PKI DI BALIK G 30 S/1965:
DITINJAU DARI TAKTIK DAN STRATEGI GERAKAN KOMUNISME DI INDONESIA (DALAM PERSPEKTIF SEJARAH)
Oleh : Dr. G. Ambar Wulan
Pusjarah TNI
1. Pengantar
Munculnya
berbagai versi tentang interpretasi terhadap G. 30 S 1965 yang
mengatasnamakan ‘pelurusan sejarah’ telah melahirkan pelbagai teori
‘siapa dalang di balik peristiwa tersebut. Persoalan kontroversi ini
muncul karena design dalam konstruksi sejarah ditujukan untuk
‘menciptakan’ dan bukannya ‘menemukan’; kebenaran yang didasarkan pada
motivasi pengungkapan sejarah itu sendiri. Dalam penulisan sejarah
dikenal konsep representasi yang menggunakan suatu peristiwa masa lampau
hanya sebagai media untuk menciptakan perspektif baru dalam
menginterpretasikan sejarah yang dirancangnya.
Metode
sejarah yang digunakan sebagai cara untuk mengkonstruksi historiografi,
yakni dari pengumpulan sumber-sumber primer dan sekunder dari berbagai
pihak yang kemudian dikritisi, baik secara internal maupun eksternal
untuk menyeleksi serta menetapkan fakta-fakta secara kredibel merupakan
prosedur ilmiah sebagai upaya mempertanggungjawabkan kebenaran sebuah
penulisan sejarah. Di samping itu, casuality factors, yakni
pengusutan hubungan sebab akibat dalam kaitan peristiwa Gerakan 30
Sepetember atau G. 30 S/1965 dengan rentetan peristiwa sebelumnya
merupakan neccesarry conditions yang dibutuhkan dalam proses penulisan sejarah yang bersifat diakronis dengan menelusuri metode gerakan PKI dari akarnya.
Dalam
mengungkap dalang di balik G. 30 S tahun 1965, tentu saja hal ini tidak
terlepas dari usaha memahami secara mendasar bagaimana bentuk-bentuk
infiltrasi sebagai taktik dan strategi yang digunakan PKI pada awal
kemunculannya hingga tahun 1965 beserta kondisi-kondisi yang
mendukungnya sampai meletusnya pemberontakan yang menggunakan nama
Gerakan 30 September tersebut. Sejak masa persiapan dengan misi yang
dikembangkan partai dalam rupa kebijakan dan strategi yang kemudian
diimplementasikan ke dalam berbagai aksi politik, sosial, ekonomi, dan
budaya merupakan upaya pematangan situasi revolusioner yang diperlukan
guna mewujudkan tujuan akhir perjuangan PKI, yaitu pengambilalihan
kekuasaan serta mengubah Pancasila menjadi ideologi Komunis.
2. Strategi Mewujudkan Masyarakat Komunis: Dari Taktik Block Within Hingga MKTBP (Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan)
Secara
historis, metode dalam pola-pola gerakan Komunisme di Indonesia
mengalami kontinuitas yang menunjukkan konsistensi, terutama taktik
infiltrasi (penyusupan) dan strategi ‘penyesuaian’ terhadap lingkungan
yang dihadapi sebagai jembatan dalam mencapai tujuan akhirnya, yaitu
menciptakan masyarakat Komunis sesuai ajaran Marxisme Leninisme. Sejarah
Komunisme di Indonesia menunjukkan adanya konsistensi pola-pola
infiltrasi dengan mengambil peran-peran di setiap momen dalam berbagai
bentuk. Strategi ini tidak terlepas dari pernyataan Lenin bahwa
“Revolusi tidak harus dilakukan oleh Partai Komunis, tetapi kemenangan
akhir harus berada di tangan Partai Komunis” dengan melaksanakan pola
pemanfaatan organisasi, kelompok, individu sebagai obyek infiltrasi.
Konsep ini berkembang menjadi doktrin yang dijadikan secara konsisten
sejak awal terbentuknya PKI pada tahun 1920 hingga terjadinya
pemberontakan G. 30 S/PKI 1965.
