Hilangnya Momentum Kebangkitan Bangsa
Oleh : Bakarudin[1]
Pengantar
Setelah Pak Harto berhenti sebagai
Presiden RI pada 21 Mei 1998, sebuah bangunan baru negara dan bangsa
didesain para “perupa reformasi”. Dimulai dengan kepemimpinan BJ
Habibie, yang menggantikan Pak Harto sebagai Presiden, keran demokrasi
dibuka lebar-lebar. Kebebasan berdemokrasi diartikan dengan mendirikan
banyak partai, kebebasan pers, berunjuk rasa, dan mengembangkan
ideologi-ideologi di luar Pancasila. Puncaknya, ketika para anggota MPR
RI dibawah pimpinan Amien Rais melakukan amandemen terhadap UUD 1945.
Padahal, UUD 1945 merupakan pondasi berdirinya negara dan bangsa yang
merdeka, berdaulat di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). UUD 1945 disusun oleh para pendiri bangsa, yang secara tulus
mempersembahkannya kepada Ibu Pertiwi, agar cita-cita Proklamasi untuk
mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur dapat tercapai.
Amandemen UUD 1945 yang sudah
dilakukan sebanyak empat kali tersebut merupakan pondasi baru bangunan
bangsa dan negara. Beberapa pihak menyebutkan UUD 1945 telah berubah
menjadi UUD 2002 atau UUD Amandemen, telah memporak-porandakan pondasi
dan rumah bangsa bernama Republik Indonesia. Para praktisi politik
melalui saluran-saluran baru yang dibentuknya, menggelontor kehidupan
berbangsa dan bernegara dengan mengubah seluruh sistem kenegaraan dan
kebangsaan yang sudah ada, dengan sistem yang diimpor dari sistem
liberistik dan kapitalistik. Alasan yang dikemukakan, bahwa Republik
Indonesia tidak bisa menghindar dari arus globalisasi, maka harus ikut
arus merenangi globalisasi dengan mencabut akar budaya dan jatidiri
bangsa di bawah naungan Pancasila dan UUD 1945 Proklamasi. Alih-alih
reformasi membawa perubahan, justru membawa kemunduran, yang disebut
sebagai kemunduran bangsa selama 40 tahun.
Reformasi Jalan yang Menyimpang
Pada saat ini banyak pihak sudah
mengatakan, bahwa reformasi telah salah bahkan gagal total dalam membawa
arah perubahan negara dan bangsa. Namun, banyak diskusi, seminar,
simposium, dan lain sebagainya, hanya menghasilkan kajian-kajian dan
kesimpulan-kesimpulan, tanpa mampu menggerakkan individu, kelompok,
lembaga dan sejenisnya untuk mengambil langkah nyata. Menarik apa yang
disampaikan Ketua MPR RI Taufiq Kiemas, jika reformasi gagal membawa
perubahan yang positif, sangat memungkinkan akan ada reformasi jilid II.
Tapi, lagi-lagi kesadaran itu ditelan sendiri, karena secara sadar
menantu Presiden Soekarno dan suami mantan Presiden Megawati
Soekarnoputri itu masih memuja, bahwa reformasi adalah jalan yang tepat
untuk kemajuan negara dan bangsa. Padahal, sudah nyata di depan mata,
pangkal soal kesalahan Orde Reformasi/Rejim Reformasi adalah melakukan
Amandemen UUD 1945. Tidak heran, apabila pernyataan Ketua MPR RI itu
adalah basa-basi politik, sebab sesungguhnya yang menikmati “kemewahan
reformasi” adalah para politisi dan kroni-kroninya, yang pada masa
sekarang tengah menikmati kekuasaan.
Ironis memang. Dan, tentu sangat
menyedihkan. Kemerdekaan yang dicapai sebuah negara dan bangsa,
sesungguhnya merupakan perwujudan untuk menjadi negara berdaulat.
Artinya, negara dan bangsa yang mampu berdiri di atas kakinya sendiri,
lepas dari tangan-tangan besi negara dan bangsa penjajah. Kini, seluruh
pemangku kekuasaan boleh jadi sangat bangga, karena angka Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) menembus angka di atas Rp 1.300
triliun. Pertanyaannya, dengan APBN tersebut apa yang sudah
terealisasikan dalam wujud pembangunan? Jembatan Suramadu, yakni,
jembatan yang menghubungkan Surabaya dan Madura di Jawa Timur? Bagaimana
dengan insfrastruktur yang lainnya? Pesawat baru kepresidenan? Mobil
baru para menteri dan banyak pejabat-pejabat pemerintah di pusat maupun
daerah? Bantuan Langsung Tunai kepada rakyat miskin? Bagaimana dengan
kewajiban pemerintah yang harus membangun bangsa dan negaranya menjadi
sebuah bangsa yang sejahtera, adil dan makmur?
Celakanya, tidak hanya angka APBN
yang menggelembung dengan sedemikian rupa namun tidak tampak menetes
untuk kepentingan kemakmuran rakyat, kini negara dan bangsa ini telah
kehilangan jatidiri bangsanya. Para perupa reformasi telah secara sadar
dan sistematis mengeliminasi kedigdayaan negara dan bangsa Indonesia,
menjadi negara dan bangsa yang bangga dengan “perhiasan imitatif”, yang
disematkan oleh negara-negara penganut neoliberalistik dan
neokapitalistik. Serunya lagi, ideologi usang seperti komunisme tengah
menjadi idola baru di tengah-tengah masyarakat yang semakin miskin.
