Jumat, 15 Oktober 1965
Presiden Soekarno mengundang beberapa instansi yang terkait dengan Kopkamtib guna membahas upaya untuk menormalkan keadaan di tanah air. Pertemuan itu dihadiri oleh Waperdam I, Dr. Subandrio, Waperdam II, Dr. Leimena, Menpangad Mayjen Soeharto, Menteri Penerangan Achmadi, Pangdam V/Jaya, Mayjen Umar Wirahadikusumah, dan beberapa menteri lainnya.
Berdasarkan pembahasan itu, Presiden Soekarno menetapkan berlakunya keadaan darurat perang di daerah Jakarta Raya. Keputusan tersebut diambil berdasarkan pertimbangan bahwa sulit diambil sesuatu langkah untuk mengakhiri masalah yang timbul akibat peristiwa G-30-S/PKI dalam keadaan seperti sekarang ini. Presiden Soekarno menghendaki segera tercapainya suasana tenang dan tertib guna mempercepat keamanan dan ketertiban di ibukota.
• Sementara itu rakyat mulai berani mengatakan aksi-aksi mengutuk G-30-S/PKI secara terbuka. Rapat umum hari ini diadakan oleh rakyat Jawa Tengah di Pekalongan. Terdapat 29 partai politik dan organisasi massa yang hadir dalam rapat umum itu, yaitu antara lain NU, Parkindo, IPKI, HMI, Al-Irsyad, dan Gasbindo.
Rabu, 15 Oktober 1969
Presiden Soeharto di Istana Merdeka malam ini melanjutkan pertemuan konsultasi dengan pimpinan partai. Yang diterima malam ini adalah pimpinan Parmusi, IPKI, dan Perti. Sebagaimana telah diungkapkan kepada para pimpinan partai politiknya lainnya kemarin, Presiden Soeharto kembali mengulangi pendirian pemerintah bahwa konsensus yang telah dicapai, yaitu antara lain sistem pemilihan umum yang proposional dan organisasi-organisasi peserta pemilihan umum dibatasi pada organisasi-organisasi yang telah mempunyai wakil dalam DPR-GR, akan tetap dipertahankan.
Kamis, 15 Oktober 1970
Hari ini Presiden Soeharto menerima Rektor ITB, Prof. Dr. DA Tisnaamidjaja, di Istana Merdeka. Menurut Rektor ITB, dalam pertemuan tersebut Presiden menanggapi peristiwa 6 Oktober yang mengakibatkan meninggalnya seorang mahasiswa ITB, Rene Coenrad, dan kejadian-kejadian selanjutnya dengan penuh kerisauan. Presiden juga mengatakan bahwa hak-hak sipil sudah ada dalam UUD 1945, kalau hal itu masih dirasakan kurang sempurna, supaya disempurnakan bersama-sama melalui lembagalembaga atau saluran-saluran yang ada.
Senin, 15 Oktober 1973
Pukul 11.00 pagi ini Presiden Soeharto menerima pengurus pusat Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia) di Istana Merdeka. Kunjungan mereka kepada Kepala Negara merupakan keputusan rapat pleno lengkap pengurus pusat Pertuni pertama tahun 1973, dan dilakukan dalam rangka Hari Tongkat Putih Internasional yang jatuh pada tanggal 15 Oktober. Organisasi tunanetra nasional ini dipimpin oleh Wali Utama Moh. Ali Partokoesoesmo, Wakil Wali Utama, Hr. Roenadhi, dan Sekretaris Umum, Anton Pratista Sastraningrat.
Kamis,, 15 Oktober 1974
Presiden Soeharto pagi ini memimpin sidang Dewan Stabilisasi Ekonomi di Bina Graha. Dalam sidang kali ini antara lain telah dibicarakan perkembangan penanaman modal, baik dalam negeri mapun asing. Dilaporkan oleh Ktua BKPM, Barli Halim, bahwa selama tujuh tahun, yaitu sejak 1968-1974, terdapat 759 proyek penanaman modal asing yang telah disetujui oleh Pemerintah. Keseluruhan proyek itu bernilai US$3.796 milyar.
Rabu, 15 Oktober 1975
Dengan menumpang pesawat Fokker-28 milik Pertamina, Presiden dan Ibu Soeharto pagi ini berangkat ke Ujung Pandang untuk suatu kunjungan kerja selama delapan jam di Provinsi Sulawesi Selatan. Dalam kunjungan kerja ini Kepala Negara meresmikan pabrik gula di Arasoe, Kabupaten Bone, kemudian meninjau proyek sutera alam di Soppeng dan peternakan milik PT Mulya Ternak di Maroangin, Kabupaten Enrekang.