Seperti
pada tahun 1920, kelahiran PKI merupakan proses yang tidak terlepas
dari penggunaan cara-cara infiltrasi yang dikenalkan oleh Lenin sebagai
metode dalam upaya menyebarkan Komunisme Internasional ke seluruh dunia
dengan mengimplementasikan taktik Block Within/Blok Dalam. Metode ini
digunakan tokoh-tokoh Komunisme Belanda, yakni H.J.F.M Sneevliet, dkk.
melalui ISDV (Indische Sociaal Demochratische Vereniging) guna
melebarkan sayapnya dengan cara penyusupan sebagai usaha mengembangkan
pengaruh idiologinya ke berbagai organisasi pergerakan nasional.
Pasca
kongresnya pada 1923, PKI yang telah berkembang dengan cepat memutuskan
untuk terus menggerakkan penyusupan ke tubuh SI (Serikat Islam) yang
memiliki anggota besar. Selanjutnya, PKI mendirikan Barisan Pemuda
dengan memperhatikan partisipasi wanita untuk memudahkan pengendalian SI
Merah yang telah terkontaminasi ideologi kiri dengan mengganti nama SR
(Sarekat Rakyat) yang kemudian dilebur ke dalam organisasi PK (Partai
Komunis) pada tahun 1924. Kebesaran kekuatan PKI tidak berlangsung lama
karena Pemerintah Hindia Belanda melarang setelah partai ini melakukan
pemberontakan pada 1926 (Ruth T. Mc. Vey, 2010). Tindakan ini
berdampak pada organisasi-organisasi pergerakan Boemi Poetra yang harus
mengalami tindakan represif dari pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Banyak para pimpinan pergerakan, seperti Moh. Hatta, Soetan Syahrir
ditangkap oleh pemerintah kolonial (G. Ambar Wulan, 2009). Sedangkan beberapa pimpinan PKI, antara lain Muso dan Alimin melarikan diri ke Moscow.
Kepulangan
Muso dari Moscow bulan Agustus 1948 yang membawa misi Komintern baru,
yakni garis keras Zhadanov meradikalkan dan menempatkannya sebagai
pimpinan anggota-anggota khusus PKI. Dalam waktu cepat Muso berhasil
menjadikan PKI sebagai partai besar dengan kekuatan terletak pada kaum
buruh dan Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) sebagai kekuatan
bersenjata FDR (Front Demokrasi Rakyat) yang telah dibina Amir
Syarifuddin sejak ia menjabat sebagai menteri pertahanan dan kemudian
perdana menteri. Penggalangan PKI melalui Front Nasional menjadi
alternatif strategis PKI karena peluang untuk memperoleh kekuatan
melalui jalur parlemen tidak memungkinkan lagi. Dengan dalih menghadapi
ancaman serangan militer Belanda, PKI menyerukan untuk melakukan
pertahanan rakyat, seperti penggelaran Brigade ke-29 TNI yang berhasil
disusupi PKI dan sebagian besar anggotanya berasal Pesindo untuk
melakukan perebutan daerah-daerah pedesaan tanpa bertempur. Pada 18
September 1948, PKI memukul perjuangan RI dari belakang dengan melakukan
pemberontakan dan memproklamirkan berdirinya Republik Sovyet di Madiun.
Presiden Soekarno menyebutnya sebagai tindakan awal PKI di bawah Muso
untuk merebut kekuasaan seluruh pemerintah RI. Sikap tegas pemerintah,
yakni menumpas PKI beserta organisasi-organisasi pendukungnya (Pusjarah TNI, 2009).
