Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia merupakan amanat paragraf keempat preambule Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia harus turut serta dalam mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Makna dari amanat tersebut, pemerintah Indonesia harus turut serta memperjuangkan terbebasnya pranata dunia dari bentuk-bentuk hard colonialism dan soft colonialism. Indonesia juga harus secara aktif mewujudkan tercapainya perdamaian dunia berupa keterlibatan aktifnya dalam penyelesaian konflik di kawasan-kawasan tertentu maupun perjuangan untuk tersusunnya road map maupun konsensus internasional bagi terciptanya perdamaian secara berkelanjutan dalam masyarakat internasional. Selain itu pemerintah Indonesia juga harus secara proaktif memperjuangkan terciptanya pranata internasional yang dapat menjamin atau mendorong terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat internasional.
Pada tanggal 2 September 1948, —di hadapan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)— untuk pertama kalinya prinsip politik luar negeri (LN) bebas dan aktif dikemukakan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. Ia menyampaikan pidato bersejarah “Mendayung Antara Dua Karang” dengan mengambil contoh reposisi Indonesia dalam menghadapi perang dingin. Ia menyatakan “…mestikah kita bangsa Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara kita, hanya harus memilih antara pro-Rusia atau pro-Amerika ?”[2].
Sejumlah kalangan memahami usulan itu hanya dalam konteks back ground situasi yang dicontohkan Muhammad Hatta (reposisi terhadap perang dingin) dan tidak menelaahnya berdasarkan rujukan filisofis-yuridis yang dipakai. Maka tidak mengherankan jika pada era reformasi banyak pihak menilai prinsip politik bebas aktif itu tidak lagi relevan, karena perang dingin telah usai. Implikasi pergeseran pandangan itu menjadikan politik luar negeri Indonesia lebih pragmatis namun justru terjebak oleh cengkeraman skenario barat (AS, dalam pertempurannya melawan teroris) dan kepentingan ekonomi Jepang bahkan Cina)[3].
Dasar usulan Muhammad Hatta tentu saja paragrap keempat preambule UUD 1945 yang mengamanatkan tiga hal dalam pelaksanaan politik luar negeri, yaitu perjuangan pembebasan kolonialisme —baik hard colonialism maupun soft colonialism—, terciptanya perdamaian dunia dan terwujudnya keadilan sosial bagi masyarakat internasional[4]—. Pengertian prinsip “bebas aktif” seharusnya diderivasikan dari ketiga amanat tersebut. Bebas berarti tidak terikat terhadap kebijakan sebuah negara, blok tertentu ataupun agenda lembaga-lembaga internasional yang tidak sejalan dengan ketiga misi tersebut. Sedangkan aktif adalah inisiatif-kreatifnya untuk mewujudkan ketiga misi itu melalui forum-forum regional, internasional, maupun dalam kerangka jalinan hubungan bilateral dan multilateral. Dengan demikian sepanjang masih ada bentuk-bentuk kolonialisme, krisis perdamaian dan ketidakadilan dalam masyarakat internasional, maka prinsip bebas aktif masih relevan.
Presiden Soekarno mengimplementasikan amanat paragrap keempat UUD 1945 bertumpu pada reason of power (kekuatan gagasan) progresive revolusioner yang ditopang dengan kharismanya untuk menjadikan Indonesia sebagai motor penggerak pembebasan kolonialisme yang masih berlangsung di negara-negara Asia Afrika[5]. Ia hendak menjadikan Indonesia sebagai mercusuar kekuatan internasional dengan berenang diantara dua karang super power dunia (Blok Barat dan Blok Timur). Sesekali ia bermesraan dengan barat (hubungan eratnya dengan Kennedy, AS) dan pada saat tertentu ia meminjam kekuatan Blok Timur untuk menghantam barat (kemesraannya dengan Soviet dalam pembebasan Irian Barat dan kampannye Nasakom dalam rangka pembentukan poros Jakarta-Peking-Pyongyang). Permainan Soekarno tentu saja dibaca Comintern (Comunist International) sebagai upaya menyiapkan tepuk tangan bagi dirinya dan bukan secara sungguh-sungguh untuk mendukung agenda komunisme internasional. Langkah Soekarno dihentikan Comintern-Cina melalui kudeta PKI tahun 1965 yang sebenarnya dimaksudkan untuk memastikan agar kebijakan Indonesia —sebagai negara besar— benar-benar berada dalam satu garis atau dibawah kendali Comintern[6]. Kudeta PKI tahun 1965 juga bisa jadi merupakan cerminan ledakan persaingan antara gerakan Non Blok (GNB) yang dimotori Indonesia dengan kepentingan politik luar negeri Cina yang pada saat itu telah menjadi motor penggerak kekuatan Blok Timur.
