Perjuangan bangsa Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan tentunya didasarkan pula pada satu cita-cita kesatuan wilayah yang utuh. Mukadimah UUD ’45 menyebut negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan ini berarti juga bahwa wilayah Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau yang dipisahkan oleh selat dan laut, harus benar-benar diwujudkan dalam negara kesatuan. Karena itu pula, perjuangan untuk memperoleh pengakuan sebagai negara kepulauan secara utuh mutlak perlu. Pengakuan itu harus kita peroleh.
Kita memiliki kurang-lebih 13.000 pulau. Di tengah itu ada lautan dan selat-selat yang cukup luas. Bahkan dari keseluruhan wilayah kita sekarang yang lebih dari 5,5 juta km2, 2/3-nya adalah lautan, perairan, dan cuma 1/3-nya daratan.
Secara geografis, Indonesia mempunyai kekhususan. Kita di persimpangan jalan antara dua benua, antara Asia dan Australia, antara dua samudera, Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Dengan demikian, letak Indonesia sangat strategis.
Di tahun 1957 Pemerintah RI mengeluarkan “Deklarasi 13 Desember 1957″ yang merupakan salah satu sendi pokok dari kebijaksanaan pemerintah mengenai perairan Indonesia, menyangkut soal kesatuan dan persatuan bangsa dan negara Indonesia. Konsepsi negara Nusantara dan perkembangannya menjadi Wawasan Nusantara, dimulai dengan “Deklarasi 13 Desember 1957″ itu. Dengan deklarasi itu pemerintah RI mengemukakan pernyataan mengenai wilayah perairan Indonesia.
Pertimbangan-pertimbangan yang mendorong pemerintah RI mengeluarkan pernyataan wilayah perairan Indonesia ini adalah antara lain bahwa bentuk geografi RI sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri atas beribu-ribu pulau, mempunyai sifat dan corak tersendiri yang memerlukan pengaturan tersendiri pula. Di samping itu, bagi kesatuan wilayah (teritorial) negara RI, semua kepulauan serta laut yang terletak di antaranya harus dianggap sebagai suatu kesatuan yang bulat. Penetapan batas-batas laut teritorial yang diwariskan pemerintah kolonial sebagaimana termaktub dalam “Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939″ tidak sesuai lagi dengan kepentingan keselamatan dan keamanan negara kita. Sedangkan setiap negara yang berdaulat berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakantindakan yang dipandangnya perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan negaranya.
Perubahan atas “Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939″ menjadikan luas wilayah negara Indonesia yang tadinya 2.000.000 Km2 lebih (daratan) menjadi kurang lebih 5.200.000 Km2 (darat dan laut), jadi satu penambahan wilayah berupa perairan nasional (laut) sebesar kurang-lebih 3.200.000 Km2.
Undang-undang yang ditetapkan tahun 1960 mengubah penetapan laut wilayah Indonesia dari suatu cara penetapan laut wilayah selebar 3 mil diukur dari garis pasang surut atau garis rendah (low water line) menjadi laut wilayah selebar 12 mil diukur dari garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar. Seluruhnya ada 200 titik pangkal yang dihubungkan oleh hampir 200 buah garis pangkal lurus dengan jumlah panjang seluruhnya sebesar lebih dari 8.000 mil laut.
Keuntungan yang kita peroleh dengan cara penetapan batas-batas berdasarkan konsepsi negara kepulauan ini tidak kecil, yaitu kedaulatan Republik Indonesia yang penuh atas kurang lebih 3.000.000 km2 lautan dengan dasar serta tanah di bawahnya di dalam batas-batas negara Nusantara, ditambah dengan 800.000 Km2 landas kontinen di luar batas-batas negara kepulauan dengan ditambah pula dengan 3.000.000 km2 hak mengeksploitasi kekayaan alam berdasarkan zone ekonomi eksklusif.
Tidak lama setelah “Deklarasi tanggal 13 Desember 1957″ itu dikeluarkan, beberapa negara menyatakan tidak mengakui klaim Indonesia atas perairan di sekitar dan di antara pulau-pulau kita itu. Di antara negara-negara yang menyatakan tidak setuju ialah Amerika Serikat, Inggris, Belanda, dan Selandia Baru. Dalam pada itu, Wawasan Nusantara ditetapkan di tahun 1973 dengan Tap IV MPR sebagai wawasan yang melandasi pembangunan nasional Indonesia.
Ditetapkannya Wawasan Nusantara yang antara lain menekankan pada prinsip kesatuan wilayah, bangsa dan negara yang memandang Indonesia sebagai suatu kesatuan yang meliputi tanah (darat) dan air (laut) secara tidak terpisahkan, sampai sekarang merupakan tahapan terakhir daripada perkembangan konsepsi Nusantara yang dimulai sejak akhir tahun 1957 itu.
