Konsepsi Peradaban Pancasila (Bagian 2)
Masyarakat Nusantara merupakan masyarakat ber-Tuhan dan oleh karena itu rumusan pertama sila Pancasila menekankan transendensi. Berdasarkan rumusan tersebut peradaban yang hendak diwujudkan dalam konstruksi Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 adalah peradaban yang dibangun dalam kerangka kepasrahan kepada Tuhan, hukum Tuhan dan perjanjian kontraktual antar sesamanya yang tidak melanggar jiwa hukum Tuhan, tanpa pemaksaan agama tertentu kepada warganya. Sila pertama itu merupakan rujukan atau sumber nilai etis bagi sila-sila berikutnya.
Konsepsi masyarakat ber-Tuhan sebagaimana terkandung dalam Pancasila berbeda dengan sistem teokrasi maupun liberal. Penyelenggaraan negara dalam sistem teokrasi didasarkan pada dominasi satu agama. Sedangkan Konsepsi masyarakat ber-Tuhan menekankan kemerdekaan bagi masyarakatnya untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya masing-masing dengan tetap menempatkan jiwa agama sebagai sumber nilai etis penyelenggaraan negara.
Dukungan negara untuk terwujudnya masyarakat ber-Tuhan —sebagaimana diamanatkan Pancasila— sejiwa dengan budaya masyarakat Nusantara yang religius (memiliki orientasi transendensi dalam semua aspek kehidupan). Falsafah hidup masyarakat Nusantara menekankan kasampurnaning hurip (kesempurnaan hidup) sebagai ultimate goal keseluruhan perjuangan hidup. Kesempurnaan hidup dapat dicapai apabila kehidupan dijalankan dalam kerangka harmonisasi antara manusia dengan Tuhan dan konsekwensinya juga memunculkan harmonisasi antara manusia dengan manusia maupun alam sekitarnya dan menekankan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan dunia dengan kehidupan setelahnya. Sikap transendensi masyarakat Nusantara tercermin dalam perbendaharaan spiritualisme Jawa yang menyatakan “urip iku saka Pangeran, bali marang Pangeran” (hidup itu berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan[2].
Sedangkan falsafah barat menekankan kawicaksanan (hal-hal yang secara rasio dipandang positif) tanpa harus mensinergikannya dari bimbingan transendensi. Falsafah barat menekankan capaian maksimal prestasi duniawi tanpa harus bersusah payah menyelaraskannya dengan harmoni alam raya (Tuhan-alam sekitar-kehidupan pasca kehidupan). Munculnya gerakan anti pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan salah satu contoh bentuk pertobatan masyarakat barat atas implikasi perilaku hidup rakus dan tidak diletakkan dalam kerangka harmoni antara manusia-Tuhan-alam raya. Kemajuan teknologi, sejenak memang bisa mengantisipasi disharmoni antara manusia dengan alam raya, namun tidak cukup untuk merehabilitasi keseluruhan dampak kerusakan yang diakibatkan kerakusan ummat manusia.
Transendensi telah melekat secara inheren sebagai pandangan hidup masyarakat Nusantara. Berbeda dengan pandangan sejumlah kalangan yang menyatakan perkenalan masyarakat Nusantara terhadap ajaran Ke-Tuhanan dimulai sejak kedatangan agama-agama besar ke Nusantara, seperti agama Hindu, Budha, Kristen dan Islam. Masa sebelumnya dinilai sebagai budaya animisme/dinamisme atau paganistis.
Berdasarkan keterangan kitab suci, —bahwa Tuhan menurunkan penganjur-penganjur kearifan kepada setiap suku bangsa untuk melakukan ketaatan kepada-Nya beserta hukum-hukum-Nya—[3]. Mengacu keterangan tersebut, masyarakat Nusantara —sebagaimana juga bangsa-bangsa lain— telah sejak lama menerima ajaran-ajaran Ke-Tuhanan melalui penganjur-penganjur kearifan. Masyarakat Nusantara sendiri —sebagaimana dapat kita tarik informasi melalui cerita pewayangan yang ada dalam masyarakat Jawa— merupakan garis keturunan Nabi Sys, putra keempat Nabi Adam[4]. Mereka memiliki pegangan hidup yang bersumber pada transendensi (ajaran tauhid) dan tercermin dalam etos spiritualitas masyarakatnya. Sejumlah orang menyebut sikap orientasi transendensi masyarakat Nusantara —sebelum kedatangan agama-agama besar— sebagai Islam tauhid[5] dan ada yang menyebutnya sebagai agama slamet[6]. Adanya animisme dan dinamisme merupakan bentuk penyimpangan ajaran yang disampaikan penganjur-penganjur kearifan dan hal itu dapat kita jumpai dalam lingkungan penganut agama-agama besar berada.