Ketika meninjau proyek sutera alam, Kepala Negara mengatakan bahwa Indonesia kini sudah menggeluti produksi persutraan selama dua puluh tahun. Dikemukakannya bahwa meskipun dalam jangka waktu itu masa pasang surut lebih panjang daripada pasang naik, akan tetapi kini kita sudah memiliki bibit ulat sutera yang sehat dan bebas dari penyakit. Ini berarti bahwa salah satu persoalan besar telah dapat kita atasi. Oleh karena itu ia meminta agar tenaga-tenaga peneliti Indonesia tidak berhenti sampai pada hasil yang telah dicapai sekarang.
Sabtu, 15 Oktober 1977
Presiden Soeharto mengadakan peninjauan singkat keliling kota Abu Dhabi sebelum meninggalkan Ibukota Emirat Arab itu pagi ini. Dalam peninjauan itu, Presiden didampingi oleh Presiden Emirat Arab Syeikh Zayet.
Setelah mengadakan peninjauan ini, kedua pemimpin mengeluarkan pernyataan bersama hasil pembicaraan kedua belah pihak.
Dalam pernyataan bersama itu disepakati untuk meningkatkan hubungan bilateral di segala bidang terutama dalam bidang ekonomi, perdagangan, perminyakan, investasi modal dan lain-lain. Pemerintah Emirat Arab menyatakan kesediaannya unuk memberikan bantua bagi proyek tenaga listrik di Jawa Barat.
• Presiden Soeharto dan rombongan hari ini tiba di Bahrain. Setibanya di lapangan terbang negara itu, Presiden Soeharto beserta rombongan berangkat menuju Istana, dimana kemudian dilakukan pembicaraan resmi antara kedua negara. Dalam pembicaraan itu, Presiden Soeharto dan Emir Bahrain didampingi oleh para menteri daro masing-masing pihak.
• Hasil pertama dari pembicaraan itu ialah adanya dukungan Bahrain terhadap Indonesia dalam masalah Timor Timur. Sebagaimana diketahui, didalam forum PBB selama ini Bahrain selalu bersikap abstain mengenai persoalan Timor Timur. Perubahan sikap Bahrain ini terjadi setelah adanya penjelasan yang menyeluruh dari Presiden Soeharto atas perkembangan terakhir di Timor Timur. Dari penjelasan tersebut, Emir Bahrain berpendapat bahwa masalah Timor Timur adalah persoalan dalam negeri Indonesia sendiri.
• Sore ini Presiden dan Ibu Soeharto beserta rombongan tiba di lapangan terbang Internasional Damaskus. Di tangga pesawat, Presiden Soeharto dan Ibu Tien disambutoleh Presiden suria, Hafez al-Assad dan Nyonya. Kemudian Presiden Soeharto memeriksa barisan kehormatan dan diperkenalkan kepada para pemimpin negara danimpinan partai Baath yang berkuasa di Suriah, serta para penyambut lainnya. Masyarakat Indonesia di Damaskus turut mengelu-elukan kedatangan Presiden Soeharto.
• Presiden Suriah dan Ny. Hafez Assad malam ini mengadakan jamuan makan kenegaraan untuk menghormati kunjungan Presiden dan Ibu Tien Soeharto. Memberikan sambutan pada jamuan makan malam ini, Presiden Soeharto antara lain mengemukakan bahwa Indonesia sejak semula dan untuk seterusnya di masa mendatang selalu mendukung perjuangan benar dari bangsa Arab dan Palestina dalam melawan agresi Israel dan komplotan Zionisme internasional. Oleh karena itu Indonesia mengutuk kebijaksanaan politik yang dianut Israel yang berhubungan dengan masalah hukum dan peraturan yang menyangkut soal pemukiman penduduk Israel di wilayah Tepi Barat Sungai Yordan Jalur Gaza. Hal ini menurut Presiden Soeharto telah menimbulkan penghalang tambahan bagi usaha dan inisiatif perdamaian di Timur Tengah.
Sedangkan Presiden Hafiz Assad dalam pidatonya mengatakan bahwa ia ingin sekali melihat ruang-lingkup hubungan antara kedua negara diperkokoh dan diperluas. Dikatakannya bahwa suriah selalu mngikiti dengan penuh minat segala langkah dan usaha Indonesia dalam meningkatkan tingkat hidup bangsanya yangsangat bersahabat itu. Juga dikatakannya bahwa untuk hal itu kami selalu mendoakan agar apa yang dikerjakan tersebut berhasil. Menurutnya, rakyat Suriah sangat berbahagia dengan kunjungan Presiden Soeharto karena merka menganggap rakyat Indonesia sebagai saudara sendiri dan memberikan rasa hormat terhadap mereka.
