RMS Tembak, Suharto Datang
Walentina Waluyanti – Belanda
Nederland, 16 November 2010
Catatan penulis: Tulisan ini adalah rangkaian dari tulisan saya terdahulu, “SBY, Belanda, dan RMS”.
Kacau! RMS menembak mati polisi Belanda dan menyandera anggota keluarga duta besar di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), di Wassenaar Belanda. Di antara sandera itu termasuk istri Duta Besar Taswin A. Natadiningrat. Itu terjadi 40 tahun lalu, menjelang kedatangan Soeharto. Kunjungan itu sangat bersejarah. Karena sampai tahun 2010 ini, hanya itulah satu-satunya kunjungan presiden Indonesia ke Belanda.
Akhir Agustus 1970 adalah momen ketika seluruh dunia menantikan detik-detik bersejarah. Inilah pertama kali dalam sejarah, Presiden Indonesia berkunjung ke Belanda. RMS tahu itu. Maka digunakanlah momen itu untuk menarik perhatian dunia internasional.
Ancaman RMS terhadap SBY di bulan Oktober 2010 lalu, memang bukan untuk pertama kali dialami oleh pemerintah Indonesia. Akhirnya kunjungan SBY batal. Dikabarkan, penugasan kunjungan ke Belanda dilimpahkan ke Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, yang juga diancam tuntutan RMS.
Ancaman RMS ini mengingatkan pada kunjungan Soeharto yang juga nyaris batal berkunjung ke Belanda 40 tahun lalu. Inilah kisahnya!
Satu hari sebelum jadwal kedatangan Soeharto, 1 September 1970, RMS memulai ancamannya dengan aksi berdarah. Seorang polisi Belanda yang ditugaskan menjaga keamanan di KBRI, ditembak mati oleh 32 pemuda anggota RMS yang menyerbu.
Tanggal 31 Agustus 1970, para pemuda Maluku anggota RMS itu bersenjatakan senapan mesin, pedang, dan belati menyerang dan menguasai kedutaan Indonesia selama sebelas jam. Mereka menantang Ratu Juliana untuk datang ke kedutaan menyelesaikan masalah. Soeharto di ultimatum dalam waktu 2 x 24 jam, harus segera datang berunding. Kalau tidak, seluruh sandera (pejabat KBRI dan anggota keluarga duta besar) akan ditembak mati.
Suharto “Menantang”
Dibanding terhadap SBY, ancaman yang dihadapi Soeharto sebetulnya lebih riskan. Ditembak matinya Dr. Soumokil, pemimpin tertinggi RMS di Indonesia empat tahun sebelumnya, masih segar dalam ingatan RMS. Siapa yang bertanggung jawab atas eksekusi mati Soumokil? Soeharto yang kena getahnya. Soalnya hukuman eksekusi tembak mati Soumokil memang berlangsung ketika Soeharto baru saja mengambil alih pemerintahan dari Soekarno di tahun 1966. Karena itu, kedatangan Soeharto disambut oleh RMS dengan demonstrasi di banyak kota.
Singkat cerita, penyanderaan di KBRI akhirnya berhasil diatasi, setelah perundingan alot antara beberapa pejabat terkait dengan J.A. Manusama, Presiden RMS. Kemudian sandera dibebaskan dan para pengacau RMS menyerahkan diri.
Karena kekacauan itu, kedatangan Presiden Soeharto kemudian dibatalkan. Tapi Soeharto tidak menyerah. Seakan menantang, di tengah ancaman yang masih mengintai, tanggal 3 September 1970, Soeharto tetap teguh hati datang ke Belanda. Dengan catatan, kunjungan tetap dilakukan, tapi rencana kunjungan tiga hari dipersingkat menjadi satu hari. Karena kunjungan yang sangat singkat itu, seorang politisi kiri Belanda berkomentar, “Ini sih bukan kunjungan kenegaraan, tapi pendaratan darurat”.
Soeharto bukannya tidak memperhitungkan segala risiko. Namun, Soeharto nampaknya tidak peduli dengan semua itu. Maklum saja, beberapa tahun sebelumnya Soeharto adalah pejuang yang sudah biasa dengan desingan peluru, bau mesiu, ceceran darah korban perang, dan biasa bergerilya di hutan-hutan.
