♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara
Presiden Soeharto berinisiatif mendirikan Yayasan-Yayasan Sosial untuk menutup tanggung jawab-tanggung jawab negara yang masih tercecer, seperti untuk penyediaan beasiswa anak-anak tidak mampu tapi berprestasi, pemberdayaan fakir miskin maupun peningkatan kesejahteraan para veteran dan korban perang.
Sebuah kebijakan harus dilihat dari kontek situasi dan waktu serta motif-motif yang melatarbelakanginya. Presiden Soeharto memulai jabatannya dalam kondisi perekonomian dalam kondisi carut marut, inflasi bahkan mencapai 600% dan hutang yang cukup besar akibat pengadaan persenjataan untuk pembebasan Irian Barat. Selain membenahi stabilitas dan roda pemerintahan, penyediaan infrastruktur untuk pengadaan sandang, pangan dan papan merupakan agenda yang harus diatasi. Begitu pula dalam penyelenggaraan pendidikan, kesehatan serta stimulasi invetasi untuk menggerakkan sektor riil dalam memacu kesejahteraan bangsa Indonesia. Indonesia merupakan negara kepulauan. Dalam hal infrastruktur transportasi saja, tidak bisa hanya mengandalkan satu atau dua moda transportasi seperti pembangunan rel kereta api dari ujung ke ujung negara Amerika. Indonesia harus menyediakan semua moda transportasi, baik darat, laut dan udara dari sebuah wilayah yang sangat luas. Kesemuanya memerlukan pembiayaan tidak kecil dan pendapatan negara serta hutang luar negeri habis untuk pembangunan infrastruktur hingga pelosok-pelosok.
Sementara itu konstitusi mengamanatkan agar fakir miskin dan anak-anak terlantar dibiayai negara dalam kondisi keuangan terbatas bahkan hanya untuk pemenuhan infrastruktur dasar. Menggratiskan biaya pendidikan saja hingga sekarang masih kesulitan. Kita juga tidak bisa menyamakan dengan situasi pada saat ini dimana CSR (Coporate Social Responsibility) menjadi keharusan, karena perusahaan-perusahaan skala besar masih harus ditumbuhkan, termasuk menjamurnya penyedia beasiswa. Sebuah era dimana untuk memenuhi gaji pegawai dan tentara serta pembangunan infrastruktur untuk sektor riil masih harus ditata ulang. Begitu pula terhadap orang-orang yang mengkontribusikan hidupnya dengan risiko lebih tinggi karena dihabiskan untuk berperang seperti para veteran dan janda-janda korban perang. Negara belum cukup untuk menjamin kesejahteraan mereka melalui alokasi anggaran yang memadai.
Menggunakan opsi hukum yang ada, dalam situasi seperti itu Presiden Soeharto berinisiatif mendirikan Yayasan-Yayasan Sosial untuk menutup tanggung jawab-tanggung jawab negara yang masih tercecer, seperti untuk penyediaan beasiswa anak-anak tidak mampu tapi berprestasi, pemberdayaan fakir miskin maupun peningkatan kesejahteraan para veteran dan korban perang. Presiden Soeharto memanfaatkan pengaruhnya untuk menggalang dana dari orang-orang yang mampu dan untuk ukuran pribadi orang tersebut nilainya kecil. Dana tersebut jika dikumpulkan akan terakumulasi dalam jumlah besar dan jika dikelola dengan baik akan mampu dialokasikan untuk peningkatan kesejahteraan sosial bagi orang-orang yang membutuhkan.
Presiden Soeharto mendirikan yayasan-yayasan seperti 1. Yayasan Supersemar, 2. Yayasan Dana Sejahtera Mandiri/YDSM, 3. Yayasan Trikora, 4. Yayasan Dharmais, 5.Yayasan Dana Abadi Karya Bakti (Dakab), 6. Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila (ABMP), 7.Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan (YDGRK).
