SUPERSEMAR TONGGAK BARU MEMBANGUN JATIDIRI BANGSA: SUATU TINJAUAN SEJARAH
PENGANTAR
HISTORIA Docet yang berarti ‘sejarah memberi pelajaran pada kita’ menjadi guidence untuk memperoleh wisdom
dalam mencari jawaban atas kegelisahan yang sedang kita hadapi. Dalam
ketidakpastian, sejarah kemudian menjadi wacana intelektual masa lampau
yang dibutuhkan sebagai cermin dalam melihat persoalan kekinian.
Pengalaman empiris bangsa Indonesia tentang ‘bagaimana membangkitkan
kemampuan bangsa dalam memecahkan masalah': merupakan lesson learnt
yang dapat digunakan sebagai pijakan bernilai dalam menjawab
persoalan-persoalan bangsa di tengah perubahah yang terus berlangsung.
Supersemar (SP. 11 Maret) 1966 merupakan bagian dari
episode sejarah Indonesia yang berperan dalam mendorong munculnya
kesepakatan bangsa untuk kembali pada jati dirinya, yakni Pancasila yang
hendak diganti dengan ideologi komunis oleh G-30 S/PKI 1965. Tragedi
nasional 1965 adalah bukti bahwa bangsa Indonesia tetap berpegang teguh
dan meyakini kebenaran Pancasila sebagai jiwa kepribadian bangsa.
Secara historis, lahirnya Supersemar bukanlah sebuah
perintah yang bersifat “tiba-tiba”: tetapi keberadaannya adalah sebagai
titik kulminasi dari serangkaian dialog panjang antara Presiden
Soekarno dan Mayjen TNI Suharto yang menggambarkan adanya perbedaan
persepsi keduanya mengenai pemberontakan G.30 S/PKI dan konsepsi untuk
menghadapinya. Oleh karena itu dialog2 tersebut tentu saja memperjelas
pemahaman “mengapa Bung Karno begitu mudah mengeluarkan perintah kepada
pak Harto yang isinya sangat penting, yakni mengambil segala tindakan
yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan serta kestabilan jalannya
pemerintahan dan jalannya revolusi. Padahal sebelumnya tidak pernah
direncanakan, kecuali permintaan dari Pak Harto, “berilah kepercayaan
kepada saya untuk mengatasi keadaan itu” (Wawancara Kapusjarah ABRI Prof. Dr. Nugroho Notosusanto dengan Presiden Suharto, Jakarta, 3 Maret 1977).
Tulisan ini lebih memfokuskan pada history as evidenced dan bukan history as told dalam memahami tindakan-tindakan Pak Harto sebagai penerima mandat Supersemar dari Bung Karno. Suatu konstruksi sejarah tidak hanya bertolak dari historical evidence yang tertangkap secara kasat mata (observable) saja, tetapi juga ada fakta-fakta yang tidak terlihat secara kasat mata (unobservable), seperti ide, gagasan, pemikiran para pelaku sejarah dan bahkan suasana batin yang melingkupi suatu peristiwa. Pembahasan Supersemar
dalam tinjauan sejarah ini berangkat dari unobservable evidences yang
tertangkap melalui serangkaian dialog antara Bung Karno dan Pak Harto
yang sarat perbedaan faham diantara keduanya sebelum lahirnya SP 11
Maret 1966. Fakta-fakta sejarah tentang-proses lahirnya Supersemar
ini dapat ditangkap melalui sumber lisan, yakni wawancara dengan
Presiden Soeharto yang telah dilakukan oleh Prof. Dr. Nugroho
Notosusanto pada tahun 1977. Sumber tersebut menjadi landasan berfikir
dalam memahami intensi-intensi yang dapat memperjelas pikiran dan
tindakan Pak Harto dalam mengamankan bangsa dari rongrongan komunis
melalui Supersemar sebagai keputusan politik yang dikeluarkan oleh Bung Karno.
Oleh karena itu, peristiwa yang melingkupi proses lahirnya hingga pelaksanaan Supersemar, memiliki value
bagi sebuah kajian dalam memahami pentingnya jati diri bangsa, yakni
Pancasila dan UUD 1945 yang dirasakan mengalami kemunduran pemaknaannya
di tengah euforia reformasi dan globalisasi saat ini.
