Salah satu kebijakan positif era kepemimpinan Presiden Soeharto —dalam rangka transformasi philosophische grondslag— adalah penyelenggaraan edukasi publik nilai-nilai kenusantaraan yang dikemas dalam bentuk P4 (Pendidikan, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Melalui kegiatan tersebut, seluruh warga negara memperoleh kesempatan secara terorganisasi untuk membicarakan “siapa jati diri kita sebagai sebuah bangsa”, “apa falsafah-falsafah dan nilai-nilai yang mendasarinya”, “bagaimana sejarah masa lalunya” dan “dengan cara bagaimana peradaban bangsa ini hendak ditegakkan kembali”. Melalui pemahaman terhadap masalah-masalah tersebut, elemen-elemen bangsa relatif mudah membangun konsensus untuk secara bersama-sama mengalokasikan energinya melakukan pembangunan peradaban bangsa. Melalui kesatupaduan orientasi kebangsaan itu, Indonesia akhirnya muncul sebagai bangsa yang kuat dan disegani oleh bangsa-bangsa lain.
Sayangnya para elit bangsa pada era reformasi tidak menelaah fungsi strategis P4 sebagai media atau forum edukasi politik kebangsaan dan menghapuskan keberadaanya tanpa format pengganti yang lebih baik. Sebagai dampak penghapusan P4, dalam jangka pendek telah memicu terjadinya serangkaian “kegagalan manajemen konflik nilai” yang ditandai dengan banyaknya judicial review undang-undang akibat disharmonisasi antara philosophische grondslag dengan produk legislatif. Hal tersebut menunjukkan lemahnya penyusun undang-undang (pemerintah dan DPR) dalam memahami eksistansi kebangsaan dan nilai-nilai yang menjadi dasar pijakannya.
Dalam jangka panjang (beberapa generasi mendatang), penghapusan tersebut dapat menyebabkan Indonesia menjadi sebuah negara tanpa orientasi kebangsaan. Hal itu disebabkan para anggota masyarakatnya tidak lagi memahami jati dirinya sebagai sebuah bangsa yang setiap anggotanya memanggul tanggung jawab untuk membangun komunitas peradaban dalam skala kebangsaan. Mengacu tengara John Gardner sebagaimana dikemukakan pada awal bab, keroposnya pijakan moral kebangsaan dalam setiap individu warganya akan menyebabkan Indonesia menjadi bangsa yang gagal atau bahkan secara fisik akan mengalami disintegrasi.
Penghapusan P4 pada era reformasi dilatarbelakangi alasan emosional-politis. Sejumlah kalangan menuding P4 sebagai indoktrinasi Presiden Soeharto dalam melanggengkan kekuasaannya. Tudingan tersebut dapat diduga sebagai upaya pelapukan eksistensi peradaban Indonesia dari dalam dengan mencerabut pijakan moralnya melalui sebuah isu yang bersifat politis. Ibarat universitas, jika terdapat mata kuliah atau content materi perkuliahan yang dinilai tidak sejalan dengan jiwa zaman, hanya perlu modifikasi terhadap kurikulumnya dan tidak membakar atau merobohkan eksistensi universitas. Penghapusan kelembagaan P4 merupakan bukti tudingan tersebut merupakan serangan antara dengan sasaran utamanya eksistensi peradaban Nusantara.
Pada era kepemimpinanya, Presiden Soeharto telah membuat kebijakan edukasi politik kenusantaraan melalui kelembagaan P4 berupa edukasi publik tolerasi beragama, falsafah bangsa, wawasan Nusantara dan arah kebijakan pembangunan bangsa. Edukasi publik yang dikelola secara sistimatis dan terorganisasi itu memungkinkan seluruh elemen bangsa mengalokasikan energinya dalam satu kesamaan orientasi kebangsaan melalui peran dan tanggung jawabnya masing-masing.
Edukasi Publik Toleransi Beragama
Edukasi publik toleransi beragama merupakan upaya meningkatkan semangat ber-Ketuhanan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan menekankan kemerdekaan masing-masing individu dalam memilih agama yang diyakininya untuk dianut. Sedangkan kelompok-kelompok tertentu yang memaksakan diri untuk menjadikan Indonesia sebagai negara agama (teokrasi), melakukan tindakan-tindakan pemaksaan keyakinan kepada orang lain, provokasi atas nama agama atau politisasi agama sehingga menimbulkan keresahan atau kekerasan dalam masyarakat diberikan tindakan tegas[2].
