Senin, 19 September 1966
Pemerintah
Indonesia menghadiri Pertemuan Tokyo yang membahas soal penangguhan pembayaran
(rescheduling) utang-utang Orde Lama.
Hasil petemuan ini adalah bahwa Indonesia diizinkan untuk menangguhkan pembayaran
kembali utangnya. Utang Indonesia kepada pihak-pihak di luar negeri secara
keseluruhan berjumlah sekitar 2.680 juta dolar AS.
Indonesia secara
resmi telah mengajukan permohonan untuk bergabung kembali dalam PBB. Permohan
ini telah disampaikan kepada Sekjen PBB, U Thant, oleh Dutabesar Indonesia di
Washington, LN Palar.
Kamis, 19
September 1968
Presiden
Soeharto hari ini mengeluarkan kebijaksanaan baru tentang pembagian hasil
ekspor barang-barang golongan A seperti karet, kopra, lada dan minyak kelapa
sawit, biji kelapa sawit dan timah. Kebijaksanaan baru yang termuat dalam
Keppres No. 283/1968 menetapkan Bonus Ekspor sebesar 85% untuk eksportir, 5%
buat Dana Devisa Negara dan 10% bagi daerah-daerah tingkat I, dalam bentuk
Alokasi Devisa Otomatis (ADO).
Sementara itu
dalam instruksi Presiden No. 28/1968 Presiden Soeharto menginstruksikan BNI
Unit I (Bank Sentral) untuk meninjau kembali suku bunga perkreditan bank-bank
pemerintah. Dengan peninjauan itu ditetapkan bahwa suku bunga kredit terendah
adalah tiga persen dan yang tertinggi tujuh persen per bulan.
Jum’at, 19
September 1969
Presiden
meninggalkan Merauke menuju Sorong. Sebelum meninggalkan Merauke Presiden
meletakkan batu pertama pembangunan Tugu Pepera dan berziarah ke Taman Makam
Pahlawan setempat. Sebagaimana di Merauke, di Sorong juga Presiden berziarak ke
Makam Pahlawan Trikora dan meletakkan batu pertama pembanguunan Tugu Pepera.
Selasa, 19
September 1972
Dalam sidang
Sub-Dewan Stabilisassi Ekonomi pagi ini, Presiden Soeharto meminya agar diadakan
penelitian untuk mencegah jangan sampai langkah penertiban penggunaan jalan
raya justru mengganggu kelancaran pengangkutan bahan pokok masyarakat. Selain
itu Presiden menghendaki agar hasil peninjauan Menteri Pertanian Thoyib
Hadiwidjaja, Menteri PUTL Sutami, Menteri Keuangan Frans Seda, Menteri
Penyempurnaan Aparatur Negara Emil Salim, dan Menteri Penerangan Budiardjo,
dijadikan bahan perencanaan sektoral dari departemen-departemen yang yang
bersangkutan di bidang prasarana, peternakan dan pertanian dalam hubungan
dengan kerangka pembangunan daerah pada pelaksanaan Repelita tahap kedua.
Rabu, 19
September 1973
Pukul 10.00 pagi
ini Presiden Soeharto memberikan pengarahan didepan para peserta rapat kerja
Direktorat Jenderal Pertanian dan Badan Pengendalian Bimas. Dalam
pengarahannya, kepala Negara mengatakan bahwa selama musim tanam 1972/1973 kita
telah mengalami kerugian sebanyak emapat juta ton padi kering akibat tidak
dilaksanakannya intensifikasi dengan panca usaha yang lengkap. Presiden menganjurkan
agar usaha intensifikasi yang lengkap dijalankan dalam sisa musim tanam
1973/1974 dalam perluasan serta pernambahan areal untuk musim tanam 1974/1975.
Pada kesempatan
itu Kepala Negara mengidentifikasikan empat masalah penting yang perlu
diperhatikan dengan sungguh-sungguh khususnya oleh peserta rapat kerja dalam
menghadapi musim tanam yang akan datang. Pertama, perluasan areal untuk
mengintensifikasikan dan Bimas baru yang sejauh mungkin akan
mengintensifikasikan setiap jengkal sawah yang telah mendapat irigasi yang
teratur. Kedua, pengadaan dan penyaluran sarana produksi. Ketiga, kelancaran
kredit. Dan, keempat, peningkatan penyaluran.
