesak.
Dikatakan oleh
Presiden bahwa disamping memperhatikan pemecahan masalah-masalah yang kita
hadapai pada masa sekarang, maka pembangunan yang kita kerjakan juga harus
melayangkan pandangn jauh ke depan. Oleh karena itu pembangunan teknologi juga
perlu kita persiapkan untuk menyongsong masa depan. Untuk itu kita membutuhkan
satu wahana yang mengkaji masalah-masalah teknologi secara mendalam dan
menyeluruh agar kehadiran dan penerapannya benar-benar mendatangkan manfaat
yang sebesar-besarnya bagi kepentingan bangsa kita, khususnya dalam rangka
mengembangan industri dan produksi
nasional yang dapat memperkuat ketahanan nasional kita. Demikian Presiden
Soeharto.
Senin, 28
September 1987
Siang ini,
bertempat di Bina Graha, Presiden Soeharto menerima Dewan Pengurus Harian dan
Majelis Pertimbangan Kadin Indonesia. Dalam pertemuan itu Kepala Negara
mengharapkan agar kaum pengusaha Indonesia meningkatkan kiprah mereka dalam
membangun ekonomi, misalnya lebih mencurahkan perhatian pada usaha industri
hulu yang belum banyak digarap, seperti pengolahan biji besi menjadi pellet.
Menurut Ptesiden, untuk menggarap industri hulu itu, pihak swasta nasional bisa
bekerjasama dengan pihak asing.
Kamis, 28
September 1989
Presiden
Soeharto mengatakan bahwa kemauan politik memberantas korupsi telah sangat
jelas dan tegas. Sekarang yang penting adalah tindakan pelaksanannya. Demikian
dikatakan Kepala Negara ketika pagi ini menerima para peserta rapat koordinasi
penaggulangan korupsi di Istana Negara.
Lebih jauh
dikatakannya bahwa dilihat dari sudut manapun korupsi harus diberantas. Korupsi
bukan saja merupakan tindakan pidana yang melawan hukum, tatpi juga merupakan
perbuatan yang melawan rasa keadilan,
melawan moral, melawan kepantasan, dan merusak mental bangsa. Ditandaskannya
bahwa secara keseluruhan, korupsi dapat menggagalkan pembangunan. Karena itu
kita tidak ragu-ragu sedikit pun untuk menyatakan bahwa korupsi merupakan
tindakan pidana subversi.
Senin, 28
September 1992
Presiden
Soeharto hari ini mengadakan pembicaraan dengan PM Kiichi Miyazawa selama
hampir dua jam. PM Miyazawa mengatakan bahwa mengatakan pertemuannya dengan
Presiden Soeharto itu dapat dianggap sebagian bagian dari dialog Utara-Selatan.
Kepada PM
Miyazawa, Kepala Negara menjelaskan hasil-hasil pokok KTT Gerakan Non-Blok,
antara lain hilangnya keraguan bahwa Gerakan Non-Blok tidak relevan lagi
setelah berakhirnya perang dingin dan makin besarnya prioritas untuk kerjasama
ekonomi tanpa melalaikan bidang politik, semakin besarnya perhatian terhadap
kerjasama Selatan-Selatan dan muncul kembali semangat kemitraan antara
Utara-Selatan. Dalam pertemuan itu, Presiden Soeharto menyampaikan “Dokumen
Akhir” KTT tersebut.
Sumber
: Buku Jejak Langkah Pak Harto Jilid 1-6
Penyusun
: Rayvan Lesilolo