JUMAT, 9 JUNI 1989
Pagi ini Presiden Soeharto terbang dari New York ke Washington untuk menemui Presiden George Bush. Setiba di Washington, siang ini kedua kepala negara mengadakan pembicaraan selama lebih dari setengah jam di Ruang Oval, Gedung Putih. Pembicaraan yang menyangkut berbagai masalah internasional, regional maupun kerjasama bilateral itu juga dihadiri oleh Menteri Luar Negeri Ali Alatas, Menteri/Sekretaris Negara Moerdiono dan Duta Besar AR Ramly di pihak lndonesia, sedangkan Presiden Bush didampingi antara lain oleh Menteri Luar Negeri James Baker serta Kepala Staf Gedung Putih John Sanunu. Sebelum kembali ke New York sore ini, Presiden Soeharto menerima kunjungan kehormatan Wakil Presiden dan Quayle di Wisma lndonesia.
Kepada Presiden Soeharto, Presiden Bush mengakui adanya peluang bagi kedua negara untuk lebih meningkatkan kerjasama ekonomi dan perdagangan. Presiden Bush juga memuji lndonesia dalam menangani soal pembayaran hutang luar negeri dengan menerapkan kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi yang sehat. Dalam hubungan ini Presiden Bush berjanji akan membantu meringankan beban lndonesia dalam membayar utang luar negerinya. Janji ini merupakan tanggapan Presiden Bush terhadap penjelasan Presiden Soeharto tentang kian beratnya pembayaran kembali utang luar negeri lndonesia setelah adanya apresiasi mata uang Jepang. Presiden Soeharto juga meminta agar Presiden Bush membuka seluas mungkin pasaran barang ekspor lndonesia di AS.
Malam ini di New York, Presiden dan lbu Soeharto bersilahturahmi dengan masyarakat lndonesia yang berdomisili di kota dunia itu. Dalam ceramahnya, Kepala Negara antara lain mengatakan Golkar, PPP, PDI, dan ABRI mulai sekarang boleh mencari orang yang akan mereka calonkan untuk menjadi presiden atau wakil presiden untuk periode 1993-1998 lewat fraksi masing-masing di MPR. Dikatakannya bahwa jikalau pencalonan presiden dan wakil presiden dilaksanakan melalu prosedur semacam itu, maka suksesi kepemimpinan nasional lima tahun mendatang tidak akan menjadi persoalan.
Menurut Kepala Negara, kalau selama ini yang muncul dan terpilih sebagai presiden adalah dirinya sendiri hal itu hanya suatukebetulan saja. Namun demikian tidak berarti bahwa calon presiden hanya boleh satu orang seperti yang terjadi lima kali belakangan ini. Tetapi ia mengingatkan bahwa proses penentuan siapa yang bakal terpilih harus tetap didasarkan pada musyawarah untuk mufakat.
Publikasi, Lita.SH