Senin, 19
September 1977
Presiden
Soeharto, dengan Surat Keputusan No.103/M/1977 tertanggal 19 September 1977,
telah meresmikan pengangkatan 360 anggota DPR yang terpilih dan sekaligus pula
meresmikan mereka sebagai anggota MPR. Dalam surat keputusan lain No.
104/M/1977 dengan tanggal yang sama, Presiden Soeharto menetapkan nama-nama 96
anggota DPR yang diangkat untuk mewakili Golongan Karya ABRI dan bukan ABRI.
Dalam surat keputusan No. 105/M/1977 pada
tanggal yang sama juga, Presiden Soeharto mensahkan pengangkatan 135
anggota MPR utusan daerah dan 108 anggota MPR utusan Partai Politik dan
Golongan Karya, berdasarkan atas imbangan hasil suara yang diperoleh dalam
pemilihan umum.
Selasa, 19
September 1978
Presiden
Soeharto pagi ini di Lhokseumawe, Aceh meresmikan beroperasinya Kilang Gas Alam
(LNG) Arun. Kilang yang dibangun dengan biaya sebesar US$ 946 juta ini setiap
tahunnya akan menghasilkan US$7,7 miliar; dari jumlah ini yang akan masuk ke
kas negara tidak kurang dari US$4,7 miliar.
Dalam amanatnya,
Kepala Negara antara lain mengatakan bahwa dengan diresmikan dengan berjalannya
proyek inni, maka negara kita memperoleh posisi yang lebih kuat sebagai negara
penghasil dan pengekspor bahan energi. Dengan demikian kita makin dapat
menganekaragamkan sumber-sumber energi dan juga menganekaragamkan barang-barang
ekspor kita. Oleh karena itu, Presiden mengharapkan agar proyek yang besar ini
dapat terus dikelolah untuk dimanfaatkan bagi kepentingan negara dan
masyarakat.
Rabu, 19
September 1979
Presiden
Soeharto pagi ini memimpin sidang kabinet terbatas Bidang Polkam yang
berlangsung di Bina Graha. Didalam sidang, Kepala Negara telah memberikan
penilaiannya terhadap situasi politik dan keamanan di dalam negeri. Menurut
Presiden, keadaan politik dan keamanan dewasa ini sangat baik, sehingga
mendukung stabilisasi nasional.
Minggu, 19
September 1982
Presiden
Soeharto hari ini mengundang RUU Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahan Keamanan
Negara menjadi Undang-undang No. 20 Tahun 1982. Dalam undang-undang ini
ditegaskan bahwa sebagai kekuatan pertanahan keamanan bagi kesiapsiagaan dan
ketanggapsegeraan penyelenggraan pertahanan keamanan negara, ABRI melaksanakan
fungsi selaku penindak dan penyanggah awal terhadap setiap ancaman dari luar
maupun dari dalam, serta pelatih rakyat bagi pelaksanaan tugas pertahanan
keamanan negara. Undang-undang ini juga menentukan bahwa sebagai kekuatan sosial,
ABRI bertindak selaku dinamisator dan stabilisator yang bersama-sama kekuatan
sosial lainnya memikul tugas dan bertanggungjawab mengamankan dan mensukseskan
perjuangan bangsa dalam mengisi kemerdekaan demi kesejahteraan seluruh rakyat.
Senin, 19 September
1983
Menteri
Perindustrian, Ir Hartarto, pagi ini menemui Kepala Negara di Bina Graha. Usai
menghadap, Menteri Hartarto mengatakan bahwa ia melaporkan kepada Presiden
Soeharto tentang akan diresmikannya 14 buah pabrik baru di Jawa Tengah dalam
waktu dekat ini. Pabrik-pabrik tersebut antara lain adalah pabrik tekstil,
pengolahan udang untuk ekspor, bahan kimia untuk keperluan kayu lapis,
perabotan untuk ekspor, serta permesinan untuk industri tekstil.
