Pada tanggal 17 Agustus 1945, hari Jumat Legi, bulan puasa, pukul 10.00, Bung Karno dan Bung Hatta, atas nama rakyat, memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Begitulah berita yang saya terima beberapa waktu kemudian. Memang kabar gembira itu diterima terlambat di Yogya seperti juga halnya di kota-kota lainnya di Jawa. Lebih-lebih lagi di pulau-pulau lainnya, karena larangan penguasa Jepang, untuk menyiarkan peristiwa penting tersebut.
Sebelum itu, di bulan Februari terjadi pemberontakan terhadap Jepang di bawah pimpinan Suprijadi di Blitar. Shodancho dan Bundancho yang terlibat ditangkap dan diajukan ke pengadlilan militer, sehingga batalyon itu tidak mempunyai komandan regu lagi. Seluruh batalyon itu kemudian di pindahkan ke Brebeg, di daerah Nganjuk, dan diasramakan di sana.
Di Madiun saya tidak tinggal di asrama, melainkan di luar, karena dapat rumah sendiri. Saya tinggal di rumah dinas itu tidak lama, karena segera ditugasi melatih prajurit-prajurit dari Batalyon Blitar untuk menjadi komandan regu (Bundancho). Latihannya di Brebeg, di tengah-tengah hutan jati.
Pada waktu Bung Karno mengumandangkan kemerdekaan kita itu, saya masih di Brebeg, sedang melatih para prajurit. Pada tanggal 18 Agustus, begitu saya selesai melatih prajurit-prajurit PETA tersebut, kami diperintahkan bubar. Kami disuruh menyerahkan kembali senjata-senjata kami. Mobil pun dirampas oleh Jepang. Tanpa mengetahui apa yang telah terjadi di Jakarta, saya pergi dari Brebeg ke Madiun, lalu ke Yogyakarta.
Mula-mula saya tidak tahu apa-apa tentang kemerdekaan kita itu. Setelah tiba di Yogya, barulah saya tahu samar-samar, dan kemudian menjadi lebih jelas lagi. Saya paham akan hal itu dari teman-teman, dari orang-orang di jalan dan di rumah.·
Mendengar berita seperti itu saya pikir, “Wah, ini artinya panggilan.” Perasaan dan perhitungan saya sewaktu berada di asrama-asrama PETA itu terbukti benar. Saya sudah merasakan, bahwa bangsa Indonesia sungguh-sungguh menginginkan kemerdekaan. Dan sekarang kemerdekaan itu sudah diproklamasikan. ltu berarti panggilan bagi kita untuk membelanya.
Saya pun membaca surat kabar “Matahari” yang terbit di Yogya tanggal 19 Agustus, yang memberitakan kabar besar mengenai proklamasi dan Undang-Undang Dasar serta terpilihnya Bung Karno dan Bung Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden negara kita yang baru lahir. Rupanya hari itu pula Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII mengirimkan kawat ucapan selamat kepada Presiden dan Wakil Presiden RI serta menyatakan ikut bergembira atas terbentuknya Negara Republik Indonesia. Kata sambutan Sultan Hamengku Buwono IX dimuat pula dalam harian “Matahari” yang menyebutkan bahwa semua, tidak ada yang terkecuali, harus bersedia dan sanggup mengorbankan kepentingan masing-masing untuk kepentingan kita bersama, ialah menjaga, memelihara, dan membela kemerdekaan nusa dan bangsa. Anjuran yang sudah ada dalam pikiran saya.
Jepang masih ada di Yogya dan kelihatan masih tetap ingin berkuasa, sementara pemuda-pemuda kita menunjukkan hasratnya yarig meluap-luap untuk mendapatkan senjata guna mempertahankan kemerdekaan kita. Dalam pada itu, tentara Jepang rupanya mulai menyadari bahwa rakyat Yogya sudah tahu akan kekalahan mereka dalam peperangan. Tetapi mereka bertahan di asramanya masing-masing.