Kegagalan
pemberontakan PKI ini mendorong dilakukan pembaharuan kebijakan PKI
selanjutnya di bawah pimpinan D.N. Aidit yang baru tiba di Indonesia
dari pelariannya ke luar negeri. Dalam hal ini D.N. Aidit melakukan
revisi kebijakannya dengan menghindari ‘perang terbuka’ (open rebellion)
seperti yang dilakukan Muso di Madiun. Hal tersebut didasarkan pada
posisi PKI belum menjadi king marker, oleh karena itu Aidit kemudian
membangun sebuah front nasional melalui kerjasama antar berbagai partai
politik dan unsur-unsur masyarakat lainnya dengan tetap mempertahankan
independen PKI, baik secara politis, idiologis maupun organisatoris. Di
samping itu, buruh dan tani menjadi basis kekuatan yang hendak digunakan
untuk mencapai tujuan-tujuan PKI secara lebih efektif.
Bagi
PKI, kompromi dengan menyesuaikan ideologi Marxisme-Leninisme dengan
situasi di Indonesia merupakan taktik jangka pendek yang dilakukan
hingga saatnya PKI mampu mengumpulkan kekuatan dan pengaruh yang
memadai. Hal ini menjadi pijakan PKI dalam menentukan bentuk kebijakan,
taktik perjuangan, dan bentuk organisasi partai. Dalam Kongres Nasional
ke-V PKI pada 1954, Aidit menyatakan tekadnya untuk “meng-indonesiakan
Marxisme-Leninisme” dan menempuh taktik komunis klasik, yaitu Front
Persatuan Nasional. Artinya, PKI bekerjasama dengan golongan-golongan
Non-Komunis dan bersedia mendukung pemerintah sekalipun dianggap
borjuasi nasional. Taktik ini sejalan dengan pendekatan yang dilakukan
Uni Soviet dan RRC terhadap negara-negara baru merdeka di Asia (termasuk
Indonesia) dalam rangka global strategy gerakan Komunis Internasional (Pusjarah TNI, 2009).
Dalam
melaksanakan program perjuangan partai yang dihasilkan kongres
tersebut, pada tahun 1955 dirumuskan strategi PKI yang disebut MKTBP
(Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan), yakni: Pertama, perjuangan
gerilya oleh massa petani di pedesaan. Kedua, perjuangan revolusioner
oleh kaum buruh di perkotaan, terutama oleh kaum buruh transport.
Ketiga, bekerja intensif dikalangan kekuatan bersenjata musuh. Dengan
MKTBP, PKI melakukan persiapan bagi pelancaran revolusi sosial. Dalam
mengimplementasikan MKTBP, PKI melaksanakan infiltrasi secara intensif
di kalangan militer-polisi. Pelaksanaan bekerja di kalangan bersenjata
ini dilakukan sangat rahasia sehingga kader-kader di tingkat CC (Comite
Central) PKI pun tidak semua mengetahuinya. Sesuai derajat
kerahasiaannya, Sidang Politbiro PKI mendelegasikan wewenang secara
absolut kepada ketua CC PKI terpilih, yaitu D.N. Aidit.
Selain
itu, kongres juga berhasil menyusun konsepsi strategis partai dalam
menjawab permasalahan dan tantangan jaman, berjudul “Jalan Baru yang
Harus Di Tempuh Dalam Memenangkan Revolusi”. Konsepsi ini ditegaskan
dalam AD/ART PKI yang menyebutkan, “Jika revolusi Indonesia yang
bersifat nasional dan demokratis sudah mencapai kemenangan sepenuhnya,
kewajiban PKI selanjutnya adalah mengambil langkah-langkah yang
diperlukan untuk mewujudkan sistem Sosialisme dan sistem Komunisme di
Indonesia…” (AD/ART PKI, 1962: hlm. 11).
Situasi
politik dekade 50-an dalam demokrasi parlementer yang ditandai jatuh
bangunnya kabinet saat itu, telah memberi peluang PKI menanamkan dan
memperbesar pengaruhnya ke dalam lingkungan militer-polisi. Proses
penetrasi ke dalam lingkungan angkatan bersenjata ini tidak dapat
dipisahkan dari proses pertumbuhan militer-polisi. Meskipun PKI memahami
bahwa militer-polisi dilarang masuk dalam partai politik. Di ladang
ini, Aidit menugasi Syam Kamaruzaman untuk membantunya mencari bentuk
organisasi yang tepat dan efisien dalam meningkatkan pengaruh idiologi
Komunis ke dalam tubuh militer-polisi. Kebutuhan itu mencetuskan
dibentuknya Biro Chusus (BC) dengan Syam Kamaruzaman ditunjuk sebagai
ketuanya.