Kamis, 19
September 1985
Tepat jam 10.00
pagi ini waktu setempat, Presiden dan Ibu Soeharto meninggalkan Rumania menuju
Budapest, ibukota Hongaria. Setiba di bandar udara Ferihegy, Budapest, Presiden
dan Ibu Soeharto disambut oleh Presiden Hongaria dan Nyonya Pal Losonczi di
tangga DC-10 Garuda. Upacara penyambuta resmi dilangsungkan di Lapangan
Lajos Kossuth yang jauhnya lebih kurang
30 menit berkendaraan mobil dari bandar udara itu.
Pukul 15.00 sore
ini, setelah meletakkan karangan bunga di Lapangan Pahlawan, dan sementara Ibu
Tien menghadiri pameran kerajinan keramik, Presiden Soeharto mengunjungi Gedung
Parlemen untuk mangadakan pembicaraan dengan Presiden Hongaria, yang berada di
gedung tersebut, kedua pemimpin sepakat untuk meningkatkan kerjasama ekonomi
antara kedua negara.
Jum’at, 19
September 1986
Selama tiga jam
setengah, pagi ini Presiden Soeharto melakukan peninjauan di enam pusat
perdagangan di Jakarta. Pusat-pusat perdagangan yang ditinjau adalah Pasar
Boplo-Menteng, Pasar Induk Beras Cipinang, Pasar Jatinegara, Pasar Santa
Kebayoran Baru Blok Q, Pusat Perbelanjaan Sarinah Jaya-Blok M, dan Pasar
Bendungan Hilir. Dalam peninjauan itu, Presiden disertai oleh Menteri
Koperasi/Kepala Bulog, Bustanil Arifin, dan Menteri Muda UP3DN, Ginandjar
Kartasasmita.
Ketika
mengakhiri peninjaunnya di Pasar Bendungan Hilir, Presiden Soeharto mengatakan
bahwa devaluasi rupiah yang dilakukan pemerintah sepekan lalu sudah
diperhitungkan sematang-matangnya. Ia menilai bahwa tidak ada gejolak harga
setelah dilakukannya devaluasi itu. Dikatakannya bahwa kalau pemimpin-pemimpin
yang lainnya tidak percaya, suruh melihat sendiri keadaan pasar.
Senin, 19
September 1988
Pada jam 10.00
pagi ini, bertempat di Istana Merdeka, Kepala Negara menerima pengurus Palang
Merah Indonesia (PMI) dan 45 donor darah yang telah menyumbangkan darah
sebanyak 75 kali. Dalam acara ramah tamah ini, Presiden antara lain mengatakan
bahwa jumlah donor darah di Indonesia perlu dikembangkan seperti berkembangnya
jumlah akseptor KB yang dipacu melalui suatu program nasional. Kepala Negara
berharap pula supaya setiap warga masyarakat yang telah berulang kali
menyumbangkan darah mereka melalui PMI dapat menjadi teladan serta motivator
bagi masyarakat lainnya untuk ikut menjadi donor darah.
Kamis, 19
September 1991
Pukul 10.00 pagi
ini Presiden Soeharto mengadakan pembicaraan dengan Presiden Omar Hasan di
Istana Merdeka. Dalam pembicaraan yang berlangsung sekitar dua jam itu. kedua
pemimpin terutama menyangkut masalah pembangunan di kedua negara. Tetapi
pembicaraan tidak dibatasi hanya pada masalah bilateral, melainkan juga
meliputi masalah-masalah regional dan internasional.
Kepada presiden
Soeharto, Presiden Omar Hasan menyatakan keinginannya untuk belajar mengenai
pengalaman pembangunan yang berhasil dilakukan Indonesia dalam berbagai bidang.
Misalnya dalam bidang kehutanan, ia ingin mempelajari bagaimana Indonesia bisa
mengelola hutan dengan memanfaatkannya untuk kepentingan pembangunan dan juga
berusaha sekuat tenaga melestarikan hutan. Di bidang pertanian, yang ingin
dipelajarinya mengenai pengalaman sampai Indonesia berhasil mencapai swasembada
pangan.
Sumber
: Buku Jejak Langkah Pak Harto Jilid 1-6
Penyusun
: Rayvan Lesilolo