Soeharto pun Taklukkan Lee Dad
“Mengapa Singapura ingin sekali menggantung mereka,” tanya Pak Harto kepada Ramly.
“Kesimpulan umum kami, Pak, Singapura itu kan negara kecil. Sebagai negara kecil, mereka ingin eksis, maka mereka menggunakan alasan rule of law yang harus ditegakkan. Hukum yang diterapkan di Singapura adalah hukuman mati,” jawab Ramly.
“Bagaimanapun kita tetap harus berusaha keras agar Usman dan Harus tidak digantung,” kata Soeharto.
Itulah sekelumit dialog Presiden Soeharto dengan Letkol Abdul Rachman (AR) Ramly suatu hari di pertengahan tahun 1968. Ketika Itu Ramly adalah pejabat yang ditunjuk Presiden Soeharto sebagai laison officer (perwira penghubung), mewakili pemerintah RI untuk menyelesaikan vonis mati pengadilan Singapura terhadap dua anggota marinir Indonesia, Usman dan Harun, pada pemerintahan Orde Lama. Mereka dituduh melakukan infiltrasi ke Singapura –yang kala itu masih menjadi bagian wilayah Malaysia– terkait operasi konfrontasi dengan Malaysia.
Presiden Soeharto pun lantas menulis surat kepada pemerintah Singapura, meminta agar Usman dan Harun tidak dihukum mati. Surat tersebut dibawa Ramli untuk disampaikan kepada Presiden Singapura, Yusuf Ishak.
Yusuf Ishak menyatakan, urusan pemerintahan berada di tangan Perdana Menteri (PM) Lee Kuan Yew, karena dirinya hanyalah lambang negara tanpa kewenangan pemerintahan.
Celakanya, ketika itu Lee tengah dalam lawatan ke Amerika Serikat. Dari penelusuran Ramly, Lee singgah di Tokyo, Jepang. Ramly pun meminta bantuan Duta Besar RI di Jepang, Rukminto, menemui Lee Kuan Yew untuk menyampaikan permohonan Soeharto terkait Usman dan Harun.
Ternyata Lee tidak menanggapi permohonan itu dengan alasan tengah cuti dan tidak punya hak mengambil keputusan apapun. Menurut Lee, Wakil Perdana Menteri Singapura yang bertanggungjawab.
“Surat Presiden Soeharto sudah kami terima dan akan kami pikirankan,” jawab Wakil Perdana Menteri Singapura yang ditemui Ramly.
Sepuluh hari kemudian, 9 Oktober 1968, pemerintah Singapura menolak permintaan itu. Namun pemerintah Indonesia terus mencari jalan untuk menyelamatkan hidup Usman dan Harun. Maka pada 15 bOktober 1968, Presiden Soeharto mengirim utusan pribadi, Brigjen TNI Tjokropranolo ke Singapura untuk menyelamatkan kedua prajurit itu.
Disaat bersamaan, PM Malaysia Tengku Abdulrahman –yang sudah dilobi pemerintah Indonesia — juga meminta kepada pemerintah Singapura agar mengabulkan permintaan Indonesia. Namun Singapura bergeming.
Karena sudah mendapati jalan buntu, maka Presiden Soeharto mengajukan permintaan terakhir, agar pelaksanaan eksekusi Usman Harun yang akan dilaksanakan 17 Oktober 1968 pada pukul 06.00 pagi, dapat ditunda sepekan untuk mempertemukan kedua terpidana dengan orang tua dan sanak familinya. Namun lagi-lagi pemerintah Singapura menolak tegas.
Presiden Seoharto pun langsung bersikap keras. Hubungan Indonesia-Singapura menegang. Jelang eksekusi hukuman gantung, seluruh staf Kedubes RI di Singapura dipulangkan, kecuali atase pertahanan dan beberapa staf lain. Kapal-kapal RI juga dititahkan pulang membawa warga negara Indonesia.
Dan peristiwa itu sangat membekas di hati Soeharto. Harga diri bangsa dan negaranya terusik. Dua tahun setelah hukuman mati dilaksakan, PM Lee Kuan Yew mengutarakan hasratnya untuk berkunjung ke Indonesia.
Soeharto menyambut baik niat Lee, namun dengan satu syarat: Lee harus meletakkan karangan bunga secara langsung di makam Usman dan Harun di Taman makam Pahlawan Kalibata.
Syarat itu sangat tidak lazim. Namun disitu, Soeharto ingin menunjukan harkat dan martabat bangsa Indonesia. Dan Lee pun setuju untuk meletakkan karangan bunga di makam Usman dan Harun. Baru setelah itu hubungan Jakarta-Singapura membaik.
Itulah sebuah potret, bagaimana seorang pemimpin berdiplomasi dengan menjunjung tinggi harkat dan martabat bangsa. Dan bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati para pahlawannya. Usman dan Harun adalah PAHLAWAN BANGSA.
Sumber: Kolom Kita