Adapun
tugas pokok BC, diantaranya mengorganisir anggota militer-polisi agar
sewaktu-waktu dapat digerakkan bagi kepentingan program PKI. Selain itu,
BC bertugas mengumpulkan data serta bahan-bahan informasi yang
menyangkut strategi militer dan imbangan kekuatan dalam tubuh ABRI.
Tugas penting lainnya, yakni memperuncing pertentangan dan memecah belah
kekuatan dalam tubuh militer-polisi. Di tingkat CC, BC pusat
bertanggung jawab mengkoordinasikan semua BC di daerah-daerah. Di
samping taktik dan teknik mendekati sasaran, pengawasan merupakan tugas
vita BC terhadap aktifitas kader PKI di lingkungan ABRI. Cara kerja
intensif di ABRI sebagai salah satu implementasi MKTBP melalui Biro
Chusus PKI, idiologi Komunis dapat dikembangkan dalam tubuh
militer-polisi secara pesat, baik di AD, AL, AU maupun Kepolisian RI (Sekneg RI, 1994: 42-45).
Dengan
demikian, pemberontakan G. 30 S/PKI 1965 adalah gerakan yang melibatkan
seluruh unsur PKI dengan menggunakan sejumlah unsur tentara yang telah
dibina melalui jalur rahasia Biro Chusus tersebut. Hal ini tercermin
dari aktivitas pengiriman sejumlah anggota Politbiro serta CC PKI ke
berbagai daerah untuk membantu CDB (Central Daerah Besar) setempat.
Ketua CC PKI D.N. Aidit dalam strategi tahap awal gerakan memang tidak
melibatkan secara langsung unsur-unsur resmi PKI sesuai pernyataan Lenin
bahwa revolusi tidak harus dilakukan oleh Komunis tetapi kemenangan
terakhir harus berada di tangan Komunis.
3. Bagaimana Malam G. 30 S 1965 Dirancang Sebagai “Sasaran Antara” Menuju Kudeta
Selama
bulan September 1965 diselenggarakan rapat-rapat khusus Politbiro yang
dipimpin D.N. Aidit guna menentukan tindakan pendahuluan. Gerakan itu
secara garis besar merumuskan action plan atau langkah-langkah
yang diserahkan pada Syam Kamaruzaman untuk ditindaklanjuti. Rancangan
itu mendasarkan pada analisa kondisi, diantaranya PKI menyadari
posisinya belum sebagai king maker, karena kedudukan secara kuat
saat itu masih berada di tangan Presiden Soekarno. Dalam kondisi itu,
PKI tidak mau terlibat dalam pemberontakan secara langsung (open rebellion) seperti yang dilakukan Muso ketika memimpin pemberontakan PKI Madiun pada 1948.
D.N.
Aidit selaku ketua CC PKI sejak Agustus 1965 telah menginstruksikan
Syam Kamaruzaman untuk menyusun rencana organisasi G. 30 S/PKI sebagai Top Secret,
sehingga rencana ini tidak banyak diketahui anggotanya. Diantaranya,
tercermin dalam pernyataan Ketua CGMI waktu itu yang mengatakan bahwa
CGMI sebagai ormasnya tidak mengetahui rencana rahasia tersebut. Selain
itu, sangat normatif apabila semua anggota partai tidak mengetahuinya
karena sentralisme kepemimpinan PKI menyerahkan keputusan-keputusan pada
pucuk pimpinan partai. Bahkan dalam memutuskan hal terpenting dapat
diserahkan pada ketua partai dengan Biro Chusus nya (J.B. Soedarmanto, 2004: 99 dan 106).
