Mei 1998
Kepada
Yth. Bapak Soeharto
di Kediaman
Tidak Minta Presiden Diganti[1]
Dengan Hormat,
Bapak yang saya hormati dan saya kagumi.
Saya rakyat biasa dan satu dari sekian puluh juta penduduk Indonesia
dan tinggal di Bogor. Dengan surat ini saya ingin sekali mencurahkan isi
hati saya kepada Bapak. Ketika huru hara terjadi, di kota saya tidak
ada kejadian apa-apa. Ibu-ibu dan bapak-bapak seperti biasa dengan
pekerjaan rutin sehari-hari. Betapa terkejut dan sedih hati kami ketika
mendengar Bapak mengundurkan diri. kami memang mengeluh dengan
harga-harga yang naik, tapi kami berharap agar hal itu dapat
ditanggulangi dengan segera. Kami sama sekali tidak menuntut pergantian,
kami tidak minta ganti presiden, sama sekali tidak. Kami rasa itu hanya
ambisi beberapa gelintir manusia saja.
Bagi saya, Bapak adalah seorang presiden
dan Bapak Negara yang baik, ramah tamah, dan berbudi. Beberapa tahun
lalu saya menari di Istana Bogor, dan Bapak dengan tangan Bapak sendiri
memberikan saya segelas cendrol. Mungkin Bapak sudah lupa, tapi buat
saya itu adalah suatu kebanggaan yang luar biasa dan tak akan pernah
saya lupakan, bagaimana seorang kepala negara sudi memberikan segelas
cendol kepada seorang rakyat biasa dengan tangannya sendiri.
Bapak, bagi saya Bapak tetap pahlawan
yang membanggakan dan tetap sebagai presiden di hati kami. Tidak mudah
bagi kami menerima seorang pemimpin baru begitu saja. Akhirul kata saya
bersama keluarga saya, bersama rakyat Indonesia mendoakan semoga Bapak
panjang umur, selalu sehat wal afiat dan dlindungi Allah SWT.
Harapan saya semoga Bapak tetap teguh
dan tegar dan percaya kepada kasih sayang Allah. Dia akan memberikan
yang terbaik utnuk Bapak yang kami cintai. Amien.
Sembah dan Hormat saya,
Ny. Rosita
Di Bogor-Jawa Barat
[1]
Dikutip langsung dari buku berjudul “Empati di Tengah Badai:
Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998″, (Jakarta:
Kharisma, 1999), hal 174-175. Surat ini merupakan salah satu dari 1074
surat yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan
luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan
simpati setelah mendengar Pak Harto mengundurkan diri. Surat-surat
tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.