Kalau saatnya tiba saya dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, maka mengenai diri saya selanjutnya sudah saya tetapkan saya serahkan kepada istri saya. Sebetulnya istri saya telah menerima pula “Bintang Gerilya” dan “Bintang RI.” Jadi, dia juga bisa dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Tetapi sudahlah, ia dengan Yayasan Mangadeg Surakarta sudah merencanakan lain. Ia dengan Yayasan Mangadeg Surakarta sudah membangun makam keluarga di Mangadeg, tepatnya di Astana Giribangun. Dan masakan saya akan pisah dari istri saya! Dengan sendirinya saya pun akan minta dimakamkan di Astana Giribangun bersama keluarga. Kami tidak mau menyusahkan anak cucu kami, jika mereka nanti ingin berziarah.
Memang saya pun mendengar orang bicara bahwa belum juga saya mati, saya sudah membuat kuburan. Padahal yang sebenarnya, kuburan itu kami buat untuk yang sudah meninggal, antaranya untuk ayah kami (mertua saya). Selain itu, pikiran saya menyebutkan, “Apa salahnya, sebab toh akhirnya kita akan meninggal juga.” Kalau mulai sekarang kita sudah memikirkannya, itu berarti kita tidak akan menyulitkan orang lain. Asalkan tidak menggunakan yang macam-macam, apa jeleknya?
Omongan orang bahwa Astana Giribangun itu dihias dengan emas segala, omong kosong. Tidak benar! Dilebih-lebihkan. Lihat sajalah sendiri. Yang benar, bangunan itu berlantaikan batu pualam dari Tulung Agung. Tentu saja kayu-kayunya pilihan, supaya kuat. Pintu-pintu di sana, yang dibuat dari besi, adalah karya pematung kita yang terkenal G. Sidharta. Alhasil, segalanya buatan bangsa sendiri.
Ibu mertua saya melakukan cangkulan pertama di Gunung Bangun yang tingginya 666 M di atas permukaan laut itu, pada hari Rabu Kliwon, 13 Dulkangidah jimakir 1906 atau 27 November 1974. Saya bersama istri sebagai pengurus Yayasan Mangadeg Surakarta meresmikan Astana Giribangun itu pada hari Jumat wage tanggal 26 Rejeb ehe 1908 atau 23 Juli 1976. Kebiasaan di Jawa mempergunakan candrasangkala. Maka kami terakan di sana sinengkalan: Rasa Suwung Wenganing Bumi (Rasa Ikhlas Membuka Bumi) waktu ibu melakukan cangkulan pertama itu, dan Ngesti Suwung Wenganing Bumi (Suasana Hening Membuka Bumi) waktu kami meresmikan makam keluarga Yayasan Mangadeg Surakarta itu.
Pada ketiga pintu untuk masuk ke dalam bangunan itu pun ada tulisan yang mengutip pucung, berisikan pegangan hidup yang sudah diajarkan nenek moyang kita secara turun-temurun. Yakni:
“hendaknya kita pandai-pandai menerima omongan orang yang menyakitkan tanpa harus sakit hati”, “ikhlas kehilangan tanpa menyesal”, dan “pasrah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa”.
Tak jauh dari bangunan astana itu, lebih dahulu, pada tanggal 8 Juni 1971, sudah diresmikan monumen “Tridharma”, ajaran hidup bernegara yang sangat penting itu. Alhasil suasana di sana sesuai dengan lingkungannya.
Jadi, hendaknya dimaklumi bahwa kami membangun Astana Giribangun itu, kira-kira 37 Km dari Solo, untuk keluarga. Bahkan tidak hanya. untuk keluarga, pengurus Yayasan Mangadeg pun, bisa dimakamkan di sana. Tempat itu sudah dikapling, dan pengelolaannya diserahkan pada Yayasan Mangadeg Surakarta.
Kita yang masih hidup, wajib memikirkan keluarga yang sudah meninggal, seperti saya memikirkan ayah saya. Maka kami membangun makam untuk ayah, dan untuk ibu sekaligus. Di samping itu, saya pikir, baik saja kita berbuat begitu kalau kita tidak mau menyusahkan orang lain, tidak mau menyulitkan anak cucu kita. Dan di Jawa, memang biasa kita menyiapkan tempat sebelum meninggal. Kita menyadari bahwa besok lusa kita toh akan kembali.
Dihitung dari sejak labirnya “Supersemar” sampai tahun 1988 berarti saya memegang pucuk pimpinan sudah dua puluh dua tahun. Saya merenungkannya kembali. Selalu, sewaktu tugas apa pun yang diberikan kepada saya, saya mohon petunjuk kepada Tuhan. Alhamdulillah, sampai sekarang saya tidak merasa gagal dalam memegang dan melaksanakan tugas saya. Kalau ada yang kurang berhasil, maka lantas saya mupus, pasrah. Artinya, saya berpikir, barangkali memang kemampuan saya cuma sampai di situ.
