Jum’at, 16 September 1966
Dalam rangka
pelaksanaan tugas pokok Kabinet Ampera, Ketua Presidium Kabinet Jenderal
Soeharto mengeluarkan sebuah instruksi tentang intensifikasi pemungutan pajak.
Instruksi tersebut menyatakan:
Kepada Menteri
Keuangan diinstruksikan untuk merencanakan, mempersiapkan dan melaksanakan
pengintensifan dan pengefektifan pemungutan pajak;
Menciptakan
ketentuan-ketentuan mengenai sistem pemungutan pajak yang sesuai dengan
ketentuan;
Dalam
melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut di samping tenaga-tenaga dari
Departemen Keuangan, apabila perlu dapat digunakan tenaga dari instansi AD yang
memenuhi syarat;
Para menteri,
pimpinan lembaga/instansi/perusahaan negara/proyek pemerintah baik di tingkat
pusat maupun daerah diinstruksikan unntuk membantu sepenuhnya pelaksanaan
pemungutan pajak tersebut.
Sabtu, 16
September 1967
Dalam sambutan
tertulisnya dalam pembukaan Konferensi dan Kongres Nasional ke-11 GMKI di
Makele, Tanah Toraja, Pejabat Presiden mengatakan bahwa kita berkewajiban
melindungi golongan Pancasila dari tindakan-tindakan saling paksa yang
melanggar hukum. Saling paksa antara sesama Pancasilais, suku lawan suku, agama
lawan agama, adalah bertentangan dengan Pancasil. Malahan, menurut Pejabat
Presiden, ia merupakan hambatan bagi integrasi semua daya kemampuan Orde Baru
dalam menyukseskan Dwi Dharma dan Catur Karya Kabinet Ampera.
Sementara itu
dalam amanatnya pada peresmian pemancar RRI Pusat di Cimanggis, Jenderal
Soeharto menekankan bahwa didalam Orde Baru sekarang ini yang harus disiarkan
RRI bukanlah propaganda kosong, melainkan pemberitaan yang jujur, sehingga
rakyat memahami usaha-usaha pemerintah. Dengan demikian akan tumbuh keinginan
rakyat untuk bersama-sama menanggulangi masalah-masalah yang ada.
Selasa, 16
September 1969
Dalam sidang
istimewah DPRD-GR Provinsi Irian Barat di Jayapura pagi ini Presiden Soeharto
meresmikan Irian Barat sebagai daerah otonom. Presiden menyatakan bahwa
pemberian otonomi ini ini adalah untuk mensejajarkan Irian Barat dengan
daerah-daerah lainnya. Presiden yakin bahwa dengan pemberian otonomi ini, maka
kemajuan Irian Barat akan berkembang lebih cepat sesuai dengan kemauan dan
kemampuan masyarakat sendiri.
Di hadapan
wakil-wakil rakyat Irian Barat ini juga Presiden mengumumkan amnesti dan
abolisi bagi mereka yang terlibat dalam gerakan-gerakan Awom, dan Mandtjan,
serta peristiwa Waghete dan Enarotali. Selesai sidang, Jenderal Soeharto
meresmikan monumen Trikora dan Pepera di Jayapura.
Rabu, 16
September 1970
Hari ini di Istana
Merdeka Presiden Soeharto menerima Ketua Lhok Sabha (Parlemen India), Dr.
Dhillon, yang sedang berada di Indonesia. Pada kesempatan ini Ketua Lhok Sabha
menyatakan rasa hormatnya kepada Presiden Soeharto sehubungan dengan
keberhasilannya dalam memipmpin rakyat Indonesia. Menuru Dr. Dhillon,
kepemimpinan Presiden Soeharto terasa didalam kemajuan-kemajuan yang telah
dicapai dalam pembangunan.
Sabtu, 16
September 1972
Hari ini di
Istana Merdeka, Presiden Soeharto melantik lima orang duta besar baru RI. Mereka
adalah A Abubakar untuk Iran, Maimun
Habsyah untuk Bangladesh, Rukminto Hendraningrat untuk Singapura, Malikuswari
untuk Irak, dan Abubakar Lubis untuk Bulgaria.