Rapat
teknis yang diselenggarakan selama bulan September 1965 di Jakarta yang
dihadiri beberapa tokoh CC PKI, seperti D.N. Aidit, Syam kamaruzaman,
Supono, Nyono, Waluyo serta para perwira progresif yang berhasil dibina
Brigjen Supardjo (hadir pada rapat terakhir), Kolonel A. Latief, Letkol
Untung , Mayor Udara Sujono, sebagai berikut:
Rapat 6 September 1965 Syam
menyampaikan pembahasan materi tentang issue “Dewan Jenderal” yang
dipimpin Jenderal A.H. Nasution dan Letjen A. Yani yang disebutnya
hendak melakukan “coup” terhadap pemerintah. Selain itu, rapat
membahas sakitnya Presiden Soekarno serta menyampaikan instruksi Ketua
CC PKI untuk mengadakan gerakan mendahului “coup” Dewan jenderal.
Rapat 9 September 1965 dengan
materi tentang persetujuan melakukan gerakan dan perwujudan
pengorganisasian dan pengaturan kesatuan-kesatuan yang ada di Jakarta
serta kekuatan-kekuatan yang bisa digunakan untuk mendukung gerakan.
Rapat 13 September 1965 menghasilkan
beberapa keputusan, antara lain peninjauan kesatuan yang ada dan
tambahan Pasukan Pengamanan Pangkalan (P-3) AURI dari Mayor Udara
Sujono.
Rapat 15 September 1965 membahas
kesatuan-kesatuan yang dapat diikutsertakan dalam gerakan, yaitu
Batalion Tjakrabirawa pimpinan Letkol Untung, Batalyon Brigif I Kodam
V/Jaya pimpinan Mayor A. Sigit dan Pasukan P3AU pimpinan Mayor udara
Sujono. Di samping itu Syam menyampaikan rencana kehadiran Batalyon 454
Para/Diponegoro dari Jawa tengah pimpinan Mayor Sukirno dan batalyon 530
Para/Brawijaya dari Jawa Timur pimpinan Mayor Bambang Supeno yang akan
membantu gerakan.
Rapat 19 September 1965 membahas
masalah organisasi gerakan dengan susunannya, yakni bidang politik
dipimpin Syam Kamaruzaman, bidang militer dipimpin Letkol Untung dan
Kolonel Latief, bidang observasi dipimpin Waluyo (anggota CC PKI).
Khusus bidang militer dibagi dalam pasukan penggempur dengan nama
Pasopati dipimimpin Lettu Dul Arief (Tjakrabirawa), pasukan teritorial
dinamai Bima Sakti di bawah Kapten Suradi (Brigif I Kodam V/jaya), dan
pasukan cadangan dinamai Gatotkaca dibawah Mayor Udara Gatot Sukrisno .
Syam menyebutkan bahwa pimpinan seluruh gerakan adalah Letkol Untung.
Penunjukkan ini didasarkan kedudukannya sebagai pengawal presiden yang
cocok dengan tema gerakan yang dirancang yaitu “menyelamatkan Presiden
Soekarno”. Pangkat letkol dinyatakan pangkat tertinggi dalam gerakan.
Rapat 22 September 1965 membahas
penetuan sasaran masing-masing pasukan. Seperti, sasaran pasukan
Pasopati yakni para jenderal (Dewan Jenderal), sasaran Bima Sakti yakni
RRI, telekomunikasi, dan teritorial, sedang pasukan Gatotkaca bertugas
mengkoordinir kegiatan di Lubang Buaya dan menghimpun tenaga cadangan.
Selain itu, Syam menugaskan Letkol Untung menghubungi Yon 530 dan Yon
454 setelah batalyon-batalyon itu berada di Jakarta.
Rapat 24 September 1965 membahas,
diantaranya persoalan tempat komando bagi pimpinan gerakan dan
penentuan daerah pemundurannya (Kompleks Halim dan daerah Pondok Gede).
Tempat komando ditentukan di Gedung P.N. Areal Survey, Penas, Jakarta
Timur yang di sebut Central Komando (Cenko). Nyono (anggota CC PKI)
mendapat tuga membentuk sektor, seperti Sektor Kebayoran Baru, kebayoran
lama, mampang Prapatan, Pasar Manggis, Senayan, dll.