Kegagalan Presiden Soekarno menjadi bahan pelajaran bagi Presiden Soeharto untuk melakukan evaluasi, khususnya dalam hal tumpuan kekuatan penyangga pelaksanaan politik luar negeri. Sebagai seorang yang kaya pengalaman militer, Presiden Soeharto menekankan pada kekuatan stabilitas internal (dalam negeri) sebagai pijakan. “Politik luar negeri tanpa dukungan kekuatan dalam negeri adalah sia-sia. Politik luar negeri Indonesia harus ditopang oleh stabilitas politik dan ekonomi”, itulah jawaban Presiden Soeharto ketika menjawab pertanyaan wartawan dalam perjalanan pulang dari kunjunganya ke Moskow tahun 1989[7]. Presiden Soeharto mengakui bahwa prinsip keberhasilan politik luar negeri harus berpijak pada kekuatan dalam negeri merupakan ajaran Bung Karno sendiri[8]. Selain menarik pelajaran dari kegagalan Presiden Soekarno, Presiden Soeharto tampaknya meletakkan tumpuan politik luar negeri pada konsepsi geostrategi Gajah Mada yang didasarkan pada Wawasan Nusantara skala makro. Sebuah strategi politik luar negeri yang diletakkan pada kendali stabilitas keseluruhan Nusantara yang terdiri dari wilayah inti (NKRI) maupun negara-negara lingkar dekat dan lingkar luar Nusantara.
Stabilitas dalam negeri dibangun melalui konsensus nasional yang diletakkan pada Pancasila sebagai road map idiologis dan diimplementasikan secara konsekuen. Saluran-saluran subversive diputus dan dikontrol ketat untuk tidak memiliki ruang gerak di Indonesia seperti dalam tindakan tegasnya terhadap bentuk-bentuk gerakan ekstrim kanan (obsesi pendirian negara agama di Indonesia), pembubabaran PKI beserta ormas-ormasnya serta pemutusan diplomatik dengan RRC. Pembubaran PKI bukan saja untuk mengakhiri kekacauan yang semakin memuncak, akibat tuntutan rakyat agar pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya tidak bisa ditahan lagi. Pembubaran PKI juga dimaksudkan untuk memutus saluran kepentingan eksternal (comintern) agar tidak lagi memiliki sarana melakukan dekonstruksi idiologis dan suprastruktur peradaban bangsa. Begitu pula dengan pembekuan hubungan diplomatik dengan RRC —yang dinilai turut berkonspirasi dalam kudeta 1965— merupakan upaya menutup saluran saluran formal diplomatik dari kepentingan subversive asing. Setelah anasir-anasir subversive itu bisa dikendalikan, hubungan diplomatik dengan RRC dibuka kembali (normalisasi) pada tahun 1980.
Stabilitas wilayah lingkar dekat Nusantara dibangun melalui pendekatan baru dengan tidak lagi memaksakan akuisisi fisik kedalam wilayah Indonesia sehingga konfrontasi dengan Malaysia —untuk memasukkan Kalimantan Utara kedalam teritori fisik Indonesia— segera diakhiri. Pendekatan ini memiliki rujukan historis dimana kesepakatan dalam sidang BPUPKI menyatakan wilayah Indonesia meliputi Hindia Belanda dan memberikan pilihan kepada wilayah Nusantara di luarnya untuk bergabung atau mandiri sebagai negara berdaulat[9]. Oleh karena itu keinginan Malaysia untuk merdeka perlu dihargai, namun harus bisa dikelola —dalam konteks hubungan antar negara berdaulat— agar tidak dijadikan sebagai pintu masuk kepentingan asing menghantam Indonesia. Presiden Soeharto juga memberikan dukungan kepada Lee Kuan Yew mengambil alih kepemimpinan Singapura dengan konsesi penghentian mafia perdagangan senjata ilegal ke Indonesia yang bermarkas ke Singapura. Komitmen Lee Kuan Yee itu pada akhirnya dapat memutus mata rantai suplai persenjataan ilegal kepada kelompok separatis di Indonesia dari broker-broker senjata yang berbasis atau beroperasi di Singapura.