Selasa, 16
September 1975
Gubernur NTT, El
Tari, siang ini menghadap kepada Kepala Negara di Bina Graha. Dalam pertemuan
tersebut Gubernur Ell Tari telah melaporkan tentang situasi terakhir di daerah
perbatasan dengan Timor Portugis, terutama menyangkut perihal kaum pengungsi
dari koloni Portugis itu yang hari ke hari terus bertambah jumlahnya. Untuk
mengatasi kegawatan situasi yang mungkin menimbulkan persoalan-persoalan di
daerah Timor Indonesia, maka Gubernur Ell Tari telah memberikan bantuan kepada
kaum pengungsi.
Menanggapi
laporan tersebut, Presiden Soeharto mengatakan bahwa ia sangat memperhatikan
petisi rakyat Timor Portugis sebagaimana yang disampaikan kepadanya oleh
pimpinan partai UTD, Trabalista, dan Kota. Dalam hubungan ini, dikatakan oleh
Presiden Soeharto bahwa Indonesia tidak menolak keinginan tersebut, asalkan
rakyat Timor Portugis bersedia tunduk kepada konstitusi Indonesia. Mereka yang
ingin bergabung akan mendapat
perlindungan dari pemerintah RI, serta
memperoleh hak dan kewajiban sebagaimana halnya warganegara Indonesia lainnya.
Kamis, 16
September 1976
Dari pukul 10.15
pagi hingga pukul 12.45 siang ini, Presiden Soeharto mengadakan rapat penting
dengan sejumlah menteri dan pejaabat di Jalan Cendana. Mereka yang hadir dalam
rapat tesebut adalah Menteri Negara Ekuin /Ketua Bappenas, Menteri/Sekretari
Negara, Menteri Pertamabngan dan Energi, Menteri keuangan, Menteri PAN, Menteri
Pertanian, Menteri Perindustrian, Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan
Koperasi, Menteri Perdagangan, Menteri Perhubungan, Kepala Bulog, dan Gubernur
Bank Sentral.
Rapat tersebut
antara lain memutuskan untuk menurunkan harga pupuk dan menaikkan pembelian
harga dasar padi /gabah dari petani. Sehubungan dengan itu, maka harga per
kiologram pupuk diturunkan dari Rp80,- menjadi Rp70,-. Harga dasar padi/gabah
kering di tingkat desa dinaikkan dari Rp67,50 sekilogramnya menjadi Rp70,-,
sedangkan harga ditingkat BUUD/KUD dinaikkan dari Rp68,50 menjadi Rp71,- per
kilogram.
Jum’at, 16
September 1977
Presiden dan Ibu
Tien Soeharto di kediaman di Jalan Cendana selama dua hari ini telah mennerima
ucapan selamat Hari Raya Idul Fitri dari berbagai kalangan, baik dari masyarakat luas, maupun
dari para menteri dan pejabat lainnya, serta para perwakilan negara sahabat.
Dalam kesempatan itu, Presiden Soeharto mengenakan pakaian tradisional Jawa dan
ibu Tien Soeharto mengenakan kebaya. Terlihat suasana lebaran sangat santai
saat itu.
Rabu, 16
September 1981
Hari ini, DPP
dan DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia mengeluarkan kebulatan tekad untuk
mencalonkan jenderal (Purn.) Soeharto sebagai Presiden RI masa bakti 1938-1988.
Pernyataan kebulatan tekad itu disampaikan kepada Ketua MPR/DPR Daryatmo
digedung DPR/MPR.
Ketua Kopti (Koerasi
Produsen Tahu Tempe Indonesia) cabang Salatiga, Jawa Tengah, mengatakan hari
ini bahwa Kopti telah mendapat pesanan 1.000 unit penggiling tahu dari Presiden
Soeharto. Kesemua penggiling tahu itu oleh Presiden akan dikirimkan kepada para
pembuat tahu di daerah-daerah transmigrasi. Untuk memungkinkan Kopti Salatiga
memenuhi pesanan tersebut, maka Presiden memberikan bantuan modal.
