Cabut Keris, Presiden Soeharto Resmikan SKSD Palapa
Sampaikan Pidato Kenegaraan 16 Agustus[1]
SENIN, 16 AGUSTUS 1976. Dalam rangka
peringatan 31 tahun kemerdekaan RI, pagi ini Presiden Soeharto
meresmikan penggunaan SKSD Palapa. Dalam acara peresmian yang
berlangsung pada jam 08.45 pagi ke Gedung DPR itu Kepala Negara mencabut
sebilah keris dan kemudian menekan tombol elektronis yang terdapat pada
gagang keris tersebut. Dengan demikian resmilah penggunaan SKSD Palapa.
Selanjutnya Presiden melakukan pembicaraan telepon jarak jauh melalui
SKSD Palapa dengan Gubernur Aceh, Muzakkir Walad, dan Gubernur Irian
Jaya, Sutran.
Setelah meresmikan penggunaan SKSD
Palapa, Kepala Negara menyampaikan amanat kenegaraannya di depan sidang
paripurna DPR. Pada kesempatan itu Presiden antara lain mengatakan bahwa
apabila kita bandingkan dengan keadaan sebelum kita melaksanakan
pembangunan, apalagi dengan keadaan sebelum Orde Baru, maka kita telah
banyak mencapai kemajuan. Kemajuan-kemajuan itu dapat kita rasakan di
segala bidang dan dapat dibuktikan dengan angka-angka statistik yang
selalu menarik.
Sehubungan dengan itu, sebagai contoh,
Presiden mengungkapkan tentang perkembangan GNP, yang sejak awal
pelaksanaan pembangunan sampai tahun 1975 meningkat rata-rata 7% setiap
tahunnya. Digambarkannya bahwa apabila dalam tahun 1965 GNP kita sebesar
Rp. 3.805 milyar, maka dalam tahun 1975 telah menjadi Rp. 7.768, atau
naik dua kali lipat. Kenaikan ini semakin mencolok kalau dibandingkan
dengan keadaan antara tahun 1960-1965 yang hanya mengalami kenaikan
rata-rata 1,7% setahun. Begitu pula, dalam 10 tahun terakhir, pendapatan
per kapita telah naik dari Rp. 36.800 (US$89) dalam tahun 1965 menjadi
Rp. 59.000 (US$143) dalam tahun 1975.
Lebih jauh Kepala Negara mengatakan
bahwa dengan melihat kenyataan-kenyataan, maka tidak ada alasan bagi
kita untuk berkecil hati, apalagi untuk menyangsikan kemajuan-kemajuan
yang telah kita capai. Meskipun demikian, kita tidak boleh merasa puas
diri, apalagi membangga-banggakan diri atas hasil-hasil tersebut.
Sebelumnya Presiden juga menyinggung
soal Timor-Timur yang secara resmi telah bergabung dengan Indonesia
sebulan lalu. Ditegaskannya bahwa masalah Timor-Timur adalah masalah
penghapusan penjajahan dan masalah penentuan nasib sendiri.
Ditandaskannya pula bahwa nasib rakyat Timor-Timur hanya boleh
ditentukan oleh rakyat Timor Timur sendiri dan di bumi Timor-Timur.
Bukan ditentukan di New York, bukan di Lisabon, dan juga bukan di
Jakarta.
Juga dikatakan oleh Kepala Negara bahwa
Indonesia menerima penyatuan yang diinginkan oleh rakyat Timor Timur
dengan penuh rasa tanggung jawab. Dalam hubungan ini, karena keadaan
daerah itu masih sangat terbelakang dan karena luka parah yang diderita
oleh pertikaian bersenjata yang kejam, diperlukan masa peralihan sebelum
Daerah Tingkat I Timor-Timur itu berdiri sejajar dengan Daerah-Daerah
Tingkat I lainnya di negara kita.
Dalam bagian lain dari pidatonya,
Presiden mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk memasyarakatkan
Pancasila dan mempancasilakan masyarakat kita. Untuk itu, katanya lebih
jauh, perlu Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang jelas dan
mudah dipahami oleh masyarakat luas, oleh kita semua. Pedoman yang
dimaksudkan itu diberinya nama “Eka Prasetia Panca Karsa”. (AFR).
[1]
Dikutip dari buku “Jejak Langkah Pak Harto 27 Maret 1973-23 Maret
1978″, hal 384-386. Buku ini ditulis oleh Team Dokumentasi Presiden RI,
Editor: G. Dwipayana & Nazarudin Sjamsuddin dan diterbitkan PT.
Citra Kharisma Bunda Jakarta, Tahun 2003.