Selain dilakukan melalui sekolah-sekolah, materi toleransi beragama merupakan salah satu materi yang ditekankan dalam setiap penataran P4. Toleransi beragama juga ditransformasikan melalui serangkaian campaign (kampanye) melalui pidato-pidato Presiden Soeharto yang disampaikan dalam berbagai kesempatan dan hal itu dilakukan secara terus menerus selama kepemimpinannya.
Mengacu realitas kehidupan beragama pada era reformasi yang ditandai munculnya konflik-konflik sosial dengan berlindung dibalik isu agama —kasus teroris, konflik etnis, kerusuhan pembagian zakat, kasus rumah ibadah, kasus Ahmadiah dan kasus-kasus lainnya— menunjukkan betapa implementasi pluralisme beragama memerlukan ketegasan dan peran aktif pemerintah baik melalui proses penyadaran maupun tindakan hukum bagi pelanggarnya. Dengan membandingkan kebijakan toleransi beragama dalam dua era pemerintahan —era orde baru dan era reformasi— menunjukkan bahwa kebijakan dan tindakan tegas Presiden Soeharto dalam masalah tersebut (melakukan edukasi publik sekaligus tindakan hukum) bukan merupakan kebijakan yang salah. Kebijakan itu juga didasarkan pada pijakan kuat sesuai amanat sila pertama Pancasila.
Transformasi Falsafah Bangsa dan Dasar Negara
Materi utama P4 adalah nilai-nilai yang mendasari bangunan peradaban bangsa (falsafah bangsa) yang secara formal disarikan kedalam Pancasila sebagai Dasar Negara. Materi tersebut merupakan penjabaran philosophische grondslag beserta konsep dan kebijakan implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain memperoleh transformasi nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, peserta P4 juga didorong untuk berdialektika dalam mengkritisi nilai-nilai tersebut serta mendialektikakan dengan realitas keseharian maupun nilai-nilai eksternal yang masuk kedalam masyarakat Indonesia. Pada level tertentu peserta P4 juga mendialektikakan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dengan mengkonfrontasikannya pada konsepsi maupun teori-teori pembangunan dan penyelenggaraan negara yang datang dari luar, untuk kemudian melakukan telaahan kritis penjabarannya kedalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selain merupakan bentuk transformasi falsafah bangsa dan Dasar Negara, P4 telah menjadi forum titik temu keragaman pandangan dan nilai-nilai dari berbagai latar belakang elemen bangsa dengan Pancasila sebagai panduan konsensus. P4 juga menjadi sarana edukasi publik untuk terbiasa menerima keragaman pandangan sekaligus ketrampilan manajemen problem solving (penyelesaian masalah) terhadap berbagai permasalahan —khususnya konflik nilai dan gagasan— dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Tersedianya P4 sebagai forum dialektika bagi berbagai level masyarakat menyebabkan perumusan kebijakan yang menyangkut urusan publik tidak terjebak kedalam perdebatan berlarut-larut khususnya apabila berbenturan dengan konflik nilai[3]. Adanya P4 menjadikan pembuat kebijakan (eksekutif dan legislatif) memiliki pemahaman hampir merata terhadap koridor-koridor yang harus ditaati dalam penyelenggaraan negara —khususnya dari parameter philosophische grondslag— sehingga energinya dapat difokuskan pada perumusan kebijakan-kebijakan strategis dan konsepsi operasionalisasi teknisnya tanpa terjebak pada konflik nilai berkepanjangan.
Transformasi Wawasan Nusantara
Wawasan Nusantara merupakan cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya —-dalam koridor dan bersumber pada Pancasila dan UUD 1945— dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa (kebulatan tekad) serta kesatuan wilayah dalam menyelengarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional. Wawasan Nusantara sebenarnya memiliki dimensi luas dan tidak hanya menekankan kesadaran keutuhan wilayah (wawasan teritori fisik) Indonesia, akan tetapi mencakup nilai-nilai kenusantaraan, kesadaran kesejarahan eksistensi peradaban nusantara, manajemen peradaban Nusantara (transformasi sejarah kekuasaan/ suprastruktur peradaban Nusantara) dan interaksinya dengan kawasan di luarnya.