Minggu, 15 Oktober 1978
Malam ini Presiden Soeharto menutup secara resmi penataran Calon Pegawai RI di Istana Bogor. Penutupan penataran ini ditandai dengan pelantikan para lulusan penataran sebagai “manggala”, dan penyematan tanda “manggala” secara simbolis oleh Kepala Negara.
Dalam kata sambutannya, Presiden mengatakan bahwa ia tidak mengharapkan para Manggala itu menjadi “Manggala Yudha”, “Panglima Perang”< melainkan “Manggala” dari penataran tingkat nasional. Memang kita harus “berperang”, kata Presiden, untuk menghadapi ancaman terhadap ideologi nasional kita, kita tidak perlu berperang dengan senjata, karena kita bisa melaksanakan perang “tanpa bala”, “menang tan ngalahke”. Itulah yang akan menjadi tugas para Manggala, demikian Presiden.
Rabu, 15 Oktober 1980
Presiden Soeharto pagi ini di Istana Merdeka menerima utusan khusus Presiden saddam Husein dari Irak, Yassin Mohammad Khalaf Al Rikabi. Utusn ini datang untuk menyampaikan pesan khusus Presiden Saddam Husein untuk Presiden Soeharto. Pesan tersebut antara lain menyangkut latar belakang peperangan antara Irak dengan Iran sekarang ini.
Kepada utusan Presiden Saddam Husein itu, Kepala Negara mengatakan bahwa Indonesia akan terus berusaha mencari jalan bagi penyelesaian konflik Irak-Iran, baik kerjasama melalui negara-negara non-blok, OPEC maupun Konperens Islam.
• Bertempat di Istana Negara, hari ini Presiden Soeharto mengadakan ramah tamah dengan para Perintis Kemerdekaan yang berdomisili di DKI Jakarta. dalam kata sambutannya yang tanpa teks, Presiden mengatakan bahwa walaupun cita-cita kemerdekaan belum selruhnya tercapai, namun hsil pembangunan yang dilaksanakan sejak Pelita I sampai sekarang ini patut disyukuri, karena itu merupakan karunia Tuhan. Dikatakannya bahwa kita harus mensyukurinya, karena keadan kita sekarang labih baik dibandingkan dengan tahun-tahun yang lalu, lebih-lebih dengan masa penjajahan.
Diakui oleh Kepala Negara bahwa hasil pembangunan yang dicapai sekarang ini belum dapat dikatakan sesuai dengan yang dicita-citakan bersama. Semuanya itu memerlukan waktu dan pengorbanan.
Kamis, 15 Oktober 1981
Presiden memberikan bantuan untuk korban kebakaran di Palembang sebesar Rp200 juta. Bantuan tersebut diserahkan secara simbolis oleh Menteri Sosial, Sapardjo, di Palembang, kepada Gubernur Sumatera Selatan hari ini.
Rabu, 15 Oktober 1986
Presiden dan Ibu Soeharto hari ini melakukan kunjungan kerja sehari di NTB untuk menghadiri panen raya mutiara di desa Tanjung Bero, Kecamatan Taliwang, Sumbawa. Pengusahaan mutiara di daerah ini dilakukan oleh PT Paloma Agung yang melibatkan para nelayan setempat didalam operasinya.
Menyambut panen raya mutiara itu, Kepala Negara mengatakan bahwa budidaya mutiara perlu digalakkan dalam usaha kita memperbesar ekspor non-migas. Disamping itu, dengan pengembangan budidaya mutiara, maka sekaligus kita tingkatkan penghasilan petani nelayan yang ikut dalam usaha ini. Usaha pembudidayaan ini juga memperluas lapangan kerja.
Selanjutnya dikatakan oleh Presiden, agar pengembangan budidaya mutiara ini benar-benar bermanfaat bagi rakyat banyak, maka pemerintah telah menggarikan kebjiksanaan bahwa siput muda yang akan dibudidayakan haruslah ditangkap oleh para nelayan setempat, sedangkan pengusaha hanya diperbolehkan menampung hasil tangkapan nelayan itu. Demikian pula, siput mutiara yang telah mati setelah mutiaranya diambil, kulitnya tidak boleh dibuang begitu saja, karena dapat dimanfaatkn oleh para pengrajin.