Tibalah saat kunjungan Soeharto. Seluruh Belanda dikepung! Begitu berita di koran-koran. Bagaimana tidak, belum pernah Belanda terkesan begitu mencekam demi menyambut kedatangan seorang presiden.
Sebanyak 5000 pasukan dikerahkan untuk menjaga keamanan. Belanda tidak peduli dikatakan tidak demokratis karena hari itu melarang siapapun berdemonstrasi. Jalan-jalan diblokir. Mulai dari anjing pelacak, tank, helikopter, polisi, ribuan pasukan, dan dinas rahasia tersebar.
Di hari kedatangan Soeharto, tampak riuh dan gaduh di Buitenhof Den Haag di Belanda. Di batas kota sebelum memasuki Den Haag, mobil-mobil distop, diperiksa, digeledah. Banyak yang dilarang memasuki kota dengan mobil. Ratusan polisi bersenjata berjaga-jaga. Bahkan polisi juga memasuki lorong-lorong bawah tanah. Dengan senjata dan tongkat pemukul, mereka siap menyergap siapa saja yang mencurigakan. Sudah ada beberapa yang langsung diringkus dan dimasukkan ke mobil patroli berterali.
Nyali Soeharto
Sebentar lagi Presiden Soeharto akan tiba. Hari itu akhir musim panas, 3 September 1970. Demonstrasi dilarang keras di hari itu. Siapa saja yang ketahuan demo, langsung diringkus. Tak ada kompromi. Pemerintah main keras sekarang.
Sirine meraung-raung, menandakan situasi siaga penuh. Helikopter di dalam dan di luar kota hilir mudik mengawasi segala gerak mencurigakan. Orang-orang terutama warga Indonesia, datang berbondong-bondong. Mereka menantikan kedatangan Soeharto. Ada dua kelompok. Kelompok pertama yaitu RMS yang marah-marah karena dilarang demo. Dan kelompok kedua, orang Indonesia, yang dengan bahagia menantikan dengan harap kedatangan presidennya dan mengutuk kekerasan yang dilakukan RMS, dua hari sebelumnya.
Gemuruh di udara mulai terdengar. Itulah gemuruh pesawat kepresidenan Republik Indonesia. Gemuruh itu terdengar lebih sangar dari lazimnya suara pesawat. Pasalnya, di sisi kiri kanan pesawat kepresidenan RI, turut mengawal delapan jet Belanda, yaitu pesawat jet pemburu 110-G Star Fighters.
Dengan jaminan keselamatan penuh, akhirnya Presiden Soeharto tiba di bandara Schiphol, sekitar jam 10.00. Dari bandara Schiphol, rombongan diterbangkan ke bandara militer Ypenburg, di dekat kota Den Haag. Pesawat mendarat, pintu terbuka. Ratu dan Pangeran dan beberapa komandan militer mendekati pintu pesawat, bersiap-siap menanti tamu agung.
“The Smiling General” Soeharto berkopiah hitam, keluar dari pesawat. Seperti biasa, senyumnya yang menawan menghiasi wajah gantengnya yang khas ganteng pria Jawa. Ibu Tien nampak ceria, manis dengan lesung pipitnya, berkebaya hijau, berselendang krem. Komandan pasukan memberi aba-aba kehormatan pada tamu negara, “Hormat senjata!”.
Di ujung tangga pesawat, tepat di saat Ratu dan Pangeran Belanda selesai berjabatan tangan dengan Soeharto dan Ibu Tien, terdengar lagu kebangsaan “Indonesia Raya”. Mars itu dikumandangkan dengan megah oleh korps musik Angkatan Udara Belanda. Semua berdiri tegap dan khidmat, menghormati lagu kebangsaan Indonesia. Sesudah itu Presiden, Ibu Tien, Ratu, dan Pangeran tampak berbincang-bincang akrab. Sementara itu Angkatan Udara melepaskan tembakan salvo meriam 21 kali sebagai tanda penghormatan.