Stabilitas lingkar luar Nusantara diwujudkan dengan pembentukan ASEAN hanya selang lima bulan dari pengangkatan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden oleh MPRS. Menlu Adam Malik dapat meyakinkan Thailand, Philipina, Singapura dan Malaysia bahwa Indonesia di bawah Orde Baru memiliki keinginan kuat dan komitmen untuk bersikap konstruktif terhadap eksistensi dan kedaulatan negara-negara tetangga. Ia juga berhasil meyakinkan bahwa Jenderal Soeharto sebagai pimpinan baru Indonesia tidak merepresentasikan kelompok militer yang agresif, namun memiliki komitmen tinggi dalam mewujudkan solidaritas negara-negara Asia Tenggara[10].
Pada tanggal 8 Agustus 1967, berhasil ditandatangani deklarasi Bangkok sebagai tonggak berdirinya ASEAN. Kelak dikemudian hari, Lee Kuan Yew mengakui prakarsa Indonesia yang didukung penuh Presiden Soeharto itu menjadikan wilayah Asia Tenggara relatif stabil dan terbebas dari konflik dalam masa yang panjang. Konsolidasi Asia Tenggara dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto mendorong Amerika meninggalkan Vietnam dan pangkalan lautnya di Subic Philipina. Harold Crouch seorang Indonesianist mengakui dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto, Indonesia tumbuh menjadi adikuasa regional dan sulit sekali bagi ASEAN untuk mengambil tindakan yang tidak dibenarkan oleh Indonesia[11].
Sebelum diangkat menjadi pejabat Presiden, —beberapa saat setelah memperoleh mandat sebagai pemegang Supersemar— Jenderal Soeharto mendukung kembalinya Indonesia dalam keanggotaan PBB[12]. Pengaktifan itu memiliki makna strategis untuk mendobrak isolasi internasional terhadap kepentingan Indonesia, khususnya dalam menggalang program bantuan ekonomi. Sama ketika mendengar adanya keputusan pembubaran PKI, pengaktifan keanggotaan RI dalam PBB mengundang kemarahan Presiden Soekarno, namun ia tidak melakukan langkah-langkah berarti karena keputusan itu didukung penuh Jenderal Soeharto[13].
Selain stabilitas politik dan keamanan, Presiden Soeharto juga menekankan pada stabilitas ekonomi sebagai pijakan politik luar negeri. Oleh karena itu sejak diangkat sebagai pejabat Presiden —selain fokus penyelenggaraan pemilu—- juga menekankan pada agenda-agenda pembangunan ekonomi. Agenda ini didukung oleh kreatifitas dan komitmen pemerintahannya menyelesaian utang-utang luar negeri ke sejumlah negarai Blok Barat mupun Timur sesuai jadwal yang disepakati. Penumpukan utang warisan Presiden Soekarno ini dahulunya lebih banyak dipergunakan untuk pengadaan persenjataan.
Untuk menggerakkan roda perekonomian Indonesia —-yang berantakan akibat inflasi 600 persen dalam era Demokrasi Terpimpin— pemerintahan Presiden Soeharto berhasil mengonsolidasi dukungan finansial dari kelompok negara-negara maju. Duta Besar Soedjatmoko —yang memiliki kedekatan pribadi dengan Robert McNamara, mantan Menteri Pertahanan AS dan kemudian menjadi Pimpinan Bank Dunia— berhasil menggalang terbentuknya group negara-negara sahabat untuk mendukung pembangunan melalui forum Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI). Group tersebut tidak saja menyediakan skema bantuan kepada pembangunan Indonesia, akan tetapi juga melakukan campaign pembentukan citra internasional bahwa Indonesia merupakan negara yang bersahabat.
Setelah mengukuhkan pijakannya atas kendali stabilitas keseluruhan Nusantara —dalam negeri Indonesia, negara-negara lingkar dekat dan lingkar luar Nusantara— Presiden Soeharto baru melancarkan politik luar negeri dalam skala lebih luas. Indonesia mulai proaktif dalam agenda pembebasan dunia dari bentuk-bentuk soft and hard colonialism, seperti dukungan penuhnya terhadap kemerdekaan Palestina. Ia juga mengarahkan politik luar negeri Indonesia untuk terlibat secara proaktif dalam proses-proses perdamaian seperti mediator penyelesai perang saudara di Kamboja, bantuan mediasi penyelesaian pemberontakan bangsa Moro Filipina dan fasilitasi serangkaian diskusi negara-negara yang mempunyai klaim-klaim teritorial tumpang tindih di Laut Cina Selatan serta dukungannya terhadap ummat Islam Bosnia. Indonesia juga proaktif dalam mengkonstribusikan pasukan bersenjatanya dalam misi-misi pemelihara perdamaian PBB sehingga reputasi tentara Indonesia memperoleh pengakuan internasional.