Kamis, 15 Oktober 1987
Presiden dan Ibu Soeharto melakukan kunjungan kerja sehari di NTB dalam rangka menyaksikan panen raya bawang putih dan peresmian Laboratorium Hepatika Bumi Gora Nusa Tenggara Barat. Dalam kunjungan kerja ini ikut pula Ibu Umar Wirahadikusumah.
Acara panen raya bawang putih berlangsung pada jam 11.00 pagi ini di desa Sembalun, Kecamatan Aikmel, Lombok Timur. Peresmian panen raya ini ditandai dengan pemukulan kentongan oleh Presiden, yang dilanjutkannya dengan mencabut bawang putih yang ditanam di sawah. Pencabutan juga dilakukan leh Ibu Tien dan Ibu Umar, disaksikan oleh ribuan penduduk setempat.
Setelah itu Kepala Negara meresmikan Laboratorium Hepatika yang diprakarsai dan dikelola sepenuhnya oleh swasta, yaitu Yayasan hati Sehat. Ketika meresmikan laboratorium yang terletak di Mataram itu, dalam amanatnya Presiden mengungkapkan rasa kagum dan bangganya. Sebab, demikian Kepala Negara, laboratorium yang menunjukkan keberhasilan terobosan teknologi di bidang kesehatan ini justru terjadi di kota Mataram, kota yang jauh dari pusat-pusat ilmu pengetahuan yang kita kenal dan langkanya fasilitas-fasilitas ilmiah yang memadai. Hal ini membuktikan bahwa kita memiliki kemampuan untuk mengembangkan kewiraswastaan, profesionalisme, penguasaan teknologi, dan pengelolaan sarana yang terbatas seccara efesien, sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang berguna bagi pembangunan kesehatan.
Lebih jauh dikemukakan oleh Kepala Negara bahwa upacara siang ini bukan upacara peresmian sebuah proyek raksasa. Dilihat dari wujudnya, yang kita saksikan disini memang sesuatu yang tidak besar. Akan tetapi ada kebesaran lain yang tidak kalah penting, yaitu terobosan yang kita buat dalam teknologi kesehatan.
Sabtu, 15 Oktober 1988
Pagi ini Presiden Soeharto menghadiri peringatan Hari Pangan Seduduia ke-8 yang berlangsung di Balai Budaya Air Tawar, Sukabumi, Jawa Barat. Dalam yang baru pertama kalinya dilangsungkan di luar Jakarta itu tampak hadir antara lain Menteri Koperasi/Kepala Bulog Bustanil Arifin, Menteri Pertanian Wardoyo, Pangab Jenderal Try Sutrisno, dan Gubernur Jawa Barat Yogie SM.
Memberikan amanatnya dihadapan ribuan petani Jawa Barat, Presiden mengatakan bahwa dalam memantapkan swasembada beras dan usaha mencapai swasembada pangan pada umumnya, kita harus memperhatikan pertambahan pendduk dan juga makin meningkatkan kebutuhan peningkatan gizi makanan masyarakat. Dikatakannya, kita juga harus mencurahkan perhatian pada peningkatan efisiensi dalam produksi pertanian kita, antara lain penanganan kegiatan lepas panen. Kita harus berusaha agar sedikit mungkin hasil pertanian yang seolah-olah terbuang begitu saja, karena penanganan lepas panen yang belum aik.
Senin, 15 Oktober 1990
Pukul 10.00 pagi ini, di Istana Negara, Presiden membuka seminar Internasional mengenai Arsitektur dalam Ekspresi Islam. Seminar yang diikuti oleh 130 peserta dari berbagai negara itu dilangsungkan di yogyakarta atas kerjasama antara Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI) dan The Aga Khan Award for Architecture. Aga Khan sendiri ikut hadir dalam seminar ini yang merupakan seminar kedua yangpernah disponsori oleh yayasannya di Indonesia.
Dalam kata sambutannya, Presiden Soeharto antara lain menyatakan penghargaannya atas usha Aga Khan membangkitkan penghargaan terhadap persepsi kebudayaan Islam melalui media asitektur. Sebab bagi kita, Islam membawa agama dan peradaban. Islam berkembang tidak dalam ruang yang vakum budaya. Karena itu pertumbuhan pemikiran danperdaban kaum muslimin tidak lepas dari lingkungan, sejarah, dan kebudayaan.