Rapat 26 September 1965
membahas laporan Mayor Udara Sujono tentang persiapan Cenko di Gedung
Penas dengan persiapan daerah pemunduran di Halim dan Pondok Gede. Pada
pertemuan ini dilaksanakan pembentukan sektor-sektor dan juga diputuskan
untuk mengadakan pemeriksaan menyeluruh rencana pelaksanaan gerakan.
Rapat 29 September 1965 menghasilkan
keputusan-keputusan final pelaksanaan gerakan dan dilakukan pengecekan
organisasi gerakan militer, tenaga cadangan, serta pasukan Yon 454 dan
Yon 530 yang telah berada di Jakarta sejak 25 September 1965. Selain itu
ditentukan sasaran gerakan, tempat pengamanan setelah diambil tindakan,
penetuan hari H dan jam D bagi pelaksanaan gerakan, yakni tanggal 30
September 1965 sesudah tengah malam. Nama gerakan ditentukan oleh Ketua
CC PKI D.N. Aidit yaitu Gerakan Tiga Puluh September (G. 30 S) dengan
menyesuaikan waktu pelaksanaan. Pada saat itu, Syam menyatakan akan
membentuk Dewan Revolusi sebagai rencana jangka pendek dan dalam jangka
panjang menuju pembentukan pemerintahan yang dikuasai kaum Komunis
seutuhnya. Sesuai penjelasan Syam, gerakan ini akan melahirkan “Dewam
Revolusi” dengan mendemisionerkan Kabinet Dwikora dan Letkol Untung
ditunjuk sebagai ketuanya. Selanjutnya semua komando gerakan sudah harus
berada di Cenko I pada pukul 23.00 pada 30 September 1965 (Aminudin Kasdi dan G. Ambar Wulan, 2005: 49-53).
Selama
bulan September itu Syam melakukan pertemuan-pertemuan pula dengan
tokoh-tokoh Biro Chusus Daerah. Seperti, pertemuannya dengan pimpinan
Biro Chusus Jakarta, yakni Endro Sulistyo, Syam mengingatkan untuk
memantabkan group-group di kalangan militer-polisi. Dengan pimpinan Biro
Chusus Jawa Barat Harjana, alias Lie Tung Tjong, Syam memerintahkan
untuk memantau terus menerus pengumuman-pengumuman melalui RRI.
Sedangkan Biro Chusus Jawa Timur pimpinan Roestomo dan Biro Chusus Jawa
Tengah melaporkan pada Syam bahwa mereka telah membina para anggota ABRI
yang ikut defile pada HUT ABRI 5 Oktober 1965 di Jakarta. Bagi para
pimpinan Biro Chusus di Sumatera Barat dan Utara, yakni Amir diingatkan
oleh Syam untuk mendengarkan siaran RRI sebagai patokan bertindak.
Rancangan Biro Chusus ini dilakukan secara under cover, dalam
hal ini hanya Aidit dan Syam yang merencanakan penyelenggaraan
rapat-rapat di bulan September 1965, baik di pusat maupun di daerah yang
kemudian dikomunikasikan secara amat terbatas dan, selanjutnya para
perwira yang diperankan untuk bertindak melaksanakan operasinya di
lapangan. Adapun, gerakan ini memiliki dua target, yaitu target militer
dan dilanjutkan dengan target politik. Target militer bertujuan
mengeliminasi pimpinan-pimpinan dalam angkatan bersenjata dan target
politiknya, setelah operasi berhasil akan dibentuk Dewan Revolusi.
Dua pengumuman yang disiarkan melalui RRI merupakan hard fact yang
mendukung pemahaman G. 30 S/1965 adalah sasaran antara menuju kudeta.
Pengumuman pertama berlangsung pada 1 Oktober 1965 pukul 07.30 (pagi),
RRI Pusat diduduki dan dipakasa menyiarkan berita Gerakan 30 September
yang menyebutkan “.. adanya gerakan militer dalam tubuh AD yang dibantu
pasukan-pasukan bersenjata lainnya di bawah pimpinan Letkol Untung….”.