Sebagaimana kunjungan kenegaraan, selalu ada seremoni inspeksi pasukan kehormatan. Diiringi alunan korps musik, Soeharto berjalan di sebelah kiri Juliana, berjalan tegap menginspeksi 100 pasukan.
Begitu selesai, Juliana memperkenalkan para pejabat istana yang akan mengiringi Soeharto dan Ibu Tien selama kunjungannya. Duta Besar Taswin juga turut memperkenalkan para staf kedutaan pada Suharto dan Ibu Tien.
Selanjutnya mereka berjalan ke sebuah ruang di bandara untuk mengaso sebentar. Lalu melanjutkan perjalanan ke istana Huis ten Bosch, tempat menginap presiden. Tampak di kejauhan rakyat Indonesia melambai-lambaikan bendera kecil merah putih, mengelu-elukan kedatangan presidennya. Di antaranya ada juga yang berteriak mengutuk, memaki-maki Soeharto. Sudah jelas, itu pasti RMS. Tapi meminjam istilah jurnalis kawakan Rosihan Anwar, “Soeharto memang punya nyali”.
Setelah duduk berisitirahat sejenak, rombongan pun menuju istana Huis ten Bosch. Lain dari biasanya, tamu terhormat diangkut dengan helikopter kerajaan langsung dari bandara, bukan dengan mobil kerajaan seperti lazimnya. Fasilitas keamanan ekstra bagi Soeharto dan rombongannya memang terlihat sangat mencolok.
Malam harinya diadakan gala dinner di istana Huis ten Bosch. Tamu-tamu memasuki ruangan dengan iringan lagu-lagu klasik dari konser kelompok musik istana. Lalu tibalah saatnya Ratu Juliana menyampaikan pidatonya. Disebutkannya, hubungan antara Belanda dan Indonesia, bukan sekedar hubungan diplomatik. Tapi juga “hubungan darah”. Ini mengingat hampir separuh penduduk Belanda mempunyai darah “Indo” (mix Belanda-Indonesia), karena sejarah dan kontak antara Belanda dan Indonesia sudah sejak beratus tahun lalu.
Ratu Juliana mengakhiri pidatonya dengan salam persahabatan, mengajak hadirin berdiri, mengangkat gelas, minum bersama untuk menghormati tamu negara dan mendoakan kesejahteraan rakyat Indonesia. Selanjutnya hadirin tetap berdiri, karena kelompok musik memperdengarkan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”. Inilah pertama kali istana mengumandangkan lagu kebangsaan tanah jajahannya, di istana Ratu sang eks penjajah! Entah apa yang dirasakan para tokoh Indonesia di ruangan itu, terlebih bagi mereka yang dulu turut menyandang bedil melawan Belanda.
Sesudah lagu “Indonesia Raya”, kini giliran Presiden Soeharto menyampaikan sambutannya. Seperti biasa, dalam bahasa Indonesia. Dengan lafal aksen Jawa, suaranya terdengar tenang berwibawa.
Di dalam pidatonya, sekaligus Presiden Soeharto menyampaikan undangannya pada Ratu, “Adalah sangat menggembirakan bila nanti kami dapat menyambut Sri Baginda Ratu dan Sri Paduka Pangeran Bernhard dalam suasana keramahtamahan yang ingin ditunjukkan oleh rakyat Indonesia serta untuk lebih mengeratkan lagi hubungan persaudaraan antara kedua negara”.
Di akhir pidatonya, Presiden Soeharto mengajak para hadirin mengangkat gelas dan minum bersama, “Untuk kesehatan Sri Paduka Ratu Juliana dan Sri Paduka Pangeran Bernhard, untuk kesentosaan Huis van Oranje Nassau, untuk kesejahteraan rakyat dan untuk persahabatan antara kerajaan Belanda dan Republik Indonesia”.