SUPERSEMAR: REALISASI DARI SERANGKAIAN DIALOG BUNG KARNO DAN PAK HARTO
Pasca peristiwa G. 30 S/PKI 1965, sejumlah fakta signifikan
menunjukkan adanya dialog-dialog yang berulang kali dilakukan Presiden
Soekarno dengan Mayjen TNI Soeharto sehubungan penyikapan terhadap
Gerakan 30 September 1965 dengan PKI sebagai pelakunya, baik secara “empat mata”
maupun dalam sidang-sidang KOTI (Komando Operasi Tertinggi) di bawah
pimpinan presiden. Rapat-rapat KOTI sebenarnya merupakan suatu medan
pertarungan pendapat dan argumen yang dahsyat tentang penyelesaian G30
S/PKI. Dialog dimulai sejak Pak Harto dipanggil menghadap Presiden untuk
dikonfrontir di Istana Bogor pada tanggal 2 Oktober 1965 yang dihadiri
secara terbatas.
Dalam dialog-dialog itu, disebutkan oleh Pak Harto adanya perbedaan
faham diantara keduanya dalam menyikapi pemberontakan yang dilakukan
oleh G 30 S/PKI 1965. Dalam konsepsi Nasakom yang diyakininya, Bung
Karno berpandangan bahwa PKI harus bisa di Pancasilakan. Persoalan
peristiwa pemberontakan G30 S yang dilakukan PKI pada 1965, menurut Bung
Karno hanyalah ekses sehingga PKI tidak perlu dibubarkan. Dalam hal
ini, Pak Harto berprinsip bahwa PKI yang mendasarkan faham Marxisme-Komunisme
dan telah berupaya melakukan perebutan kekuasaan terhadap RI (1948 dan
1965) tidak bisa diberi kesempatan lagi dan harus dibubarkan. Menyikapi
pembubaran PKI, Bung Karno menganggap bahwa penyelesaian itu akan
menyebabkan mereka bergerak secara ilegal dan akan membahayakan serta
sulit diatasi. Justru dukungan rakyat yang menentang gerakan tesebut
telah menjadi kekuatan yang diyakini Pak Harto dalam menghadapi kekuatan
PKI. Dari intensitas pembicaraan yang telah dilakukan keduanya inilah,
menurut Pak Harto, keluarnya perintah yang tertuang dalam Supersemar bukan merupakan hal yang mengejutkan dirinya (wawancara Kapusjarah TN/ Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, 1977).
Meskipun, di antara keduanya terjadi perbedaan dalam menilai keadaan
yang terjadi saat itu, namun, dalam dialog-dialog tersebut Pak Harto
tetap menyadari bahwa Bung Karno adalah atasannya sebagai Panglima
Tertinggi ABRI. Dalam hal ini, Pak Harto pun mampu menempatkan posisi
dirinya antara anak yang lebih muda terhadap orang tua. Walaupun
demikian, sikap hormat yang selalu dijaganya dalam konteks hubungan
tersebut tidak menyebabkannya menyerah terkait dengan sikapnya terhadap
soal pemberontakan PKI 1965 tersebut (Ibid). Diantaranya, sikap
itu tercermin saat menghadap Presiden Soekarno di Istana Bogor, terkait
perintah Bung Karno untuk menghentikan demonstrasi-demonstrasi
mahasiswa yang dinilainya ‘liar‘ dan meminta pak Harto untuk
menghentikan aksi-aksi tersebut yang menuntut presiden untuk membubarkan
PKI. Dalam hal ini, Pak Harto di minta untuk mengambil tindakan
terhadap demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa dan Pak Harto
pun menjawabnya:
“Maaf, Pak. Saya pikir, masalah ini berkenaan dengan pembenahan negara kita secara keseluruhan. Yang saya maksud, penyelesaian politik mengenai Gestapu/PKI seperti yang Bapak janjikan. Kalau sekarang Bapak Presiden mengumumkan secara resmi bahwa PKI dibubarkan dan di larang, saya percaya mahasiswa itu akan menghentikan aksi-aksinya. Karena saya juga dituntut oleh mereka”.
“Penyelesaian politik Gestapu, Gestok, PKI lagi yang kau sebut. Kamu tadi mengatakan, tetap menghormati kepemimpinanku”, kata Bung Karno.
“Tak pernah goyah, Pak” jawab Pak Harto.
Dialog ini salah satu cuplikan dari dialog-dialog sebelum adanya Supersemar
1966, yang menggambarkan saat kedua tokoh ini berbeda pendirian. Pak
Harto tidak menentang begitu saja dan tidak pula patuh begitu saja.
Walaupun hal itu disadarinya sebagai bawahan seharusnya taat, tetapi
sebagai pejuang tidak mungkin patuh begitu saja (Dwipayana dan Ramadhan K.H., 7989: him. 167).