Upaya mewujudkan pranata internasional yang berkeadilan —khususnya dalam bidang ekonomi, perlindungan hukum dan HAM, sosial budaya serta pola relasi antar negara dan antar kawasan— tercermin dari upayanya merevitalisasi orientasi gerakan Non Blok di penghujung perang dingin, sehingga terpilih menjadi ketua gerakan ini pada tahun 1992. Indonesia juga menjadi tuan rumah pertemuan puncak Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) atau Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik di Bogor, November 1994. Wadah ini dibentuk atas prakarsa PM Australia Paul Keating dan keanggotaannya melibatkan AS dan bahkan Presiden Bill Clinton datang ke Bogor. Selain itu Indonesia juga aktif dalam forum Organisasi Konferensi Islam (OKI) maupun organisasi negara pengespor minyak (OPEC).
Politik luar negeri Indonesia pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto dinilai sejumlah kalangan terlalu cenderung ke Barat. Penilaian ini menegasikan ketegasan sikap Presiden Soeharto ketika menolak pengiriman pasukan untuk membantu Amerika Serikat dalam misinya di Vietnam pada tahun 1970-an. Walaupun anti komunis dan relatif mesra dengan barat, ia juga tidak pernah memutuskan hubungan diplomatik dengan Uni Soviet maupun Vietnam yang Komunis[14]. Bahkan ketika saluran-saluran potensi subversif telah berhasil dikendalikan, Pemerintah Presiden Soeharto melakukan rehabilitasi hubungan diplomatiknya dengan RRC (tahun 1980). Sikap tegas terhadap barat juga ditunjukkan ketika Jan Pronk —menteri Belanda bidang bantuan internasional— dalam kunjungan persiapan IGGI ke Indonesia menunjukkan sikap kecongkakannya dan mengusik masalah-masalah politik dalam negeri Indonesia. Presiden Soeharto mengambil keputusan drastis, memindahkan lokasi rapat tahunan IGGI dari Belanda ke Paris dan minta Bank Dunia sebagai moderator atau pengundang menggantikan Belanda[15].
Berdasar ilustrasi diatas, kunci keberhasilan politik luar negeri Indonesia pada era kepemimpinan Presiden Soeharto didasarkan pada kemampuannya dalam menyiapkan kekuatan tumpuan yang berpijak pada kendali stabilitas keseluruhan Nusantara (dalam negeri Indonesia, negara-negara lingkar dekat maupun lingkar luar Nusantara). Selain itu juga ditopang oleh kemampuannya dalam merumuskan kebijakan politik luar negeri yang secara konsisten sejalan dengan amanat UUD 1945, yaitu perjuangan pembebasan kolonialisme (baik dilakukan secara halus maupun terang-terangan), perjuangan terwujudnya ketertiban dan perdamaian dunia serta perjuangan terwujudnya keadilan sosial dalam tata pergaulan internasional.
Masalah kekuatan pijakan stabilitas dalam skala Nusantara dan konsistensinya terhadap visi idiologis politik luar negeri tampaknya menjadi jawaban, kenapa pada era reformasi kewibawaan Indonesia merosot dalam pergaulan internasional. Stabilitas dalam negeri Indonesia tidak sedang dalam kondisi baik. Begitu pula dengan soliditas negara-negara lingkar luar maupun lingkar dekat yang saat ini sedang merosot. Pada era reformasi, bargaining politik luar negeri Indonesia lebih bersifat pragmatis dan bertumpu pada iming-iming sebagai the emerging market sehingga sangat rentan ketika berhadapan dengan daya saing negara-negara lain yang lebih baik.
Kedepan, wawasan makro kenusantaraan perlu direaktualisasi sehingga soliditas negara-negara lingkar dekat dan lingkar luar Nusantara dapat dikonsolidasi untuk berada dalam satu kesatuan orientasi kebijakan pembangunan Peradaban Nusantara. Visi politik luar negeri Indonesia juga perlu dikembalikan pada amanat UUD 1945, yaitu perjuangkan pembebasan dunia dari soft and hard colonialism, perjuangan terwujudnya ketertiban dan perdamaian dunia serta perjuangan untuk terwujudnya keadilan sosial dalam pranata internasional, termasuk keadilan dalam interaksi perekonomian antar kawasan dan antar negara.