Lebih jauh dikatakan oleh Presiden bahwa Islam datang dan berkembang di Indonesia secara damai. Penting untuk dicatat bahwa para penganjur Islam di masa awal mempunyai kearifan yang luar biasa. Mampu meniupkan ruh Islam kedalam ekspresi-eksprei kultural masyarakat setempat, tidak terjadi konflik budaya. Hal ini dapat dilihat dari adat istiadat, kesenian, dan bangunan umat Islam masyarakat Indonesia. Dan hal ini tetap berlangsung sampai sekarang.
Selasa, 15 Oktober 1991
Presiden dan Ibu Soeharto pukul 19.00 malam ini menghadiri acara pembukaan Festival Istiqlal. Pembukaan festival Islam Indonesia yang berlangsung di Masjid Istiqlal itu dihadiri pula oleh Yang Di Pertuan Agong Malaysia, Sultan Azlan Shah. Dan Sultan Yang Di Pertuan Negara Brunei Darussalam, Sultan Hassanal Bolkiah, yang menang sengaja mengunjungi Jkarta untuk menyaksikan fesstival akbar ini.
Membuka festival, Presiden mengatakan bahwa tujuan yang ingin dicapai dengan penyelenggaraan fesival ini adalah timbulnya kesadaran akan jatidiri khas umat beragama serta makin kukuhnya persahabatan antar bangsa-bangsa. Menurut Presiden, sebagai paparan kebudayaan khas kaum muslimin Indonesia ada dua unsur penting di dalamnya.
Unsur pertama adalah roh Islami, yang bertumpu pada jiwa tauhid serta pesan perdamaian, rahmat dan persaudaraan seluruh insan. Islam sebagai agama yang ditujukan pada kemanusiaan sebagai satu umat, mengaarkan asas-asas yang berlaku universal, sehingga memberikan cukup peluang bagi setiap lingkungan sosial dan budaya untuk menerimanya dengan penyesuaian tanpa menimbulkan perubahan pada asas-asasnya. Al-Qur’an pun menegaskan bahwa sesungguhnya manusia adalah satu umat. Namun di firmankan pula bahwa manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar mereka saling berkenalan.
Unsur kedua adalah semangat ke-Indonesiaan yaitu semangat kekeluargaan dan toleransi dari suatu masyarakat majemuk, yang menganut berbagai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam semangat kekeluargaan dan toleransi ini, kaum muslimin menghargai agama serta kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang dianut oleh saudara-saudaranya sebangsa.
Presiden mengatakan bahwa perpaduan kedua unsur tadi, antara yang universal dan yang nasional, menimbulkan kepribadian tersendiri dan menyebabkan kebudayaan kaum muslimin Indonesia mempunyai ci khasnya sendiri yang layak di tampilkan.
Kepala Negara mengatakan bahwa melalui festival ini kita berharap agar kaum muslimin lainnya di dunia juga dapat mengenal saudara-saudara seiman mereka di Indonesia. Kita juga berharap agar umat beragama lainnya di dunia mengenal agama islam yang tumbuh dalam kebudayaan lokal yang penuh kekeluargaan dan toleransi di Indonesia.
Kami, 15 Oktober 1992
Hari ini Presiden dan Ibu Soeharto mengunjungi NTB untuk menghadiri Peringatan Hari Pangan se-Dunia 12. Acara ini di pusatkan di desa Selat, Kabupaten Lombok Barat dalam sambutannya Kepala Negara menekankan pentingnya perbaikan gizi keluarga di Indonesia, dan mengajak semua bangsa untuk meningkatkan pembangunan yang merupakan satu-satunya cara untuk memerangi kemiskinan dan keterbelakangan.
Kepala Negara menyerukan pula agar rakyat secara bersungguh-sungguh, berencana, terpadu dan berkelanjutan meningkatkan pemanfaatan pekarangan lahan dan lahan kering lain, sebagai bagian usaha perbaikan gizi keluarga. Disamping itu, pemanfaatan lahan pekarangan juga dapat menunjang program penganekaragaman pangan dan membantu menigkatkan pendapatan petani. Ditambahkannya, kita masih menghadapi 4 masalah kekurangan gizi utama, yaitu kekurangan protein, zat besi, vitamin A dan kekurangan yodium. Selain itu bangsa Indonesia juga sudah harus memikirkan masalah gizi baru, untuk itu pendidikan dan penyuluhan serta latihan harus ditingkatkan, sehingga masyarakat makin sadar akan pentingnya gizi yang baik dan seimbang.
Sumber : Jejak Langkah Pak Harto Jilid 1 - 6