Kemudian timbul inisiatif saya untuk mengumpulkan teman-teman bekas PETA. Secara kebetulan semua teman itu tinggalnya tidak berjauhan. Saya menemui Oni Sastroatmodjo, Komandan Kompi Polisi Istimewa, dan bersama dengannya saya mengumpulkan bekas-bekas Chudancho dan Shodancho.
Kami, bekas-bekas PETA dan sejumlah pemuda lainnya berkumpul. Kami berhasil membentuk satu kelompok yang kemudian jadi anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang pembentukannya sudah diumumkan oleh Pemerintah RI. Presiden Soekarno menyerukan, agar bekas PETA, bekas Heiho, bekas Kaigun, bekas KNIL dan para pemuda lainnya segera berduyun-duyun bergabung dan mendirikan BKR-BKR di tempatnya masing-masing. Seruan Bung Karno itu bukan sesuatu yang baru buat kami. Kami sudah bergerak sejalan dengan seruan itu. Di dalam kelompok kami ada unsur polisi yang buat saya tidak asing, karena saya pun pernah jadi polisi.
Umar Slamet, teman dekat saya, terpilih jadi ketua BKR. Dan saya terpilih jadi wakilnya. Kelompok kecil ini yang adanya di Sentul, di Jalan Kusuma Negara sekarang, adalah tangga pertama dalam zaman baru yang menaikkan saya ke tangga-tangga berikutnya. Anggota-anggotanya terdiri atas bekas-bekas PETA, Heiho dan pemuda-pemuda lainnya. Saya memimpin kelompok ini dalam melucuti Jepang yang di luar asrama. Beberapa kendaraan militer juga kami rebut untuk keperluan pasukan kami. Kompi kami ini segera menjadi kuat dan banyak yang menyegani, sementara sejumlah pasukan Jepang masih tinggal di tangsinya, antara lain di Kotabaru, dengan utuh dan lengkap persenjataannya.
Resminya saya tercatat sebagai Tentara Republik Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1945, yakni pada lahirnya “Tentara Keamanan Rakyat” (TKR). Tetapi saya sudah bergerak sebelum itu.
Saya pun kemudian menghadiri pertemuan bekas PETA dan Heiho dan pemuda-pemuda serta beberapa wanita yang berkumpul di sebuah gedung yang dipakai oleh Badan Penolong Korban-korban Perang (BPKKP), badan tempat BKR bernaung. Hadir waktu itu antara lain Kepala Polisi Istimewa Sudarsono, Mohamad Saleh, Ibu Ruswo, dari lain-lainnya. Saya termasuk pendiam dalam rapat itu. Maka pertemuan itu menghasilkan kesepakatan membentuk BKR di Yogya dan memilih Sudarsono dan Umar Jo’i sebagai pemimpin dan wakil pemimpin BKR Yogya. Tugas BKR ialah meyelenggarakan keamanan dan ketertiban dalam negeri. Tetapi yang jadi soal pertama dan utama bagi kami untuk mengemban tugas itu ialah bagaimana mendapatkan senjata itu. Hal yang sudah sejak semula saya pikirkan.
Kemudian saya dengar dan sempat bertemu dengan pemuda-pemuda dan pejuang-pejuang yang bersemangat, seperti Sundjojo Sudarto, Sudomo, Sjaifudin, Maja Retno, Sudirdjo, Marsudi. Kami sibuk. Hilir-mudik, berunding, hilir-mudik lagi, bergerak menyampaikan buah pikiran dan merundingkannya dengan orang-orang lain. Maka rencana pun kami rundingkan lagi dengan tokoh-tokoh muda waktu itu, seperti Umar Slamet, Sundjojo, Umar Jo’i, Muhamad Saleh dan lain-lainnya itu.