[1] Disarikan dari Bab VII, buku Politik Kenusantaraan
[2] Jurnasyanto Sukarno, “Diplomasi Indonesia dari Masa ke Masa”, http:// www. suarapembaruan.com/ News/ 2005/08/12
[3] Sebagai contoh adalah terlarutnya Indonesia dalam kampanye perang terhadap terorisme dan isu lingkungan sehingga melemahkan kritisismenya dalam memperjuangkan pembebasan dunia dari hard colonialism dan soft colonialism, terwujudnya perdamaian dunia dan keadilan sosial dalam masyarakat internasional.
[4] Keadilan sosial masyarakat internasional meliputi segenap aspek, termasuk keadilan HAM, ekonomi, politik maupun sosial budaya. Bentuk partisipasi bangsa Indonesia dalam mewujudkan keadilan sosial dalam masyarakat internasional termasuk dalam aspek-aspek tersebut perlu dirumuskan lebih tegas.
[5] Soekarno mengkampanyekan agar negara-negara di dunia bekerja sama menentang eksploitasi oleh negara-negara imperialis melalui wadah Gerakan Non-Blok. Gerakan itu didirikan pada tahun 1955 di Bandung oleh lima pemimpin dunia, yaitu Soekarno presiden Indonesia, Gamal Abdul Nasser presiden Mesir, Josep Broz Tito presiden Yugoslavia, Pandit Jawaharlal Nehru perdana menteri India, dan Kwame Nkrumah dari Ghana.
[6] Mari kita renungkan tiga hal berikut: (1) dokumen Gilchrist ternyata diskenariokan agen komunis yang bermarkas di Praha, (2) isu sakit permanennya Presiden Soekarno setelah memperoleh perawatan dokter-dokter komunis Cina (skenario politik Medis), (3) rencana pengasingan Soekarno ke Danau Angsa RRC pasca kudeta.
[7] Harian The Jakarta Post, Kamis 14 September 1989.
[8] Lihat dialog antara Presiden Soekarno dengan Mayjen Soekarno dalam “Wejangan Bapak Presiden Kepada Para Peserta Sarasehan Pembekalan Bagi Calon Anggota DPR-RI Periode 1997-2002 di Istana Negara”, Sekretariat Negara, 9 Agustus 1997, hlm. 29.
[9] Menteri Luar Negeri Adam Malik, beberapa tokoh militer (Ali Moertopo & Benny Moerdani) dan Des Alwi (karena kedekatan secara pribadi dengan pimpinan Malaysia) memiliki kontribusi dalam mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia. Jenderal Soeharto —sebagai pemegang mandat Supersemar— menghadiri upacara resmi di Departemen Luar Negeri, Pejambon, Jakarta, untuk secara formal mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia.
[10] Sabam Siagian, Politik Luar Negeri di Tangan Soeharto, http:// www.suarapembaruan.com/ 2005/ 08.
[11] Harold Crouch, Memandang Ke Barat Terperosok di Timur, http://majalah.tempointeraktif.com/ id/arsip/2008/02/04/LU/mbm.20080204.
[12] Melalui Sidang Umum PBB tahun 1966, Indonesia secara resmi bergabung kembali dalam keanggotaan PBB.
[13] Pergeseran dari kepemimpinan Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto merupakan cerminan strategi mendayung dua karang dalam menghadapi dinamika eksternal dan keputusan-keputusan Jenderal Soeharto di setujui secara diam-diam oleh Presiden Soekarno. Presiden Soekarno mengemukakan pernyataan-pernyataan terbuka menentang kebijakan Jendral Soeharto, namun tidak melakukan langkah-langkah yang bisa menghalangi kebijakan itu.
[14] Sikap ini sering disalahpahami sebagai bentuk pragmatisme politik luar negeri Presiden Soeharto. Sikap ini sebenarnya dapat dipahami dari sudut pandang budaya pluralisme di Indonesia yang dipegang amat kuat. Pada satu sisi menolak untuk dijadikan negara komunis karena tidak sejalan dengan idiologi masyarakat Nusantara dan menolak campur tangan komunis dalam urusan internal bangsa Indonesia. Namun Indonesia tetap menghargai kedaulatan negara lain yang berpaham komunis. Sikap ini identik dengan toleransi beragama di Indonesia. Pada satu sisi menolak dan akan sangat marah apabila dipaksa mengikuti paham keagamaan yang tidak diyakininya. Namun tidak menjadi soal dan tidak memusuhi kepada orang lain yang memiliki keyakinan berbeda. Jadi permusuhan itu terhadap sifat pemaksaan yang dilakukan dan bukan pada perbedaan keyakinan.
[15] Sabam Siagian, Op. Cite.
Penulis : Abdul Rohman