Kedatangan agama-agama besar mendorong terjadinya elaborasi antara nilai-nilai spiritual dalam masyarakat Nusantara dengan ajaran-ajaran baru. Mereka melakukan filterisasi terhadap ajaran-ajaran itu dan dalam hal memiliki kesesuaian dengan prinsip dasar keyakinannya (tauhid) akan diterima sebagai penyempurnaan ajaran, termasuk dalam hal mekanisme peribadatan. Maka dapat dipahami ketika ajaran Islam —yang menekankan transendensi pada semua aspek kehidupan— masuk ke Nusantara, segera diterima secara damai dan kemudian dipeluk mayoritas penduduknya. Penerimaan ajaran agama —yang datang belakangan tanpa konflik— dimungkinkan karena masyarakat Nusantara sebelumnya telah memiliki fondasi spiritual dan telah dijalaninya dengan penjiwaan secara mendalam.
Indonesia merdeka merupakan kelanjutan peradaban Nusantara dari era sebelumnya. Oleh karena itu transendensi merupakan pijakan pertama yang hendak diwujudkan dalam tatanan baru Indonesia merdeka dan hal itu tercermin dalam sila pertama Pancasila. Berdasarkan rumusannya, sila pertama Pancasila —Ke-Tuhanan Yang Maha Esa— mengandung tiga konsekuensi dalam penyelenggaraan negara. Pertama, peradaban yang hendak diwujudkan dalam masyarakat Indonesia merupakan sebuah pranata yang diletakkan atas dasar ketundukan masing-masing penduduknya kepada Tuhan, hukum Tuhan dan perjanjian kontraktual antar sesamanya yang tidak melanggar jiwa hukum Tuhan. Konsekuensi rumusan pertama Pancasila memberikan tanggung jawab kepada negara untuk mendorong setiap penduduknya agar ber-Tuhan sesuai dengan keyakinan agamanya masing-masing.
Konsepsi “kemerdekaan beragama” dalam Pancasila berbeda dengan konsepsi “kebebasan beragama” di negara-negara liberal seperti Amerika. Konsepsi Pancasila menekankan tanggung jawab negara untuk secara aktif mendorong masyarakatnya agar ber-Tuhan melalui agama yang diyakininya. Sedangkan konsepsi “kebebasan beragama” menempatkan negara dalam posisi pasif dan tidak perlu mendorong warganya untuk ber-Tuhan, walaupun juga tidak melarang warganya menganut agama tertentu[7]. Perbedaan keduanya terletak pada tanggung jawab negara untuk memfasilitasi —bukan mencampuri— warganya agar dapat menjalankan ajaran agamanya secara baik. Perbedaan itu terlihat jelas dari komitmen Indonesia Merdeka dengan memasukkan tanggung jawab mewujudkan masyarakat ber-Tuhan kedalam konstitusi.
Kedua, sebagai konsekuensi pengakuan ajaran Ke-Tuhanan, negara melindungi kemerdekaan warganya untuk menganut agama yang diyakininya tanpa paksaan[8]. Negara mendorong masyarakatnya untuk menjadi individu-individu ber-Tuhan, namun juga melindungi masing-masing individu dari paksaan untuk menganut agama tertentu atau diperlakukan diskriminatif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara atas alasan agama. Proses menjadikan individu-individu ber-Tuhan dilakukan melalui dukungan terhadap aktifitas edukasi keagamaan dan selanjutnya diserahkan kepada individu-individu itu untuk menganut agama yang dikehendaki.