Sebagai contoh Yayasan Supersemar yang didirikan 16 Mei 1974. Sepanjang pengabdiannya telah memberikan beasiswa kepada mahasiswa sebanyak 440.218 orang dengan dengan total dana yang dikeluarkan Rp 277.915.513.616. Sedangkan siswa SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) sebanyak 912.314 orang, dengan total dana anggaran yang telah dikeluarkan mencapai Rp 221.953.555.659. Sementara untuk atlet berprestasi yang mengharumkan nama bangsa, memberikan beasiswa bantuan sebanyak 12.284 orang atlet. Dengan total dana yang telah dikeluarkan sebesar Rp 7.532.995.206.
Yayasan Supersemar juga memberikan beasiswa penelitian terhadap mahasiswa S (Strata) 2 dan S3. Total sampai 17 Pebruari 2009, sebanyak 6.631 kandidat master dan kandidat doktor yang dibiayai dengan total anggaran yang telah dikeluarkan sebesar Rp 9.039.299.692. Selain memberikan beasiswa kepada pelajar dan mahasiswa serta atlet berprestasi kita juga masih memberikan bantuan pendidikan untuk anak asuh yang selama ini dikelola oleh Lembaga GN-OTA (Gerakan Nasional Orang Tua Asuh). Yayasan ini sudah memberikan bantuan anak asuh melalui GN-OTA sebesar 494.679 anak asuh, dengan total dana Rp 35.000.291.140. Sehingga total atau akumulasi dana yang telah dikeluarkan Yayasan Supersemar berjumlah Rp 551.732.504.173 untuk 1.870.077 orang. Hal itu berarti yayasan ini telah berhasil menyelamatkan 1.870.077 orang peserta didik berprestasi untuk memperoleh pendidikan dan pada saat ini tidak sedikit yang menjadi pejabat di negeri ini.
Begitu pula dengan Yayasan Muslim Pancasila yang telah berhasil hampir 1000 masjid dipelosok Indonesia. Yayasan Damandiri juga telah berhasil memberdayakan ribuan bahkan jutaan fakir miskin melalui program-programnya yang hingga kini masih berjalan. Hal itu menandakan bahwa yayasan-yayasan ini dikelola dengan benar dan manfaatnya betul-betul dirasakan bagi masyarakat yang membutuhkan.
Pada era reformasi, eksistensi yayasan-yayasan ini diperdebatkan banyak pihak dengan berbagai tudingan tanpa dasar. Bahwa faktanya penyelenggaraan negara pada era reformasi dihadapkan maraknya kasus korupsi dan penjualan ase-aset strategis yang dibangun puliuhan tahun seperti Indosat dan Telkom. Bisa dibayangkan betapa ruginya bagi bangsa ini jika yayasan yang aktifitas pemberdayaannya masih berjalan dan sangat dibutuhkan masyarakat ini harus jadi obyek rebutan kelompok-kelompok pragmatis. Banyaknya kontribusi yayasan ini dalam pemberdayaan sosial membuktikan pikiran jauh kedepan dari Presiden Soeharto untuk menutup keterbatasan kemampuan negara yang pada akhirnya bisa menyelamatkan jutaan orang cerdas dari bangsa ini yang pada awalnya kurang beruntung atau memeiliki keterbatasan secara ekonomi.
Apabila memang memiliki etikad baik dan paham permasalahan, para pengkritik yayasan seharusnya mengkritisi keengganan atau bahasa lebih ekstrim pengkhianatan para konglomerat yang aktifitas usahanya diberikan dorongan untuk tumbuh oleh Presiden Soeharto. Para konglomerat ini, karena sudah mampu, oleh Presiden Soeharto dikumpulkan di Jimbaran Bali agar menyisihkan sebagian keuntungannya untuk pemberdayaan sosial. Para konglomerat ini hingga Presiden Soeharto mengundurkan diri tetap tidak mau menyisihkan sebagian keuntungannya dan tidak mustahil mencari penyelamatan diri dengan turut serta mendeskreditkan Presiden Soeharto. Kita perlu secara jernih untuk membedakan siapa pejuang dan pengabdi bangsa serta siapa-siapa yang hanya mengejar kepentingan pragmatis.