Kalau di Banyumas perebutan senjata dari tangan Jepang dapat berlangsung cuma dengan perundingan, lain halnya dengan yang terjadi di Yogyakarta. Di daerah saya, senjata baru kami dapatkan setelah melalui pertempuran yang cukup sengit. Saya mengetahui, bahwa ada sejumlah senjata yang dikirimkan dari Banyumas ke Yogya dan dibagi-bagikan kepada anggota-anggota BKR yang sedang menyusun kekuatan. Tetapi jumlahnya jauh dari mencukupi.
Terasa waktu itu Yogya mulai panas. Bara revolusi mulai membakar. Api perlawanan mulai menyala. Maka kemudian ketegangan pun terjadi antara pejuang-pejuang kita yang memerlukan senjata di satu pihak dan tentara Jepang yang bersenjata lengkap dan ingin mempertahankan kekuasaannya di lain pihak.
Ternyata Jepang bergerak lebih dahulu. Mereka melucuti polisi di Gayam. Kejadian ini menyebabkan rakyat marah, mengamuk. Akhirnya rakyat menyerang markas Jepang dan tentara Jepang angkat tangan, menyerah. Dengan ini sejumlah senjata sudah menambah yang ada pada kami. Berarti, persiapan untuk menyerang markas Jepang yang lain bertambah. Tetapi sesungguhnyalah, senjata yang ada pada pihak kami belum cukup dibandingkan dengan yang dipegang oleh pihak Jepang. Namun, sementara Slamet harus pergi dari Yogya menuju Madiun, saya mengambil oper tanggungjawabnya dan memimpin pasukan dan rakyat menyerbu markas Jepang. Saya yakin pada kekuatan semangat yang ada pada pihak kita.
Waktu itu umur saya 24. Saya bergerak di barisan paling depan, waktu serbuan itu dilakukan. Ternyata kami unggul. Tanggal 7 Oktober pukul 10.30 resmi tentara Jepang yang ada di Kotabaru itu menyerah. Mereka mengibarkan bendera putih. Senjata-senjata dan kendaraan mereka pindah ke tangan kita. Ratusan karaben dan sejumlah senapan mesin kami rampas. Senjata rampasan tersebut terus diangkut ke Markas Pemuda di Benteng, depan Gedung Agung, dulu namanya Benteng Kompeni Vredeburg. Tidak sedikit pemuda kita menjadi korban akibat tembakan peluru tentara Jepang, yang gugur 21 orang. Waktu itulah saya bertemu dengan bekas Shodancho Widodo dalam pertempuran yang tetap terkenang sampai sekarang.
Kira-kira pukul satu siang saya kembali ke Markas Pemuda di Benteng untuk memeriksa senjata-senjata hasil rampasan dari Jepang tadi pagi. Sewaktu saya turun dari kendaraan, seorang staf saya datang dengan berlari menyambut saya, memberikan laporan bahwa senjata hasil rampasan di Kotabaru habis diambil oleh pemuda-pemuda yang datang secara ramai-ramai dari berbagai penjuru kota. Mereka umumnya pemuda-pemuda yang tak tahu cara menggunakan senjata. Yang tertinggal hanya senjata berat. Memang benar apa yang dilaporkan kepada saya. Gudang senjata kosong, semua senjata ringan dan pistol habis dibagi ramai-ramai. Saya mencoba menahan diri. Bukan main kesalnya hati saya.
Di Semarang terjadi pertempuran sengit yang kemudian terkenal dengan sebutan “Pertempuran Lima Hari”. Tentara Jepang mengamuk karena merasa diganggu oleh pejuang-pejuang kita yang mencoba merebut senjata mereka. Dalam kejadian itu saya diminta mengirimkan bantuan pasukan ke Semarang. “Ini dia, datang kesempatan baik,” pikir saya.