Masyarakat yang gagal dalam “pertarungan” memperebutkan kue kapitalisme,
akan sangat mudah dipengaruhi kecerdasannya dengan iming-iming
kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan sosial. Pada sisi lain, ada pula
masyarakat yang memilih fanatisme sempit keagamaan dalam memperjuangkan
keadilan. Padahal, semua itu adalah kamuflase, yang pada akhirnya hanya
untuk merebut kekuasaan.
Memasuki ruang politik-kekuasaan
yang lebih dalam pada masa reformasi ini, aroma politik transaksional
malah sudah mewarnai setiap ajang politik. Politik transaksional itu
menggurita dari pusat sampai daerah. Tidak mengherankan, apabila banyak
pejabat akhirnya masuk penjara karena kasus korupsi. Hal ini tidak lain
disebabkan, banyak pejabat harus mengembalikan “uang belanja politiknya”
dengan cara menilap dana-dana pembangunan. Kasus cek pelawat
sampai dengan Nazarudin dan kawan-kawan harus diakui adalah sebagai
akibat mahalnya “ongkos politik” para politisi itu sendiri. Disamping
tentunya mentalitas hedonis yang didorong oleh tingginya konsumerisme
membuat siapa pun yang tidak memiliki integritas moral, dipastikan akan
terjerumus kepada penyalahgunaan wewenang, yakni, dengan melakukan
tindak pidana korupsi dan menerima uang pelicin.
Kebangkitan Bangsa yang Hilang
Apabila kita menarik garis waktu ke
belakang, Pak Harto setelah menggantikan Presiden Soekarno telah menata
ulang kehidupan bernegara dan berbangsa. Yakni dengan menegakkan kembali
sendi-sendiri kehidupan berbangsa dan bernegara di bawah naungan
Pancasila dan UUD 1945 Proklamasi dengan konsistensi yang sangat tinggi.
Seluruh sistem berbangsa dan bernegara dibangun dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan azas Pancasila. Sehingga azas-azas
lain di luar Pancasila tidak diberi ruang dan waktu untuk berkembang.
Namun demikian, negara melindungi hak-hak individu untuk melaksanakan
spiritualitas, pendidikan, ekonomi, budaya, dan mengekspresikan
kecerdasan dengan kreativitas-kreativitas yang dimiliki. Masyarakat
diberikan rasa nyaman untuk menjalankan roda kehidupannya dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmurannya. Sementara itu, pemerintah
dengan sungguh-sungguh menggunakan Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
untuk mengarahkan pembangunan nasional.
Adanya Trilogi Pembangunan
menunjukkan adanya panduan untuk pelaksanaan pemerintahan. Trilogi
Pembangunan yang terdiri dari Stabilitas Nasional, Pertumbuhan Ekonomi,
dan Pemerataan Pembangunan di bawah naungan Pancasila dan UUD 1945
Proklamasi, menjadi pondasi yang kokoh. Hal itu tidak hanya berhenti
pada konsepsi, tapi juga implementasi. Seluruh energi kekuasaan
dimanfaatkan untuk menjadi kreator, dinamisator, sekaligus fasilitator
yang menggandeng seluruh potensi negara—kekayaan Sumber Daya Manusia dan
Sumber Daya Alam—untuk mencapai cita-cita Proklamasi. Pilihan-pilihan
program pembangunan tertuang dalam tahapan Rencana Pembangunan Lima
Tahun (Repelita) dalam jangka pendek, jangka menengah dan jangka
panjang. Pada tahapan 25 tahun, Presiden Soeharto menyatakan Indonesia
akan siap tinggal landas. Artinya, Indonesia siap menjadi negara maju
karena telah memiliki pondasi yang kokoh untuk mencapai kemajuan sebuah
negara dan bangsa. Itulah kemudian Indonesia mendapat julukan sebagai
Macan Asia baru bersama-sama Korea Selatan.
Sang Macan Asia baru ini
membanggakan bagi negara dan bangsa Indonesia, namun membuat iri dan
mengerikan bagi negara-negara tetangga serta negara-negara adidaya,
khusus Amerika Serikat dan sekutunya, baik di Eropa, Asia, dan tentu
Australia. Bersama para petualang politik dalam negeri, barisan sakit
hati, penganut ideologi diluar Pancasila, dan tentu kaki tangan asing di
Indonesia mengepung Pak Harto dengan tujuan menjatuhkannya. Apabila PKI
ingin merebut kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno dengan G 30
S/PKI-nya dan mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi Komunis,
target utama “perupa Reformasi” adalah mengganti Pak Harto terlebih
dahulu.
Setelah itu seperti kita ketahui,
“perupa Reformasi” meruntuhkan bangunan kebangsaan dan kenegaraan yang
sudah susah payah dipertahankan dan dibangun Pak Harto. Seolah-olah
dilakukan secara konstitusional, seluruh pondasi negara dan bangsa yang
diperjuangkan para pendiri bangsa dan diisi dengan pembangunan selama
pemerintahan Presiden Soehato, dieliminasi. Republik Indonesia pun
memiliki baju baru. Baju baru yang menanggalkan corak jatidiri bangsa,
karena “perupa Reformasi” telah melukiskan corak baru yang bernama
neoliberalisme dan neokapitalisme. Negara pun digadaikan dan dijual
kepada kepentingan asing, bukan dibangun untuk kepentingan rakyat
seperti dicita-citakan melalui Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
pada 17 Agustus 1945. Maka, hilanglah kesempatan bagi negara dan bangsa
Indonesia untuk bangkit dan menjadi negara adidaya baru di kawasan
Asia, bahkan dunia. Nah, siapa yang bertanggung jawab atas hilangnya
kebangkitan bangsa Indonesia itu?