“Surat Perintah 11 Maret itu mulamula, dan nampak dalam kurun waktu –membuat mereka bertempik sorak kesenangan–. Dikiranya SP 11 Maret adalah penyerahan pemerintahan. Dikiranya SP 11 Maret itu suatu transfer of authority. Padahal tidak! SP 11 Maret adalah suatu perintah pengamanan, perintah pengamanan jalannya pemerintahan. Demikian kataku waktu melantik kabinet. Kecuali itu, perintah pengamanan keselamatan pribadi Presiden. Perintah pengamanan wibawa Presiden. Perintah pengamanan ajaran Presiden. Perintah pengamanan beberapa hal. Dan Jenderal Soeharto telah mengerjakan perintah itu dengan baik, dan saya mengucapkan terima kasih kepada Jenderal Soeharto akan hal itu.”
Bung Karno
dalam Pidatonya “Jangan Sekali-Sekali Melupakan Sejarah”, 17 Agustus 1966
INDONESIA berada dalam kemelut nasional pascakudeta gagal Gerakan 30 September 1965 yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat (AD) dibunuh orang-orang PKI secara keji. Jasad mereka dimasukkan ke dalam sumur tua di Lubang Buaya, di pinggiran timur Jakarta. Mayjen Soeharto menjadi igur sentral yang berhasil mematahkan usaha-usaha PKI untuk mengganti kepemimpinan nasional.
Dengan inisiatifnya, ia melakukan konsolidasi terhadap TNI AD yang masih setia terhadap Pancasila dan UUD 1945, dan secara cepat menghancurkan usaha-usaha PKI untuk menguasai negara melalui kudeta penuh darah. Inisiatif yang diambil Pak Harto guna mematahkan G30S/PKI sesungguhnya memperoleh kewenangan legal dari Presiden Soekarno sebagai Panglima Tertinggi pada masa itu. Kala kemelut kian memuncak,
Bung Karno pun mempercayakan pemulihan ketertiban dan keamanan kepada Pak Harto. Berbekal Surat Perintah 11 Maret 1996 (Supersemar), yakni surat perintah yang dikeluarkan Bung Karno untuk Pak Harto, Letjen Soeharto segera mengambil inisiatif membubarkan PKI. Supersemar praktis hanya digunakan Pak Harto untuk melakukan dua hal : membubarkan PKI beserta underbouw-nya dan memproses hukum menteri-menteri yang terindikasi terlibat G30S/PKI. Sidang Umum MPRS IV tanggal 20 Juni 1966 kemudian menguatkan Supersemar sebagai payung hukum.
Dengan Tap MPRS No. IX/MPRS/1966, maka pembubaran PKI yang dilakukan dengan Supersemar, juga dikukuhkan menjadi produk hukum. TAP itu pun melarang kegiatan menyebarkan atau mengembangkan paham dan ajaran Komunisme-Marxisme-Leninisme di Indonesia. Bung Karno menyebut penetapan Supersemar oleh MPRS sebagai “Plong yang ketiga” dari suasana hati dirinya saat itu.***
Penulis : Mahfudi
Penulis : Mahfudi