Saya umumkan kepada semua pemuda yang memiliki senjata supaya segera berkumpul untuk berangkat ke Semarang membantu pemuda-pemuda kita melawan tentara Jepang. Pagi harinya setelah semua berkumpul, saya susun pasukan dengan ketentuan tiap pemuda yang bersenjata didampingi oleh seorang bekas PETA atau Heiho. Letnan Wuston dengan pasukannya bergabung dengan pasukan bersenjata berat di bawah pimpinan Letnan Mardjuki. Mereka saya berangkatkan dengan kereta api sampai di Mranggen dan mereka bertempur di front Pandeanlamper.
Taktik saya berhasil. Pemuda-pemuda yang membawa senjata mulai tidak kerasan, ingat pada orang tua dan pada ingin pulang kembali ke rumah. Semakin hari rasa panik mereka semakin menjadi. Pada saat itu datang peringatan dari tentara yang menjadi pendamping; “Siapa yang mau pulang, boleh, asal senjatanya tetap tinggal di garis depan”. Pemuda-pemuda yang belum pernah mendapat latihan kemiliteran dan disiplin itu akhirnya lebih senang memilih kembali ke rumah orang tua dan menyerahkan senjatanya kepada pendamping bekas PETA dan Heiho yang saya siapkan sebagai pendamping. Maka plonglah hati saya ini. Lega bukan main. Coba bayangkan, kalau seandainya senjata-senjata itu diminta dengan cara paksa, apa jadinya? Tentu terjadi pertumpahan darah. Syukur hal itu tidak sampai terjadi. Dalam pertempuran lima hari ini, banyak penduduk jadi korban kekejaman tentara Jepang.
Bersamaan dengan kejadian ini saya mengambil inisiatif menduduki lapangan terbang Maguwo yang waktu itu masih diduduki oleh tentara Jepang yang bersenjata lengkap. Pada waktu mendekati garis awal, pasukan saya berangkat dengan kendaraan truk, sedangkan saya naik sepeda motor, bersejatakan pistol Vickers. Saya memberikan komando menyerang penjaga lapangan udara itu dan Jepang menyerah tanpa mengadakan perlawanan. Serdadu-serdadu Jepang itu kami tahan di sebuah gedung sekolah di Kepatihan Danurejan. Dengan ini kami dapatkan beberapa buah pesawat terbang yang jadi salah satu modal pembentukan Angkatan Udara Republik Indonesia. Semua pesawat terbang saya serahkan pada Adisutjipto, seorang penerbang didikan Belanda. Pada hari itu juga, Adisutjipto mencoba menerbangkan pesawat cureng, hasil rampasan. Umar Slamet dengan saya menyaksikan dengan rasa bangga, putra Indonesia bisa terbang sendiri.
Lalu di Yogya dibentuk Divisi IX di bawah Sudarsono yang berpangkat Jenderal Mayor. Pasukan saya diresmikan menjadi Batalyon X dengan beberapa satuan pemuda. Sementara itu saya menguasai pula markas pemuda pelajar, antara lain yang berada di jalan Batanawarsa, dan yang di Jalan Mahameru. Juga ada bengkel kendaraan di Purwodiningratan dan di Gowongan Kidul. Maka lengkaplah susunan Batalyon X dengan kompi kendaraannya dan saya berpangkat mayor.
Sementara itu di tiap kampung dan desa di wilayah Yogyakarta dibentuk “Laskar Rakyat” sebagai pembantu Tentara Keamanan Rakyat. Semua penduduk bangsa Indonesia, laki-laki yang masih kuat badannya dan belum menjadi anggota TKR diharuskan masuk menjadi anggota Laskar Rakyat oleh Sultan Hamengku Buwono IX.
Selama ini jangankan seragam yang baik, pakaian pun masih compang-camping, tidak karuan. Tanda pangkat pun belum ada yang saya pakai. Cukup dengan wajah kita dan nama kita. ltulah jaminannya. Suatu kali saya ditanya oleh teman sesama perwira berkelakar tentang disiplin pemakaian tanda-tanda pangkat militer. Saya jawab, “Belum memikirkan untuk memakainya. Kita sekarang masih dalam revolusi. Mungkin nanti sehabis revolusi saya bersedia memakai lencana yang lebih besar.”