Pada tahap gerakan militer tersebut ditujukan untuk menciptakan suatu
alibi bahwa gerakan ini seolah-olah murni gerakan dalam tubuh Angkatan
Darat (AD).
Pengumuman
kedua yang disiarkan melalui RRI ini berlangsung pada pukul 14.00
(siang) dari bagian penerangan Gerakan 30 September, yakni lahirnya
Dekrit No. 1 tentang pembentukan Dewan Revolusi Indonesia sebagai sumber
dari segala kekuasaan negara dan menyatakan Kabinet Dwikora dalam
status demisioner hingga terbentuknya kabinet baru yang dilaksanakan
oleh Dewan revolusi Indonesia yang akan dibentuk dari pusat hingga
daerah-daerah. Dengan demikian Dekrit ini telah menunjukkan bahwa G. 30 S
1965 adalah gerakan politik yang ditujukan bagi main goal PKI dalam merebut kekuasaan guna membangun pemerintahan yang belandaskan pada idiologi Komunis.
4. Penutup: Tidak Ada Tempat Komunisme di Bumi Pancasila
Mengapa
kita menentang Komunisme? Pertanyaan ini mengandung suatu posisi bahwa
dalam ajaran Komunis terdapat pokok-pokok pemikiran yang bertentangan
dengan Pancasila sebagai way of life bangsa Indonesia dan Dasar
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahwa, PKI menjadi organisasi
terlarang, bukan saja dalam sejarahnya telah melakukan dua kali
pemberontakan dan pengkhianatan terhadap bangsa Indonesia seperti yang
terjadi pada 1948 dan 1965, tetapi juga karena ajaran Komunisme yang
menjadi landasan pemikiran serta pembenaran kegiatan politik PKI.
Perbedaan mendasar antara Pancasila dan Komunisme tidak hanya terletak
pada Sila pertama saja, tetapi juga dengan sila-sila lainnya sebagai
suatu keseluruhan wawasan. Perbedaan ini dapat dijelaskan bahwa
komunisme adalah idiologi totaliter yang tidak mengakui demokrasi. Dalam
realitanya, partai-partai Komunis selalu melakukan perebutan kekuasaan
dan tidak pernah mengijinkan diadakan pemilihan umum secara bebas.
Sebagai idiologi totaliter, Komunisme berorientasikan pada materialisme.
Pancasila adalah idiologi terbuka yang terbuka pada demokratisasi dan
kemanusiaan.
Selain itu, gambaran umum masyarakat yang dicita-citakan menurut
idiologi Komunis tidak bercorak nasional dan tidak bertanah air. Oleh
karena itu, satu-satunya faktor yang dapat memberikan jalan untuk
membangkitkan semangat yakni dengan menggalang persatuan diantara mereka
yang mempunyai nasib sama. Dengan demikian, revolusi Komunis adalah
revolusi dunia, artinya tidak dibatasi oleh kesadaran apapun. Demikian
pula masyarakat yang merupakan hasil revolusi dunia itu adalah
masyarakat Komunis dunia pula. Pokok-pokok Komunis yang menunjukkan
gambaran utopis inilah yang pada hakekatnya ditentang oleh pancasila.
Dengan mengakui azas kemanusiaan yang adil dan beradab, secara tegas
Pancasila menyatakan bahwa nasionalisme adalah azas yang fundamental.
Pada akhirnya, perbedaan-perbedaan mendasar tersebut mempertegas bahwa
Komunisme tidak memiliki tempat di bumi pertiwi ini. Menegakkan dan
mengamalkan pancasila adalah kebutuhan mendesak di tengah upaya-upaya
dari pihak-pihak yang berkepentingan untuk mereduksi dan menjauhkan
idiologi tersebut dari kehidupan berbangsa dan bernegara sekarang ini
dan di masa depan. Oleh karena itu, tetap “Katakan Tidak Pada Komunisme”
di bumi Indonesia tercinta ini.