Saya telah berusaha dan nyatanya, seperti yang saya libat dan pertimbangkan, usaha saya itu berhasil sesuai dengan kemampuan saya. Begitulah saya berpikir. Begitulah penilaian saya. Saya tak pernah merasa gagal. Tetapi kalau ada orang yang menilai lain mengenai hasil pekerjaan saya itu, saya serahkan kembali penilaiannya itu kepada yang bersangkutan.
Demikian perasaan dan pikiran saya sejak masa revolusi. Apa yang ditugaskan kepada saya, saya kerjakan dengan sebaik-baiknya, sambil memohon bimbingan dan petunjuk kepada Tuhan. Mengenai kesalahan, saya berpikir, “Siapa yang mengukur salah itu? Siapa yang menyalahkan?”
Sekarang, misalnya, pekerjaan sudah saya laksanakan, berjalan baik dan berhasil, menurut ukuran saya. Tetapi kalau ada orang lain yang melihat hasil pekerjaan saya itu dari segi yang lain, lalu menilai salah atau gagal, maka saya akan berkata, “Itu urusan mereka”.
Saya percaya, babwa apa yang saya kerjakan, setelah saya memohon petunjuk dan bimbingan-Nya, itu adalah hasil bimbingan Tuhan.
*
Di hari-hari belakangan ini saya merenungkan pengalaman saya yang sudah-sudah. Saya ditanya oleh Sekjen Muslim Spanyol, Mr.Alvaro Machardon Comins mengenai pengalaman yang paling melekat di hati saya sebagai seorang militer dan sebagai Presiden. Benar, pengalaman yang paling melekat di hati bagi saya ialah yang saya dapatkan semasa sebelum kemerdekaan, pada masa penjajahan.
Saya merasa beruntung karena memperoleh kesempatan memiliki ilmu-ilmu kemiliteran. Baik dalam zaman penjajahan tentara Belanda maupun dalam masa penjajahan tentara Jepang. Saya rasakan, ternyata ilmu-ilmu itu kemudian sangat berfaedah bagi saya dalam memberikan pengabdian saya kepada negara dan banngsa. Itu saya rasakan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia maupun dalam mempertahankan kemerdekaan dan melanjutkan cita-cita kemerdekaan.
Sebagai militer, sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia, saya merasa terpanggil untuk menyumbangkan ilmu kemiliteran dan pengalaman saya itu sewaktu mempertahankan kemerdekaan, memenuhi pengabdian kepada negara dan bangsa yang telah diproklamasikan pada tanggal 17 Agutus 1945. Sebagai Presiden, saya hanya merasa, bahwa saya memperoleh kepercayaan dari rakyat. Karena itu, saya selalu ingin menghargai dan menghormati kepercayaan itu dengan bekerja sebaik mungkin.
Pengalaman saya sebelum menjadi Presiden, sewaktu saya menjadi seorang militer, terutama dalam masa perjuangan kemerdekaan, sewaktu saya memimpin perlawanan gerilya, melawan tentara penjajah yang memiliki senjata lebih lengkap, terkenang terus. Saya sadar waktu itu, saya merasa tidak bisa berbuat apa pun tanpa bantuan rakyat. Sehingga benar-benar saya merasakan betapa pentingnya memperoleh bantuan dan dukungan rakyat itu. Dengan adanya bantuan rakyat itu, maka saya bersama pasukan saya dapat melaksanakan tugas perlawanan gerilya dengan sebaik-baiknya.
Karena itu, saya selalu merasakan sampai menjadi pendirian bahwa saya berhutang budi kepada rakyat. Dan selalu saya ingin membalas budi kepada mereka. Saya berpikir, selama melaksanakan kepercayaan dari rakyat ini, sebagai Presiden, inilah kesempatan untuk membalas budi rakyat itu. Masa ini saya gunakan sebaik-baiknya untuk membalas budi kepada rakyat Indonesia yang 80% terdiri dari para petani.
*
Pendahulu-pendahulu kita, pahlawan-pahlawan kita, pejuang-pejuang kita telah memberikan segala-galanya kepada kita semua sehingga kita sekarang telah lebih dari 40 tahun menjadi bangsa yang merdeka dan terhormat di tengah-tengah pergaulan masyarakat dunia. Dengan rasa tulus, saya, dan sepatutnya kita semua, menyampaikan rasa hormat sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada mereka, pendahulu-pendahulu kita itu.
Sesungguhnya saya menyampaikan juga rasa hormat dan penghargaan itu kepada berjuta-juta warganegara Indonesia yang masih hidup sekarang dan yang telah mengambil bagian dalam perjuangan, baik dalam perjuangan yang berbentuk kemiliteran maupun dalam bidang pemikiran, ideologi, politik, diplomasi, ekonomi, kebudayaan, keagamaan, ilmu teknologi, dan seterusnya.
Dalam rangka kelanjutan perjuangan bangsa kita di masa depan, negara dan bangsa kita masih tetap mengharapkan pengabdian mereka, pengabdian kita semua, terlepas dari pertanyaan apakah kita telah tergolong purnawirawan atau pensiunan atau tidak. Seperti berulang kali saya katakan, bagi suatu bangsa pejuang tidak ada titik akhir perjuangan.