Ketiga, negara bertanggung jawab dalam menciptakan harmoni antar ummat beragama. Agama mengajarkan ketaatan mendalam dan keyakinan mutlak kepada ummatnya. Sedangkan masing-masing individu memiliki tingkat pengetahuan, pemahaman dan penjiwaan yang berbeda terhadap ajaran agama. Kemutlakan keyakinan dan keragaman tingkat pengetahuan/ penjiwaan terhadap ajaran agama, seringkali menjadi pemicu munculnya tindak kekerasan atau bentuk-bentuk diskriminasi atas nama agama. Untuk menghindari tindak kekerasan atau diskriminasi yang mengatasnamakan agama diperlukan pengaturan dan pengawasan serta pembinaan oleh negara.
Penerimaan ummat Islam Indonesia —sebagai penduduk mayoritas— terhadap konstruksi konstitusi yang menyatakan perlindungan keragaman agama, tercermin dari kerelaannya menghapus tujuh kata —dengan kewajiban melaksanakan syari’at Islam bagi pemeluknya— dari Pancasila. Penerimaan itu bukan saja —meminjam istilah Presiden Soeharto— weweh tan kelangan[9], namun memiliki rujukan kuat dalam ajaran Islam sendiri dimana ummat Islam tidak boleh melakukan pertengkaran dengan para ahli kitab[10]. Abd-al Hamid Hakim —tokoh pembaharuan Islam di Sumatera Barat— bahkan berpendirian bahwa ahlul kitab tidak hanya terbatas pada kaum Yahudi dan Kristen namun juga kaum Hindu, Budha, agama Cina dan Jepang[11].
Barangkali dengan adanya keterangan kitab suci itu, kebijakan Presiden Soeharto memberi kesempatan kepada “penganut kepercayaan” menegaskan jati dirinya tidak memperoleh halangan berarti dari kalangan ummat Islam. Pemerintahan Presiden Soeharto sendiri tidak mengelompokkan “ajaran kepercayaan” sebagai agama, namun diposisikan dalam ranah budaya. Berbeda dengan kasus agama Kong Hu Cu —agama orang-orang Cina—, dengan alasan politis keberadaanya dinilai kurang memperoleh keleluasaan berekspresi, walaupun juga tidak tepat jika dikatakan pemerintahan Presiden Soeharto membungkamnya.
Sebagian warga Cina keturunan disinyalir terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap peristiwa G.30.S/PKI khususnya peran kanalisasi dukungan finansial pemerintah RRC kepada PKI. Atas alasan politis itu —untuk memproteksi infiltrasi asing— keberadaan sejumlah warga Cina keturunan dikontrol ketat oleh pemerintah Orde Baru. Akibatnya warga Cina keturunan memang kurang memiliki keleluasaan mengapresiasikan budayanya, seperti perayaan-perayaan hari besar Cina dalam skala besar. Namun apabila kontrol ketat itu diidentikkan dengan pembelengguan kebebasan beragama, jelas merupakan tudingan yang tidak berdasar. Hal itu dibuktikan dengan tetap berdiri tegaknya klenteng-klenteng rumah peribadatan Kong Hu Cu dan tidak menghalangi kemerdekaan pengikutnya melakukan peribadatan. Kontrol ketat terhadap aktifitas politik sejumlah warga Cina keturunan —sebagai implikasi sikap politiknya pada masa lalu— tidak bisa dijadikan dasar tudingan bahwa kontrol itu merupakan bentuk pembelengguan kemerdekaan beragama kepada penganut Kong Hu Cu.
***
[1] Disarikan dari Buku Politik Kenusantaraan
[2] Butir-Butir Budaya Jawa: Hanggayuh Kasampurnaning Hurip, Berbudi Bawaleksana, Ngudi Sejatining Becik, (Jakarta: Yayasan Purna Bakti Pertiwi, 1996), hlm 4. Prinsip ini sejalan dengan Al-Qur’an, 2:156, “…Sesungguhnya kita berasal dari Tuhan dan sesungguhnya kita akan kembali kepada-Nya”.
