SENIN, 18 MEI 1970
Melanjutkan pertemuan dengan para menteri luar negeri yang menghadiri Konferensi Asia-Pasifik tentang Kamboja, pagi ini di Istana Merdeka secara berturut-turut Presiden Soeharto menerima lima menteri luar negeri. kelima menteri luar negeri itu adalah masing-masing dari kamboja, Yem Sambaur, Korea Selatan, Choi Kyu-Hah, Vietnam Selatan, Tran Van Lam, laos, Khampan Paniya, dan Singapura, S Rajatnam. Selain masalah-masalah bilateral, pembicaraan lebih banyak menyentuh masalah Kamboja dan Asia Tenggara pada umumnya.
Malam ini di Istana Negara, Presiden Soeharto turut memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.
Dalam amanatnya, Presiden antara lain menyarankan agar masyarakat tidak mencari perbedaan yang ada di dalam masyarakat, lebih-lebih yang menyangkut dengan agama, karena hal sedemikian akan menjadi penghalang bagi proses persatuan kita sebagai bangsa. Kepada semua umat beragama, Presiden juga menyerukan agar bersatu, dan mempunyai toleransi antar umat beragama. Umat Islam diminta agar tidak berkelompok sendiri-sendiri atau terpecah-pecah didalamnya. Dikemukakan pula oleh Jenderal Soeharto bahwa Islam itu adalah agama kemajuan sehingga menjadi kewajiban sebagai umat Islam untuk terus menggali ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan petunjuk Al Qur’an dan Hadits Nabi.
SELASA, 18 MEI 1971
Dalam sidang kabinet terbatas pagi ini Presiden Soeharto mengharapkan agar dapat dirumuskan secara kongkrit, dan disebarluaskan kepada masyarakat, pengembangan prasarana menu makanan, yang mengandung protein lebih banyak. Kepada Menteri Pertanian diinstruksikan untuk memikirkan pelaksanaan semacam Bimas pada tanaman-tanaman lainnya, dan dalam bidang peternakan.
KAMIS, 18 MEI 1978
Pagi ini pembicaraan tidak resmi antara Presiden Soeharto dengan PM Datuk Husei Onn dilanjutkan lagi. Sebelum melakukan pembicaraan ini, Presiden menanam “pohon persahabatan” di lapangan golf Labuan. Usai pembicaraan Kepala Negara dan rombongan langsung kembali ke Jakarta, setelah transit sebentar di pelabuhan udara Sepinggan, Balikpapan.
Ketika transit di Sepinggan, Menteri/Sekretaris Negara Sudharmono mengungkapkan kedua pemimpin Indonesia dan Malaysia itu sepakat bahwa mereka tidak melihat urgensinya untuk mengadakan KTT ASEAN dalam tahun ini. Juga diungkapkannya bahwa kedua pemimpin membicarakan juga masalah hubungan diplomatik kedua negara dengan RRC.
SELASA, 18 MEI 1982
Menteri Pertanian Sudarsono menghadap Presiden Soeharto di Istana Merdeka pagi ini. Setelah bertemu Kepala Negara, ia mengatakan bahwa Pemerintah telah memutuskan untuk menghentikan ekspor venner basah mulai tahun ini. Kemudian secara bertahap, Pemerintah juga akan menghentikan ekspor venner kering. Maksud dari pada penghapusan ekspor venner ini adalah untuk memberi posisi yang lebih baik lagi bagi produksi kayu lapis Indonesia di pasaran internasional. Pada kesempatan ini Menteri Sudarsono juga melapotkan kepada Presiden tentang usaha untuk meningkatkan industri perkayuan di tanah air.
SABTU, 18 MEI 1985
Presiden memberikan petunjuk kepada Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja, agar dalam memperjuangkan hak-hak negara berkembang bagi pemasaran produknya, kita tidak perlu memakai cara yang nadanya memaki-maki negara industri. Demikian juga dalam upaya memperjuangkan keadilan di bidang ekonomi internasional, negara berkembang juga tidak perlu melontarkan hal seperti itu.