Kamis, 16 September
1982
Bertempat di
Istana Negara, pada jam 10.00 pagi ini Presiden Soeharto menerima 150 orang
peserta Sidang Majelis Pleno Organisasi HNSI. Kepada mereka, Kepala Negara
mengingatkan bahwa tantangan dihadapan kita makin terasa berat, karena resesi
ekonomi dunia belum ada tanda-tanda akan segera mereda. Diingatkannya bahwa
kita memang tidak mempunyai pilihan lain. Kita tidak akan membiarkan diri
diseret oleh keadaan dunia yang serba tidak menentu, kita tidak akan membiarkan
diri ditimbuni oleh masalah-masalah sosial ekonomi yang baru. Sebaliknya, kita
harus membulatkan tekad dan harus menguatkan kemauan sekerass bajauntuk
menundukkan tantangan tadi.
Selanjutnya
dikatakannya bahwa pembangunan juga memerlukan kekayaan alam yang harus kita
gali dan kita olah. Tetapi yang tidak kalah pentingnya kemauan dan kesanggupan
bangsa itu sendiri untuk bangkit mengubah nasibnya. Disinilah arti penting dan
peranan besar yang kita harapkan organisasi seperti HNSI ini. Demikian
Presiden.
Selasa, 16
September 1985
Pukul 10.00 pagi
ini, Presiden Soeharto dan rombongan meninggal bandar udara Attaturk, Istanbul
menuju Bukares, Ramania. Beberapa menit sebelumnya, Presiden Turki dan Nuanya
Senay Gurvit melepas keberangkatan Presiden dan Ibu Soeharto dalam upacara
kebesaran militer.
Presiden
Soeharto beserta rombongan, pukul 11.00 pagi ini mendarat di bandar udara
Bucuresti-Otopeni, Bukares dalam rangka kunjungan kenegaraan selama tiga hari
di Rumania. Di tangga pesawat, Presiden dan
Ibu Soeharto disambut oleh Presiden Rumania dan Nyonya Elena Ceausescu.
Kemudian setelah upacara penyambutan secara militer, Presiden dan Ibu Soeharto
diantar oleh Presiden Nicolae Ceausescu dan isterinya ke Istana Floreasca,
dimana kedua tamu negara dari Indonesia itu menginap selama berada di Bukares.
Sore ini, pukul
15.45, Presiden Soeharto mengadakan pembicaraan dengan Presiden Ceausescu di
Istana Kepresidenan selama satu setengah jam. Dalam pembicaraan ini antara lain
telah dibahas mengenai hubungan bilateral, baik dlaam bidang politik maupun ekonomi.
Selasa, 16
September 1986
Pukul 10.30 pagi
ini Presiden dan Ibu Soeharto menyambut dengan hangat kedatangan Presiden
Prancis dan Nyonya Francois Mitterrand di pelabuhan udara Halim Perdanakusuma.
Kunjungan ini merupakan peristiwa bersejarah dalam hubugan antara kedua negara,
sebab inilah kunjungan pertama seorang Kepala Negara Prancis ke Indonesia.
Dalam kunjungan ini, kedua tamu akan berada di Jakarta sampai pagi har tanggal
18 September.
Pukul 15.00 sore
ini Presiden Soeharto mengadakan pembicaran resmi dengan Presiden Mitterrand di
Istana Merdeka. Serentak dengan itu berlangsung pula perundingan antara menteri
dan pejabat tinggi kedua negara. Dalam pembicaraan yang berlangsung selama dua
jam itu, kedua Kepala Negara telah membahas masalah-masalah bilateral,
regional, dan internasional yang kaitannya dengan kepentingan kedua negara. Menurut
Menteri/Sekretaris Negara, Sudharmono, kedua Presiden memiliki pandangan yang
sama mengenai bencana yang dapat
mengancam dunia, seperti perang nuklir dan ketimpangan negara kaya dan miskin.
Oleh karena itu keduanya sependapat untuk memperjuangkan tata ekonomi dunia
baru dalam rangka melenyapkan jurang pemisah antara negara kaya dan miskin.
Sumber
: Buku Jejak Langkah Pak Harto Jilid 1-6
Penyusun
: Rayvan Lesilolo