Saya tahu perlunya kesenian. Saya tahu betapa pentingnya dunia itu, betapa pentingnya seniman-seniman dan kegiatan mereka. Kita sudah memberikan penghargaan yang begitu tinggi, Bintang Jasa Utama kepada pelukis Affandi. Dan belakangan ini saya memberikan bantuan untuk modal kerja kepada pelukis Otto Djaya, yang katanya, akan membuat 250 buah lukisan. Saya juga membantu pengembangan padepokan seni tari Bagong Kussudiardjo.
Saya mengadakan pertemuan dengan empat puluh seniman dan seniwati senior di Istana Negara, pertengahan Maret 1987. Benar, pertemuan semacam itu pertama kali inilah saya adakan semenjak saya jadi Presiden. Tetapi ini bukan karena saya atau pemerintah kurang memperhatikan para seniman dan budayawan. Hal ini semata-mata karena kesibukan-kesibukan saya melaksanakan berbagai tugas yang diamanatkan kepada saya sebagai Mandataris MPR. Dalam melaksanakan tugas-tugas saya itu, saya mengutamakan perbaikan taraf hidup rakyat, dan terutama sekali untuk mengisi kebutuhan akan pangan, sandang dan papan, serta menciptakan lapangan kerja. Hal-hal ini tampaknya sepele, tetapi ternyata tidak gampang.
Di depan para seniman dan seniwati itu saya tegaskan, ketahanan sosial budaya tak kalah pentingnya dengan ketahanan militer dan ketahanan ekonomi dalam memperkuat ketahanan nasional. Saya mengharapkan agar para tokoh seniman itu menjadi panglimapanglima dalam memperkuat ketahanan sosial budaya yang merupakan satu unsur penting dalam ketahanan nasional. Saya menyambut gembira berbagai usaha dan partisipasi yang telah disumbangkan para seniman dan seniwati Indonesia dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan lapangan kerja melalui berbagai kegiatan.
Bicara mengenai kritik yang disalurkan lewat kesenian, selama itu merupakan kritik yang membangun, dengan sendirinya saya bisa menerimanya. Kritik melalui apa saja, melalui tulisan, melalui lelucon, melalui kesenian memang harus kita terima, sepanjang kritik itu membangun. Saya menyadari, sebagai manusia, saya tidak sempurna. Tentu pada saya ada kesalahan. Jadi, kalau ada orang yang memperingatkan, maka kita bisa gunakan kritik itu sebagai bahan koreksi, supaya kita mawas diri.
Kesibukan saya sehari-hari menyebabkan saya harus bisa memilih. Namun, sepanjang menyangkut diri saya dan ·tugas-tugas saya, saya perhatikan karya-karya kesenian itu. Yang saya maksud dengan tugas saya, ialah sebagai Pimpinan Negara, sebagai Presiden/Mandataris yang dibebani tugas yang begitu luas. Kepada wayang tentu saja saya menaruh perhatian. Akar saya dari desa. Sejak kecil saya berada di tengah pedalangan dan nayaga. Mengenai filsafat wayang, sebenarnya setiap orang bisa menggunakannya, kalau mengetahui hakikatnya.
Hakikat hidup ini adalah mengendalikan nafsu baik dan nafsu jelek. Filsafat dalam wayang selalu begitu. Dan cerita wayang menggambarkan yang jelek dikalahkan oleh yang baik. Kepada kesenian rakyat juga saya menaruh perhatian. Saya pernah memberikan dispensasi kepada seorang Gatotkaca dari Wayang Orang Sriwedari, Solo, untuk diangkat jadi pegawai negeri.
Waktu merayakan hari ulang tahun perkawinan kami yang ke-39 di rumah di Jalan Cendana, saya undang pengamen, pemetik gitar sembari menyanyi, yang biasa mencari nafkah dari satu restoran ke restoran lainnya, dari emper toko yang satu ke emper toko lainnya. Mereka seperti merasa malu, merasa rendah diri dengan pekerjaan mereka itu, tercermin dari lagu-lagu yang mereka nyanyikan.
Lalu saya katakan kepada mereka, “Kamu jangan malu mengamen. Tidak usah menundukkan kepala. Ngamen itu pekerjaan halal. Ngamen itu lebih baik daripada ‘nganggur, lebih baik daripada ‘nyolong, daripada mencuri. Jangan kamu merasa rendah diri karena ngamen. Kalau dicaci maki, sabar saja. Karena ini niat baik. Kamu ‘kan mau menghibur.”
Kemudian saya serahkan empat buah gitar kepada keempat orang pengamen itu. Dan semoga mereka jadi yakin bahwa kita tidak perlu malu-malu jika mencari nafkah dengan jalan yang halal.
*
Bicara mengenai bahasa Indonesia, seorang peneliti perkembangan bahasa Indonesia menyebutkan, di tahun 1985, 58 juta penduduk Indonesia diperkirakan tidak mengenal bahasa Indonesia. Itu berarti 39 persen dari jumlah penduduk di Indonesia merupakan eka-bahasawan yang tidak menggunakan bahasa Indonesia, melainkan memakai bahasa ibu, bapak, atau suku sebagai bahasa utama.