Maka kemudian dilaksanakan perjuangan Indonesia di forum internasional, pada Konferensi Hukum Laut Internasional sejak Juli 1974 hingga sekarang, yang pada hakekatnya adalah memperjuangkan Konsepsi Hukum Negara Kepulauan. Setelah konsepsi ini disahkan menjadi bagian dari Konvensi Internasional, berarti lebih memantapkan Negara RI sebagai negara Nusantara ditinjau dari sudut Hukum Internasional.
Sementara kita memperjuangkan pengakuan atas satu wilayah yang terdiri dari ribuan pulau, sekian laut dan sekian selat itu, timbul pertanyaan, siapa yang mau mengakui kita seperti yang kita tetapkan?
Karena itu, dalam kita memegang prinsip —saya katakan— kita harus juga memberikan jalan keluar yang akomodatif bagi kepentingan negara dan bangsa lain, yakni untuk menghubungkan antara Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, antara benua Asia dan Australia, baik melewati darat maupun udara.
Memang banyak yang mempunyai kepentingan dengan wilayah kita ini. Orang yang akan pergi dari sebelah barat atau utara ke Australia tidak mungkin berputar, turut meminggir menyusur batas wilayah kita. Karena itu, maka saya beritahukan bahwa kalau kita ingin memperoleh pengakuan sebagai negara kepulauan, Negara Nusantara, di mana kita mempunyai kedaulatan di darat, di laut, maupun di udara, kita harus memberikan jalan kepada mereka.
Di banyak kunjungan kenegaraan saya langsung mengemukakan masalah kekuasaan negara kepulauan itu. Hal ini diakui oleh Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, ahli kita di bidang hukuni laut dan diplomasi, banyak membantu usaha memperoleh pengakuan dunia internasional.
Secara pribadi saya juga turut memikirkan jalan keluar dari masalah-masalah sulit, antara lain masalah lintas kapal perang. Sistem sumbu adalah salah satu hasil pemikiran saya yang timbul pada saat masalah ini saya bicarakan dengan Mochtar Kusumaatmadja di tahun 1976.
Sementara pihak merasa lautan kita itu lautan bebas. Maka mereka melakukan dengan caranya sendiri melewati lautan kita yang mengakibatkan kedaulatan kita diinjak-injak. Maka kita tawarkan kepada mereka, “Kamu harus mengakui kedaulatan wilayah Indonesia, dan kami akan mengakui pula kepentinganmu.” Maka saya berikan petunjuk, tentukan porosnya, jangan sampai perairan kita ini bisa dijelajahi dengan semau-maunya.
Kalau mau lewat, ini porosnya. Kita izinkan mereka menggunakan poros yang kita tentukan itu. Tetapi tentu saja dengan syarat, yakni harus memberi tahu lebih dahulu. “Saya mau lewat,” begitu isyarat mereka, dan kita izinkan mereka lewat. Dengan demikian, kita bisa mengawasi mereka dan kita tidak merasa kedaulatan kita dilanggar oleh mereka yang mau menggunakan jalur itu. Dalam rangka memperkenalkan dan memperjuangkan prinsip Wawasan Nusantara itu, gagasan kita lontarkan melalui forum internasional, yakni konferensi PBB tentang Hukum Laut.
Dalam sidang di bulan April 1982, telah berhasil disahkan rumusan-rumusan tentang Hukum Laut sebagai yang telah dibahas selama hampir 10 tahun, menjadi konvensi Hukum Laut Internasional Baru yang di dalamnya tertera prinsip-prinsip Hukum Laut tentang Wawasan Nusantara dalam bentuk prinsip-prinsip mengenai negara kepulauan.
Sekarang, dengan cara penetapan batas-batas berdasarkan konsepsi negara kepulauan itu, kita harus memanfaatkan keuntungan-keuntungan yang kita peroleh yang tidak kecil artinya itu. Konvensi Hukum Laut 1982 itu telah ditandatangani oleh Indonesia dan oleh lebih dari 150 negara lainnya. Setelah DPR kita menyetujui konvensi itu di bulan Desember 1985, saya sebagai Presiden mensahkan konvensi itu dengan UU No.17, pada akhir Desember tahun itu.
Tinggallah sekarang kita mendorong supaya negara-negara penandatangan lainnya, terutama negara-negara ASEAN, Pasifik, khususnya Jepang dan Korea Selatan, negara-negara maju, dan negara berkembang lainnya meratifikasinya.
***
[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip langsung dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal. 319-322.