Serangan Umum 1 Maret 1949 ternyata memang berpengaruh. Dewan Keamanan PBB mendesak Belanda yang angkuh itu untuk berunding dengan Indonesia dan menghentikan tembak-menembak. Rundingan berjalan lagi dengan sebutan yang terkenal “Perundingan Roem-Royen”. Sesuai dengan perjanjian Roem-Royen 7 Mei 1949, pasukan Belanda yang tadinya ada di ibukota RI harus meninggalkan Yogya, dan pasukan RI dengan segenap aparat pemerintahannya kembali.
Tanggal 24 Juni 1949 Van Royen mengumumkan persetujuan penarikan tentara Belanda dari Yogya sejak tanggal tersebut. Berkenaan dengan ini, satu pihak punya pikiran untuk dilakukan serah terima dan Belanda melakukan penyerahan kota Yogya kepada Polisi Rl. Saya yang bertanggungjawab atas keamanan di Yogya, tidak setuju. Kemudian pikiran orang lain itu diubahnya, yakni akan menyerahkan Yogya itu kepada TNI. ltu pun saya tolak.
Buah pikiran yang ada di tengah-tengah politisi kita waktu itu memang saya tentang. Saya anggap tidak benar. Maka Sri Sultan yang rupanya mendengar pula sikap saya, mengenai pikiran serah terima kota Yogyakarta dari Belanda kepada Polisi atau TNI kita itu, mengirimkan sepucuk surat kepada saya dengan mengatakan, “Overste Soeharto, kalau Overste tidak mendukung saya, mandat akan saya kembalikan“.
Beliau salah paham, begitu reaksi saya atas surat itu. Maka untuk menjaga agar suasana hubungan kami yang demikian itu tidak berkepanjangan, saya sendiri masuk kota untuk menjelaskan kepada beliau dasar pikiran saya, mengapa saya menolak. Saya menyamar masuk kota menemui Sri Sultan itu pada pertengahan bulan Mei, bertolak dari Bibis, jadi sesudah serangan umum 1 Maret 1949.
Dalam perundingan di Kraton Yogyakarta, di kamar yang kemudian jadi terkenal itu, saya jelaskan pendirian saya kepada Sri Sultan. “Saya tidak merasa, bahwa Belanda berkuasa di Yogya,” begitulah pangkal pikiran saya. “Sebab itu, saya berpendirian, kalau Belanda akan meninggalkan Yogya, ya, tinggalkan sajalah. Saya tidak mau diadakan upacara serah terima secara resmi dari Belanda kepada Indonesia. Saya tidak memandang Belanda berkuasa di sini. Pasukan Wehrkreise masih ada di mana-mana, baik di kota maupun di luar kota. Kalau Belanda nanti sudah tidak ada, anak-anak kami akan muncul. Dengan sangat gampang mereka akan muncul”.
Saya mengerti, pihak yang mau supaya diadakan upacara serah terima itu merasa, supaya setelah Yogya ditinggalkan oleh Belanda, keadaannya benar-benar jadi aman. Dan karena polisi yang akan diserahi soal keamanan ini, maka yang akan melaksanakan serah terima dari pihak kita itu adalah polisi. Saya tolak pikiran itu atas dasar perhitungan, bahwa kalau begitu halnya, maka seolah-olah TNI itu tidak ada. Padahal dalam keadaan perang, saya sebagai komandannya yang bertanggungjawab mengenai soal keamanan, dan bukan polisi.
Saya kukuh pada pendirian saya ini. Dan suara saya ternyata sangat diperhitungkan. Kesempatan masuk di dalam kota kali ini, tidak dalam memimpin serangan umum; saya pergunakan untuk bertemu dengan istri dan menengok anak saya yang sulung. Sudah berbulan saya nantikan kesempatan ini. Dan sewaktu saya menemui mereka, dalam keadaan yang masih berbahaya, saya harus mampu menahan kegembiraan saya supaya tidak tembus keluar dinding kraton. Bukan main lucunya anak saya yang baru berumur empat bulan itu. Tak habis-habisnya saya menciuminya.
Tetapi saya tidak bisa lama-lama bersama mereka .Saya mesti cepat kembali. Perjuangan menanti. Namun, saya sudah punya harapan, tak akan lama lagi kami bisa kumpul kembali.
Benar pula, jadinya Belanda meninggalkan Yogya tanpa timbang terima. Begitu Belanda meninggalkan setiap sudut kota, pejuang kita yang telah berada di kantong-kantong di kota muncul untuk menjaga keamanan. Polisi saya suruh masuk dari sebelah barat, dari Godean, memakai tambur, berbaris setelah Belanda pergi. Djen Muhammad yang memimpinnya pada waktu itu. Saya demonstrasikan kejadian ini. Kemudian, setelah satu jam polisi bergerak, saya perintahkan anak buah saya menyerahkan keamanan pada polisi.
Saya berpegang teguh pada sikap, jangan sampai ada yang memandang, bahwa TNI itu tidak ada. Dan polisi itu merupakan bagian kecil daripada satuan yang ada di kota Yogya waktu itu, bahkan di bawah komando saya, karena saya yang membuat peraturan di sana. Semua kekuatan bersenjata, kecil maupun besar, waktu itu saya perintahkan harus bergabung dengan Wehrkreise III. Pada Brigade X saya katakan, “Kalau bergerak sendiri-sendiri, akan saya lucuti.” Karena reorganisasi (sebelum Belanda menyerang Yogya) Resimen III diganti nama menjadi Resimen 22 dan terakhir menjadi Brigade X Divisi Diponegoro.
Begitulah Yogya ditinggalkan oleh Belanda, selesai tanggal 30 Juni 1949, lancar, tanpa insinden. Dan seterusnya aman. Pemerintah RI kembali ke ibukotanya dengan disaksikan oleh pejabat-pejabat KTN yang diundang. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta kembali di tengah kita di Yogya. Kemudian menyusul Sjafrudin Prawiranegara, bekas ketua PDRI. Sidang Kabinet RI pun segera dilangsungkan.
***
[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal 65-67.