Proses pembangunan kita cenderung mengutamakan penggunaan bahasa pembangunan dan bahasa yang resmi digunakan untuk komunikasi pada tingkat nasional, yaitu bahasa Indonesia. Bagaimana ke-58 juta penduduk itu bisa mengenal pembangunan bila tidak mengenal bahasa pembangunan? Sebab itu, mari kita ajari mereka berbahasa Indonesia. Ini adalah pandangan saya yang optimistis dan tidak bertanya-tanya lagi seperti seseorang yang pesimistis.
*
Saya membuka Pesta Kesenian Bali di Lapangan Puputan Badung Denpasar. Di depan ribuan seniman dan masyarakat Denpasar itu saya tegaskan, pembangunan bangsa yang mengabaikan kebudayaannya akan melemahkan sendi kehidupan bangsa itu sendiri. Karena itu, sejak semula bangsa Indonesia bertekad membangun masa depannya yang kuat dengan berpijak di atas kepribadian dan tumbuh di atas nilai nilai budayanya sendiri.
Bangsa Indonesia bukan bangsa yang miskin budaya. Karena itu, kewajiban kita semua untuk memelihara dan mengembangkan kesenian tradisional itu agar tidak punah begitu saja dilanda kemajuan zaman. Usaha memelihara dan mengembangkan kesenian tradisional atau kesenian daerah itu sama sekali bukan pemborosan. Ia mempunyai nilai investasi kultural yang sangat penting. Bukan saja bagi kehidupan sosial budaya itu sendiri, tetapi juga buat kehidupan sosial ekonomi bangsa kita.
Di Bali yang dikunjungi banyak turis itu saya tekankan, usaha untuk mengembangkan dan menjajakan kesenian bangsa kita tidak boleh dilakukan dengan merendahkan nilai seni itu sendiri. Kita harus mencegah jangan sampai kesenian kita terbawa arus komersialisasi. Sebab jika hal itu terjadi, justru akan mencederai nilai hakiki kesenian kita itu sendiri. Begitu pandangan dan anjuran saya mengenai kesenian.
Bicara lagi mengenai kebudayaan, saya ingat, bangsa yang melupakan warisan budayanya sendiri akan kehilangan kepribadiannya. Bangsa yang kehilangan kepribadiannya akan menjadi bangsa yang lemah. Dan bangsa yang lemah akhirnya akan runtuh disebabkan dari luar atau hancur dikarenakan dari dalam. Hanya bangsa yang berkepribadian yang akan mampu bertahan tegak berdiri dalam zaman pancaroba seperti sekarang ini. Bangsa yang lemah kepribadiannya akan ditelan oleh perubahan-perubahan zaman yang berjalan dengan sangat cepat.
Bangsa Indonesia harus berusaha terus-menerus memelihara semua warisan budayanya, dari generasi ke generasi. Sekali saja suatu generasi tidak tahu akan warisan budayanya sendiri, maka sepanjang zaman warisan budayanya itu akan lenyap. Sebab itu jangan sekali-kali terjadi, jika ingin mengetahui budaya Aceh, misalnya, terpaksa kita harus mencarinya di pusat studi atau museum di negeri lain, atau malahan bertanya kepada ahli asing. Demikian pula jangan sampai terjadi seperti itu juga jika ingin memahami budaya Minang, payak, Bugis, Jawa, Bali, Sunda, Irian, Batak, Melayu, Minahasa, Maluku, Timor Timur dan budaya daerah lainnya yang tidak terbilang banyaknya itu.
Dengan memelihara, menggali kembali dan mengembangkan budaya daerah, sama sekali bukan berarti berjalan mundur ke sejarah masa lampau yang membesar-besarkan perbedaan suku. Sebaliknya, dengan memelihara dan mengembangkan budaya daerah, bangsa Indonesia justru ingin memperkaya dan memperdalam semboyan Bhinneka Tunggal lka.
Pada kurun waktu persatuan dan kesatuan nasional kukuh kuat seperti sekarang, penggalian kembali budaya daerah itu bukan lagi merupakan bahaya yang akan memecah belah bangsa. Kita sekarang cukup kuat, kita sekarang cukup dewasa, kita sekarang cukup matang, sehingga kita tidak akan kembali ke masa kuatnya rasa kesuk.uan yang sempit dan menyesakkan napas. Itu saya yakini. Hanya bangsa yang berkepribadian akan menjadi bangsa yang memiliki kepercayaan pada diri sendiri. Tanpa rasa percaya diri, mustahil bangsa Indonesia berhasil melaksanakan pekerjaan besar, seperti pekerjaan membangun bangsa yang begini besar, negeri yang begini banyak penduduknya. Rasa percaya diri sendiri akan membangkitkan kreativitasnya. Percaya pada diri sendiri, percaya pada kekuatan sendiri dan kreativitas inilah yang menjadi kunci penting bagi berhasilnya pembangunan.
***
[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta tahun 1982, hlm 384-388.