Demikian dikatakan oleh Menteri Mochtar Kusumaatmadja setelah menghadap Presiden Soeharto di Cendana pagi ini. Ia menghadap Presiden untuk menyampaikan laporan mengenai hasil lawatannya ke negara-negara Amerika Latin, terutama pembicaraannya dengan Menteri Luar Negeri Kolumbia mengenai Deklarasi Bandung.
SENIN, 18 MEI 1987
Pukul 09.00 pagi ini Presiden Soeharto, bertempat di Cendana menerima Menteri Perindustrian Hartarto. Dalam pertemuan itu Kepala Negara menginstruksikan agar industri-industri yang menggunakan gas alam mencegah terjadinya ledakan. Instruksi ini diberikan Presiden agar kejadian di Pabrik Besi Spons di Krakatau Steel belum lama ini, tidak terulang lagi.
Demikian diungkapkan oleh Menteri Perindustrian Hartarto seusai menghadap Kepala Negara. kepada pers ia menjelaskan bahwa industri pupuk, besi baja dan minyak. Dikemukakannya pula bahwa ketika bertemu Presiden ia juga melaporkan tentang keberhasilan para pengusaha kita menguasai teknologi dalam rancang bangun dan peralatan pabrik yang berlandaskan kepada prinsip-prinsip ekonomi.
SABTU, 18 MEI 1991
Pagi ini Presiden Soeharto meresmikan penggunaan Waduk Serbaguna Kedung Ombo dalam suatu upacara di desa Kedung Ombo upacara di desa Kedung Ombo, Purwodadi Grobokan, Jawa Tengah. Waduk yang dibangun dengan biaya sejumlah Rp560 miliar ini mampu mengairi sawah ribuan hektar dan menghasilkan listrik 22,5 megawatt.
Dalam sambutannya pada peristiwa ini, Kepala Negara mengatakan bahwa ia tahu bahwa sebagian anggota masyarakat telah memberikan pengorbanan bagi pembangunan waduk ini. Dalam hubungan ini, pemerintah tidak akan membiarkan rakyat berkorban begitu saja. Pemerintah pasti tidak ingin dan tidak akan menyengsarakan rakyatnya. Bagi kita, demikian Kepala Negara, sudah jelas bahwa pembangunan itu untuk rakyat, dan bukan sebaliknya. Kalaupun rakyat terpaksa harus diminta pengorbanannya, hal itu tidak lain karena ada kepentingan yang lebih besar, kepentingan rakyat yang lebih banyak dan kepentingan jangka panjang yang lebih jauh. Ditegaskannya bahwa menghadapi pengorbanan rakyat itu tentu saja pemerintah tidak lepas tangan.
Setelah meresmikan waduk tersebut, Presiden mengadakan dialog dengan 51 petani. Dalam temu-wicara tersebut Kepala Negara mengingatkan bahwa masyarakat yang belum mau pindah dan minta tambahan uang ganti rugi pembangunan waduk itu, agar jangan sampai menjadi penghalang dan masuk dalam catatan sejarah seakan-seakan menjadi kelompok yang “mbalelo mengguguk makuto waton” (membangkan, keras kepala, dan kaku). Dikatakannya bahwa jika ini sampai terjadi, maka predikat tersebut akan disandang oleh anak cucu mereka.
Dikatakan oleh Presiden bahwa hingga saat ini masih ada sebagian kecil warga negara masyarakat di sekitar waduk yang belum rela meninggalkan pemukiman atau ladang mereka karena tetap mempertahankan tuntutannya dan menganggap penyelesaian ganti rugi tersebut tidak adil, sert minta tambahan ganti rugi. Dalam hubungan ini Kepala Negara menegaskan bahwa pemerintah tidak mungkin bisa memenuhi permintaan itu. Dan jika sebagian kecil rakyat yang masih tetap bertahan disana, hanya akan memperpanjang kesengsaraan mereka.
Penyusun Intarti, S.Pd