Melalui transformasi itu semua masyarakat Indonesia pada akhirnya menyadari: (1) adanya ikatan batin antara dirinya dengan wilayah (teritori fisik) Nusantara; (2) memahami cita-cita luhur pembangunan peradaban Nusantara; (3) memahami kenapa negara Indonesia modern dibangun di atasnya[4]; serta, (4) memahami keterkaitan antara cita-cita pembangunan peradaban Indonesia modern dengan cita-cita peradaban Nusantara. Adanya transformasi Wawasan Nusantara menjadikan segenap komponen bangsa menyadari jati dirinya sebagai sebuah bangsa dan memunculkan elan vital pembangunan peradaban dalam lingkup Negara Indonesia modern.
Terhapusnya P4 pada era reformasi menjadikan ikatan batin dengan nilai-nilai idiologis dan tumpah darah (wilayah Nusantara) banyak tercerabut dari kesadaran warga Indonesia. Bahkan terdapat sejumlah pihak menganggap Indonesia modern sebagai ilusi para pendirinya karena eksistensi peradaban Nusantara yang dijadikan dasar pijakan historis dan idiologis hanya merupakan mitos[5]. Pandangan bahwa peradaban Nusantara sebagai mitos tampaknya sengaja disebarluaskan —dengan memanfaatkan iklim kekebasan pers dan informasi— untuk melepaskan ikatan batin masyarakat Indonesia dengan sejarah dan tumpah darahnya, sehingga kebijakan negara dapat diarahkan demi pencapaian tujuan yang bersifat pragmatis. Lepasnya ikatan batin tersebut akan mempermudah pihak-pihak tertentu dalam menundukkan semangat nasionalisme warga Indonesia, sehingga agenda-agenda pragmatis untuk pengendalian kebijakan dan potensi strategis bangsa dapat mudah dilakukan tanpa perlawanan berarti.
Dampak lepasnya ikatan batin warga negara dengan tumpah darah dan kesadaran idiologis kenusantaraan tampak dari lemahnya kritisisme masyarakat pada era reformasi terhadap jual beli pasal dalam perumusan peraturan perundang-undangan —walaupun mungkin sudah tahu jika rumusan UU itu menyimpang dari philosophische grondslag— sehingga menguntungkan kelompok kepentingan tertentu. Selain itu juga tercermin dalam kasus lepasnya aset-aset strategis bangsa dengan alasan efisiensi manajemen perekonomian bangsa. Melalui argumentasi yang didesain tampak rasional, berbagai skenario pelemahan kedaulatan bangsa itu terlaksana tanpa memperoleh hambatan berarti.
Transformasi Arah dan Kebijakan Bangsa
Transformasi kerangka umum arah dan kebijakan negara dilakukan dengan menyajikan materi-materi GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) sebagai salah satu materi P4. Transformasi GBHN dimaksudkan untuk memahamkan segenap komponen masyarakat tentang strategi dan arah kebijakan negara dalam mewujudkan kesejahteraan umum, terlindunginnya segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, cerdasnya kehidupan bangsa dan keikutsertaannya dalam mewujudkan ketertiban dunia. Adanya pemahaman secara utuh terhadap road map perjuangan bangsa akan mendorong munculnya partispasi semua komponen masyarakat untuk turut serta mewujudkannya.
Transformasi kerangka umum arah dan kebijakan negara secara komprehensif dalam berbagai tingkatan masyarakat juga menjadi jembatan bagi kalangan spesialis (ahli dalam bidang teknis tertentu, misalnya pakar administrasi negara, pakar hukum, budaya, ekonomi, politik, kesehatan dan lain-lainnya) untuk mengintegrasikan keahlian dan konsep kebijakan yang dimilikinya kedalam skenario besar perjuangan peradaban bangsa. Hilangnya manajemen transformasi kerangka umum arah dan kebijakan negara tersebut —seiring dihapuskannya P4— menyebabkan era reformasi diwarnai kompetisi masing-masing disiplin atau sektor teknis (ego sektoral) yang berlomba-lomba memaksakan konsepnya tanpa memperhatikan skenario menyeluruh dengan memperhatikan skala-skala priotitas pembangunan bangsa.