Seperti saya kemukakan, saya —dan sepantasnya kita semua—memberikan hormat kepada pendahulu-pendahulu kita. Semoga generasi-generasi yang akan datang pun mengucapkan terima kasih yang sama dalamnya dan sama tulusnya, sama dengan yang kita sampaikan kepada generasi-generasi pendahulu kita.
Kesempatan ini saya pergunakan lagi untuk menyalurkan isi hati saya yang utama. Keinginan saya yang utama adalah membangun masyarakat Pancasila yang menjaga keutuhan manusia, yang menjamin keseimbangan kemajuan lahir dan kedamaian batin, yang menjamin keseimbangan antara manusia dan masyarakat, yang menjamin keseimbangan antara manusia dengan lingkungan alam yang didiaminya, keseimbangan dalam mengejar kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di hari nanti.
*
Saya, sebagai manusia biasa, mempunyai keterbatasan. Baik fisik maupun psikis. Tentu saja pekerjaan-pekerjaan yang saya pikul itu sering terasa melelahkan. Akan tetapi saya merasa terhibur, karena saya merasa memperoleh kepercayaan rakyat.
Ingat, pada mulanya saya enggan menerima kedudukan sebagai Presiden. Maklumlah kiranya, tugas kepresidenan adalah pekerjaan yang berat. Tetapi akhirnya saya menerimanya juga, dan itu semata karena rakyat mendesak-desakkannya kepada saya, karena mereka menunjukkan kepercayaan kepada saya. Dibalik itu, saya berpikir, sebagai seorang warganegara yang baik, saya tidak boleh menghindarkan diri dari apa yang diharapkan oleh rakyat.
Maka saya berusaha melaksanakan kepercayaan rakyat itu dengan sebaik-baiknya. Apalagi kalau hasil-hasil pekerjaannya itu betul-betul bisa dinikmati oleh rakyat. Saya jadi gembira karenanya. Kelelahan saya seperti hilang dengan seketika. Nyatanya saya mendapat kepercayaan rakyat itu bukan sekali. Nyatanya saya terpilih menjadi Presiden penuh/Mandataris MPR itu lima kali sudah dan memikul tugas itu dengan kesungguhan.
Alhamdulillah, sekarang sistem yang bisa menjamin kelangsungan hidup negara dan bangsa sudah kita dapatkan. Terbukti diperlukan waktu berjuang dan bermufakat sampai 20 tahun untuk sampai pada titik menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas. Tetapi bagaimanapun, kita berkesampaian. Rantai mekanisme kepemimpinan nasional sudah berhasil kita tentukan. Urutan GBHN sudah kita pastikan dari waktu ke waktu. Itulah warisan yang akan kita tinggalkan kepada generasi yang akan datang.
Generasi yang akan datang tidak perlu takut, tidak perlu khawatir, bahwa kita akan meninggalkan beban yang harus dipikul oleh mereka. Kita berusaha keras meninggalkan hal-hal yang baik. Cita-cita kita jelas, agar tercipta masyarakat yang adil dan makmur, “tata tentrem kerta raharja, gemah ripah loh jinawi tuwuh kang sarwa tinandur, murah kang sarwa tinuku,”. Marilah kita memberikan sumbangsih menurut kemampuan kita masing-masing.
Saya pun tahu, saya tidak luput dari kesalahan. Maka seperti berulang kali pernah saya katakan, di sini pun saya ulangi lagi, hendaknya orang lain mengikuti contoh-contoh yang baik yang telah saya berikan kepada nusa dan bangsa, dan menjauhi hal-hal yang buruk yang mungkin telah saya lakukan selama saya memikul tugas saya.
Berkenaan dengan pemindahan kekuasaan, sudah saya tunjukkan jalannya, yakni dengan cara damai dan menurut konstitusi, yang hendaknya terus berlaku untuk masa sekarang maupun untuk masa yang akan datang.
Kalau ditanya, apa wasiat saya kalau saya nanti pada waktunya dipanggil oleh Yang Maha Kuasa?
Wasiat saya, sebenarnya bukan wasiat saya sendiri, melainkan wasiat atau pesan kita bersama. Yakni, agar mereka yang sesudah kita benar-benar dapat menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini. Saya pikir, yang penting adalah suatu pengelolaan Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 sedemikian rupa sehingga cita-cita perjuangan bangsa kita benar-benar terlaksana dan tercapai dengan sebaik-baiknya.
Selama bangsa Indonesia tetap berpegang kepada Pancasila sebagai landasan idiilnya, dan UUD ’45 sebagai landasan konstitusinya, (dan tetap setia kepada cita-cita perjuangannya, ialah mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila), dengan sendirinya persatuan dan kesatuan bangsa itu akan bisa terwujud. Berpegang kepada kedua hal itu, cita-cita perjuangan sebagai bangsa yang tetap ingin merdeka, berdaulat, bisa hidup dalam kemakmuran dan keadilan, niscaya akan tercapai!
Insya Allah!
***
[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta tahun 1982, hlm 561-567.
Baca juga Biografi Jenderal Besar HM.Soeharto