Tentara Sekutu datang di Semarang tanggal 19 Oktober dan Belanda/NICA “menggonceng” di dalamnya. Kabar-kabar tentang maksud tentara sekutu yang sebenarnya sudah tersebar luas di daerah. Bahwa Belanda ingin kembali berkuasa di atas bumi Indonesia ini pun sudah bukan rahasia lagi. Tindakan-tindakan mereka sesuai dengan perhitungan kita. Tetapi tokoh-tokoh politik kita menempuh jalan diplomasi. Dan kita pun percaya dan patuh pada kemampuan tokoh-tokoh politik kita, sementara para pejuang kita tetap waspada.
Di Semarang Pak Wongsonegoro selaku Gubernur Jawa Tengah dari pihak Republik mengadakan perundingan dengan Jenderal Bethel sebagai Panglima Sekutu di Jawa Tengah. Tetapi pihak Sekutu bukan memperhatikan aspirasi rakyat kita, melainkan malahan bergerak ke kota Magelang melalui Ambarawa. Dengan demonstratif mereka kemudian membebaskan interniran-interniran tawanan yang ada di kedua kota itu dan kekacauan pun timbul karena ulah pihak yang sombong itu.
Dalam mengimbangi kegiatan Sekutu di Semarang, Magelang dan Ambarawa, segenap potensi kita kerahkan. Lasykar Rakyat yang dibentuk di tiap desa kemudian bersatu dengan pasukan TKR menghadapi Sekutu.
Dua kali Sekutu menyerang kota Yogya dengan mengirimkan pesawat jenis pembom dengan merusak studio RRI Yogya dan Sono Budoyo serta menyebarkan pamflet yang mengacaukan, dan hal itu malah menimbulkan kemarahan rakyat kita kepada mereka.
Bentrokan tak dapat dihindarkan sehingga pada tanggal 31 Oktober, meletus pertempuran di Semarang, berkobar perlawanan pejuang-pejuang kita terhadap Sekutu, dan kemudian, keesokan harinya, rakyat Magelang mengangkat senjata melawan Sekutu dan NICA yang ada di dalamnya. Pertempuran berjalan terus. Kami tidak menginginkan Yogya berada di bawah telapak sepatu Sekutu/NICA. Kami bertahan, malahan berusaha keras mendesak supaya musuh mundur.
Badan-badan perjuangan yang dibentuk di luar TKR mengadakan Kongres Pemuda Indonesia di Yogya yang melahirkan Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia. Tetapi justru pada waktu itu, tanggal 10 November puncak pertarungan terjadi di Surabaya dengan terbunuhnya Jenderal Mallaby. Banyak sekali pejuang kita menjadi korban dalam peristiwa mengharukan itu yang kita kenang sampai sekarang sebagai “Hari Pahlawan”.
Letnan Jenderal Urip mengorganisasikan rapat pimpinan TKR yang pertama, bertempat di Markas Tertinggi TKR di Yogya. Rapat dihadiri oleh para perwira senior, panglima-panglima divisi dan komandan-komandan resimen dari Pulau Jawa. Tentunya mereka yang dari Surabaya tidak bisa hadir, karena hari-hari itu di sana sedang sibuk-sibuknya. Dalam rapat besar ini Panglima Divisi V/Banyumas Kolonel Soedirman terpilih sebagai pemimpin tertinggi TKR, sedangkan Pak Urip yang oleh pemerintah sudah diangkat sebagai Kepala Staf Umum, terpilih sebagai Kepala Staf TKR. Satu kombinasi yang terpadu: Pak Urip meletakkan landasan-landasan teknis militer, sedangkan Pak Dirman meletakkan landasan-landasan kejiwaannya.