Intensitas dialog-dialog itu menjadikan Pak Harto tidak kaget lagi dengan lahirnya Supersemar tersebut, karena hal itu telah sering dibicarakan diantara keduanya (wawancara Kapusjarah ABRI Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, 1977). Suasana kebatinan saat itu membantu menjawab terhadap pelbagai penafsiran tentang lahirnya Supersemar, diantaranya “kok semudah itu keluar SP. 11 Maret itu, kok semudah itu ditandatangani“, dan lain-lain.
Tindak lanjut signifikan dengan lahirnya Supersemar
yaitu melakukan pembaharuan dalam rangka menyusun kembali kehidupan
kenegaraan yang berdasarkan ideologi Pancasila dan ketentuan-ketentuan
yang berlaku dalam UUD 1945. Di samping itu, Presiden Soekarno memberi
wewenang kepada Letjen TNI Soeharto sebagai Menteri/Panglima Angkatan
Darat guna mengambil segala tindakan yang dianggap perlu dalam menjamin
keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya revolusi. Surat
Perintah itu kemudian dikukuhkan oleh Sidang Umum MPRS menjadi Ketetapan
(Tap) MPRS No. IX tahun 1966. Berdasarkan SP 11 Maret itu pula, Letjen
Suharto mengambil beberapa tindakan, antara lain pada tanggal 12 Maret
1966 membubarkan PKI. Kepatuhan Pak Harto sebagai pengemban Supersemar
terhadap Presiden Soekarno pun tidak berkurang, hal ini tercermin dari
kesaksian Jenderal A.H. Nasution yang waktu itu menjabat Menko
Hankam/KSAB menemui Letjen Soeharto yang masih sakit di kediamannya pada
tanggal 12 Maret dan menyarankan bentuk kabinet darurat untuk
mengakhiri dualisme pimpinan politik. Pak Harto merespon saran tersebut
dengan mengatakan pada Pak Nasution bahwa hal tersebut adalah kewenangan
Presiden (A.H. Nasution, 1975: him. 45).
Sementara itu, berbagai golongan dalam masyarakat, baik partai-partai
politik maupun golongan-golongan sosial, begitu juga pemerintah
bersepakat untuk kembali pada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen. Kesepakatan itu disebut sebagai Konsesus Nasional
yang kemudian dilembagakan dalam Tap MPRS No. XX tahun 1966. Ketetapan
ini merupakan perumusan formal pertama tentang pelaksanaan Pancasila dan
UUD 1945 yang sebelumnya sudah diolah oleh DPRGR sebagai lembaga tinggi
resmi. Dengan demikian, SP 11 Maret 1966 merupakan titik balik untuk
menuju kepada dasar revolusi yang sebenarnya, sebagaimana dikehendaki
dalam Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
PENUTUP
Supersemar atau SP 11 Maret 1966 merupakan sejarah
bangsa Indonesia yang membawa pembaharuan dalam menata kembali kehidupan
kenegaraan dengan mendasarkan pada pemurnian pelaksanaan Pancasila dan
UUD 1945 sebagai jati diri bangsa. Meaning tersebut akan sulit tertangkap apabila Supersemar hanya dipahami secara ‘terpotong-potong‘
tanpa melihat adanya fakta-fakta historis yang melatari lahirnya Surat
Perintah itu. Serangkaian dialog antara Bung Karno dan Pak Harto sebelum
keluarnya SP serta suasana kebatinan yang tercemin saat itu menjadi
bagian tak terpisahkan dalam memperoleh kejelasan secara komprehensif
terhadap peristiwa tersebut.
SP 11 Maret 1966 dapat dijadikan sebagai momentum yang dapat
menggugah kesadaran akan pentingnya nilai-nilai yang terkandung dalam
sila-sila Pancasila di tengah derasnya arus globalisasi dan maraknya
tindakan-tindakan anarkhis yang berlangsung di dalam negeri
akhir-akhir ini. Suatu kesepakatan bangsa bahwa Pancasila telah menjadi
ciri khas atau jati diri bangsa yang harus terus dipertahankan. Dalam
keterikatan jati diri tersebut spirit diversity in unity dapat
tumbuh sebagai kekuatan bangsa dalam menghadapi ancaman yang muncul
tidak hanya berasal dari kekuatan luar, tetapi juga dari dalam negeri
sendiri.
Oleh: Dr. G. Ambar WuIan
Peneliti Sejarah di Pusat Sejarah TNI
Peneliti Sejarah di Pusat Sejarah TNI