Nasi Rames di Istana Ratu
Pada perjamuan kenegaraan di istana malam itu, dihidangkan pula berbagai makanan Indonesia. Sate, gado-gado, rendang, nasi goreng, nasi liwet, nasi rames, dan berbagai makanan serta jajanan khas Indonesia. Makanan Indonesia ini dihidangkan bukan karena kedatangan Soeharto saja. Latar belakang sejarah menyebabkan hidangan Indonesia bukan hidangan yang asing bagi keluarga istana. (Sebagai catatan, Pangeran Bernhard/suami Ratu Juliana, dikenal sebagai penggemar nasi goreng. Jika Pangeran merindukan nasi goreng, ia punya tukang masak khusus. Biasanya dipanggilnya seorang wanita tua asal Surabaya yang tinggal di Belanda, yang khusus datang membuatkan nasi goreng untuknya).
Ramah tamah di makan malam itu juga dihadiri putri Ratu Juliana yaitu Beatrix (sekarang Ratu Belanda). Mbak Tutut yang belia, berkebaya coklat muda keemasan, selendang jingga dan berkacamata dengan gagang hitam tebal yang sedang trend. Ibu Tien tampil istimewa, lipstick-nya merah segar, dengan kebaya brokat biru muda berkilat, juga berselendang jingga. Tepat jam dua belas malam, perjamuan kenegaraan itu berakhir dalam suasana ramah tamah.
Keesokan harinya, jam setengah tiga siang Soeharto bersama Pangeran Bernhard menuju ke kantor parlemen Belanda. Dalam pertemuan tertutup itu, Soeharto menyampaikan pidatonya. Dikatakannya, “Kita dengan ikhlas bersedia melupakan pahitnya masa yang lampau, dan membuka pintu selebar-lebarnya untuk membangun masa depan yang cerah”.
Sementara Soeharto di kantor parlemen, Ratu Juliana mengundang Ibu Tien dan Mbak Tutut untuk mengunjungi kediamannya di istana Soestdijk. Dari istana Huis ten Bosch, bersama Ratu, mereka semua diangkut dengan tiga helikopter, ke istana tempat tinggal Ratu.
Di istana Soestdijk kediaman Juliana, Ibu Tien beramah tamah dengan keluarga Ratu. Ketika itu putri mahkota, Beatrix, beserta suami dan anak-anaknya turut hadir. Bersama putri-putri dan cucu Ratu, mereka semua bercengkerama penuh gelak tawa. Ratu Juliana menggendong cucunya yang masih bayi, dengan kebanggaan seorang oma memamerkan sang cucu pada Ibu Tien. Pangeran Constantijn (adik Pangeran Alexander), bayi yang digendong Juliana membuat semua tertawa. Soalnya ketika Ibu Tien mencium, bayi itu menarik kacamata Ibu Tien hingga nyaris copot.
Di hari yang sama, di malam hari jam sepuluh, kunjungan singkat hanya sehari itu berakhir sudah. Melalui bandara militer Ypenburg, rombongan presiden melanjutkan perjalanan ke Bonn, Jerman Barat. Ratu dan Pangeran Bernhard serta ratusan rakyat Indonesia turut melepas kepergian presiden.
Hingga kini, 40 tahun kemudian, putri Ratu Juliana, yaitu Ratu Beatrix ternyata harus menerima kenyataan bahwa ia tak seperti almarhumah ibunya, yang berhasil mengundang presiden Indonesia. Secara tak langsung, undangan Beatrix dianggap telah ditolak oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Setelah jerih payah mendokumentasi sejarah yang saya rangkum dari segudang sumber melalui tulisan ini, tiba-tiba terbersit pertanyaan, “Hah? Empat puluh tahun?”. Kurun waktu antara kunjungan Soeharto sampai sekarang, bukanlah waktu sedikit. Dalam kurun waktu 40 tahun, begitu banyak yang terjadi. Bayi yang mencopot kacamata Ibu Tien tadi, Pangeran Constantijn sudah punya tiga anak.
Dunia berkembang dengan pesat. Semua berubah secepat jet. Kecuali…hubungan diplomatik Indonesia-Belanda. Yang tercatat di sejarah, tetap belum berubah. Seorang Belanda bertanya pada saya, “Siapa presiden Indonesia yang pernah berkunjung ke Belanda?”. Sejak 40 tahun lalu jawabnya tetap sama, yaitu “Soeharto, meneer!”.(Foto berita ini bisa dilihat DI SINI)
Sumber: Kolom Kita