Perlawanan kita terhadap Sekutu yang terus mencoba mendesak kita berjalan tak henti-hentinya. Saya pimpin Batalyon X ikut menyerbu Magelang dan Sekutu pun meninggalkan kota ini, mundur menuju Ambarawa.
Lalu tentara Sekutu membuat pertahanan yang kuat di Ambarawa. Letkol Isdiman gugur dan pertempuran untuk menghalau Sekutu dari pertahanannya di Ambarawa bertambah hebat. Kolonel Soedirman, menjelang pelantikan sebagai Panglima Besar TKR, maju memimpin pertempuran. Batalyon Suryosumpeno, Batalyon A. Yani dan Batalyon Kusen, di bawah pimpinan Letkol. M. Sarbini berhasil membebaskan penduduk Pingit yang diteror dengan kejam oleh Sekutu.
Saya dari Yogya dengan membawa kekuatan empat kompi, yakni Kompi Soedjono, Kompi Muljono, Kompi Sukoco dan Kompi Marjono maju juga. Begitu juga Letkol. Gatot Subroto dari Divisi V/Purwokerto, dan pasukan Batalyon 8 Divisi III di bawah pimpinan Mayor Sardjono. Empat hari empat malam Ambarawa kami gempur dengan siasat “supit udang”. Batalyon X yang saya pimpin ditugasi untuk menyerang Banyubiru lebih dahulu, kemudian mendudukinya, bertugas sebagai pengaman lambung dari pasukan induk yang bergerak ke Ambarawa. Banyubiru saya serang setelah Magrib, dan Sekutu mundur ke Ambarawa. Batalyon yang saya pimpin terus mengejarnya dan mengambil atau menyusun pertahanan jauh di depan Banyubiru. Semalam suntuk Banyubiru dihujani peluru meriam dari Ambarawa. Mendengar banyaknya tembakan meriam ke Banyubiru, Pak Gatot mengira batalyon saya sudah hancur. Kenyataannya tidak demikian, karena semuanya sudah saya perhitungkan. Mulai peristiwa itu Pak Gatot mengenal saya.
Hebat pertempuran itu. Saya pegang teguh disiplin. Saya marahi prajurit-prajurit yang mundur dengan meninggalkan senjata mereka. Di kesatrian Ambarawa, tempat saya menyusun kembali pasukan-pasukan saya, saya bicara keras di depan prajurit-prajurit yang telah meninggalkan medan pertempuran dalam keadaan panik.
“Saya marah sekali,” saya berterus terang. “Kita masih belum mampu untuk membikin senjata modern apa pun, dan kita masih belum mampu membelinya. Kita semua mempunyai saham dan tanggung jawab yang sama dalam revolusi ini. Kita sangat memerlukan senjata itu. Akan saya hukum siapa saja yang tidak dapat memelihara senjatanya dengan baik.”
Tetapi akhirnya Sekutu mundur ke Semarang. Itulah “Palagan Ambarawa” yang terkenal. Tanggal 18 Desember 1945 Kolonel Soedirman dilantik menjadi Panglima Besar TKR dengan pangkat jenderal dan Urip Sumohardjo sebagai Kepala Staf dengan tetap berpangkat letnan jenderal.
Rupanya daya upaya saya dalam “Palagan Ambarawa” mendapat perhatian Jenderal Soedirman. Dan sewaktu Pak Dirman berusaha mengadakan reorganisasi dan penyempurnaan tubuh TKR, saya diangkat menjadi Komandan Resimen III dengan pangkat letnan kolonel, menguasai daerah Yogyakarta, dengan wakil Komandan Mayor Rekso. Saya membawahkan empat batalyon: Batalyon 8 di bawah Mayor Sardjono, Batalyon 10 di bawah mayor J. Sudjono, Batalyon 19 di bawah Mayor Sumiarsono, dan Batalyon 25 di bawah Mayor Mohammad Basyuni.
***
[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal 26-34.