Sebagai contoh adalah adanya kompetisi antara pendukung konsep privatisasi BUMN, percepatan investasi dengan penghalalan peran luas swasta asing serta pendukung kedaulatan ekonomi rakyat yang satu sama lain tidak terintegrasi kedalam proporsi keseimbangan peran dalam kerangka visi umum pembangunan ekonomi nasional. Tidak adanya road map terintegrasi dan visi umum yang membalut semua agenda pengembangan pilar-pilar perekonomian tersebut menjadikan swasta asing tumbuh sedemikian cepat meninggalkan swasta nasional dan kelompok usaha mikro-koperasi.
Tidak adanya integrasi kebijakan dalam kerangka visi umum juga menyebabkan kebijakan perekonomian —dalam kasus privatisasi BUMN dan terbuka luasnya kran swasta asing— telah mencederai prinsip kedaulatan bangsa dan tegaknya keadilan sosial dalam bidang ekonomi. Semakin luasnya pengendalian swasta asing terhadap sektor-sektor strategis bangsa telah menjadikan kendali penyelenggara negara terhadap kedaulatan bangsa semakin lemah. Membengkaknya proporsi swasta asing dalam penyelenggaraan ekonomi bangsa juga telah menghantam eksistensi swasta nasional maupun potensi ekonomi rakyat untuk menjadi tuan di negeri sendiri.
Transformasi ATHG
Pada era kepemimpinannya, Presiden Soeharto mentransformasikan konsep ATHG (Ancaman, Tantangan, Hambatan dan Gangguan) terhadap keberlangsungan peradaban bangsa —baik yang datang dari dalam maupun luar negeri— kepada segenap masyarakat. Transformasi tersebut dilakukan melalui campaign —disampaikan Presiden dalam berbagai kesempatan— maupun dengan dimasukkan sebagai materi P4. Melalui transformasi secara terorganisasi dan menjangkau semua segmen manjadikan masyarakat memiliki kepekaan kewaspadaan dalam menghadapi berbagai bentuk ATHG dan terpanggil untuk berpartisipasi dalam pencegahannya.
Pemerintah Presiden Soeharto mengkonsepsikan ATHG sebagai bentuk perongrongan terhadap eksistensi peradaban bangsa yang ditegakkan melalui prinsip-prinsip Pancasila. Selain berbagai bentuk gangguan terhadap ketertiban umum, kelompok yang disebutnya sebagai ekstrim kiri (komunis) dan ekstrim kanan (kelompok-kelompok yang hendak menjadikan Indonesia sebagai negara agama) juga diidentifikasi sebagai ATHG. Kerangka umum batasan ATHG dalam pemerintahan Presiden Soeharto melingkupi:
Ancaman terhadap teritori fisik (wilayah) dimana eksistensi peradaban bangsa Indonesia ditegakkan.
Berbagai upaya dekonstruksi terhadap Pancasila (philosophische grondslag) sebagai penyangga idiologis peradaban Indonesia.
Ancaman terhadap kelangsungan kebijakan negara dalam rangka implementasi amanat Pancasila (philosophische grondslag) dan UUD 1945.
Selain edukasi publik melalui P4, pemerintahan Presiden Soeharto juga melaksanakan kadarkum (keluarga sadar hukum). Program tersebut dilakukan untuk mentranformasikan batasan-batasan nilai kemanusiaan dan keadilan serta keadaban —sebagaimana amanat sila kedua Pancasila— yang diformulasikan kedalam peraturan perundang-undangan dan sanksi hukum bagi para pelanggarnya. Melalui program kadarkum, setiap warga negara didorong untuk memahami batasan-batasan yang dikategorikan sebagai bentuk pencederaan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan keadaban sesuai dengan aturan formal perundang-undangan. Selain memahami peraturan prundang-undangan, masyarakat didorong memiliki pemahaman terhadap sistem penegakan hukum sehingga bisa melakukan upaya hukum manakala hak-haknya dicederai.
***
[1] Disarikan dari Buku Politik Kenusantaraan
[2] Dakwah dan pendidikan agama tidak termasuk dalam kategori pemaksaan, karena dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip edukasi dan memaksakan kehendak.
[3] Misalnya tarik ulur dalam masalah Perda Syariah (antara yang pro dan kontra), privatisasi BUMN (antara efisiensi dan kedaulatan negara), pertentangan teori-teori penyelenggaraan negara dan pembangunan, dll.
[4] Di atas wilayah Nusantara
[5] Argumentasi sejumlah kalangan didasarkan pada sebutan Indonesia yang sangat berbau Eropa.
Penulis : Abdul Rohman