[3] Sebagaimana keterangan kitab suci Al-Qur’an dalam Surat An-Nahl ayat 36: “Sungguh telah Kami bangkitkan untuk setiap umat seorang Rasul (untuk menyerukan): ‘Hendaknya Kamu sekalian menghambakan diri hanya kepada Allah dan jauilah (lawanlah) tiran (Thaghut)’, Surat Al-Fathir ayat 24: “Sesungguhnya Kami utus engkau (Muhammad) sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan tidaklah suatu umatpun melainkan telah tampil didalamnya seorang pemberi peringatan”, Surat Ar Ra’d ayat 7: “…Engkau (Muhammad) hanyalah seorang pemberi peringatan; dan untuk setiap (golongan) ada penunjuk jalan”, Surat Al-Mukminun ayat 78: “Sungguh Kami (Allah) telah mengutus sebelum engkau (Muhammad) banyak Rasul, sebagian dari mereka Kami ceritakan kepada engkau dan sebagian lagi tidak Kami ceritakan”. Lihat Nurcholis Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta: Gramedia, 2003). hlm 49-56.
[4] Berdasarkan kepercayaan masyarakat Jawa, leluhur-leluhur Pandawa apabila ditarik garis keatas berujung pada nabi Sys. Hal itu menunjukkan kesadaran kesejarahan dalam masyarakat Nusantara menempatkan dirinya sebagai garis keturunan Nabi Sys.
[5] Prinsip tauhidnya sama dengan tauhid yang diajarkan kepada para Nabi sebelum perasulan Nabi Muhammad Saw, dan oleh karena itu belum mengikuti syari’at Nabi Muhammad Saw. Al-Qur’an menginformasikan bahwa ajaran yang disampaikan kepada para Nabi pada dasarnya sama dengan apa yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw, yaitu ajaran Islam (ketundukan, kepatuhan dan kepasrahan kepada ke-Maha Esaan Tuhan). Adanya animisme dan dinamisme merupakan bentuk penyimpangan perilaku keagamaan terhadap kemurnian ajaran para penganjur kearifan yang fenomenanya dalam berbagai bentuk masih kita jumpai hingga hari ini dan tidak diketemukan pada masa lalu saja.
[6] Ajaran yang membimbing kepada keselamatan hidup dan kehidupan.
[7] Konsepsi “kebebasan beragama” secara sekilas tampak demokratis, namun faktanya Negara yang menerapkan kebijakan tersebut seringkali gagal menangkap esensi keyakinan ummat beragama dan secara tidak sadar justru mengkarantina hak asasi warganya untuk memiliki kemerdekaan beragama. Sebagaimana kasus Amerika telah menggeneralisasi sekelompok teroris dengan Islam sehingga menjadikan kalangan Muslim —dalam kurun waktu tertentu— menjadi tertekan. Bahkan bangsa yang mengklaim sebagai mercusuar demokrasi itu sempat terjebak dalam sikap primitive —yang ditunjukkan oleh sikap sejumlah warganya—, dengan menjadikan back ground keluarga Obama yang muslim sebagai salah satu isu kelayakan dirinya dipilih menjadi Presiden.
[8] Prinsip ini sejalan dengan ajaran kitab suci yang menyatakan:”Tidak ada paksaan dalam agama, sesungguhnya telah jelas antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barangsiapa ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang pada tali yang sangat kuat, yang tidak akan putus, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui (Al-Qur’an, 2:256)”, 10:99, “Dan jika menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?” (Al-Qur’an,10:99). Sedangkan tugas orang-orang beriman adalah memberi peringatan dan tidak memaksa (lihat keterangan no. 7).
[9] Ummat Islam memberi tanpa harus kehilangan, karena prinsip tauhid dalam ajaran Islam —Kemaha Esaan Tuhan— tidak hilang dari rumusanan Ketuhanan Yang Maha Esa, lihat “Wejangan Bapak Presiden Kepada Para Peserta Sarasehan Pembekalan Bagi Calon Anggota DPR-RI Periode 1997-2002 Di Istana Negara”, (Jakarta: Sekertariat Negara, 1-8-1997), hlm 10.
[10] Q.S 29:46, “Kamu janganlah bertengkar dengan para penganut kitab suci (ahlul kitab), melainkan dengan sesuatu yang lebih baik, kecuali terhadap yang zalim dari antara mereka. Dan nyatakanlah, “Kami beriman kepada apa yang diturunkan (kitab-kitab) kepada kami dan yang diturunkan kepada kamu. Tuhan kami dan Tuhan kamu satu (sama), dan kita semua berserah diri (muslimun) kepadanya”.
[11] Nurcholis Madjid, Op. Cite hlm xxix