TRILOGI PEMBANGUNAN I
Stabilitas Keamanan : Antara Ketegasan dan Tindakan Otoriter
“Pers ramai menulis kematian misterius sejumlah orang dengan menyebutnya “penembakan misterius”, atau disingkatnya lagi dengan sebutan “petrus”. Kalangan cendekiawan dan juga di forum-forum internasional ada yang menyinggungnya, mengeksposnya. Dia tidak mengerti masalah sebenarnya.
Stabilitas Keamanan : Antara Ketegasan dan Tindakan Otoriter
“Pers ramai menulis kematian misterius sejumlah orang dengan menyebutnya “penembakan misterius”, atau disingkatnya lagi dengan sebutan “petrus”. Kalangan cendekiawan dan juga di forum-forum internasional ada yang menyinggungnya, mengeksposnya. Dia tidak mengerti masalah sebenarnya.
Kejadian
itu misterius juga tidak. Masalah sebenarnya didahului oleh ketakutan
yang dirasakan rakyat. Ancaman-ancaman yang datang dari orang-orang
jahat, perampok, pembunuh dan sebagainya. Seolah-olah ketenteraman di
negeri ini tidak ada. Yang ada seolah-olah hanya rasa takut saja.
Orang-orang jahat itu tidak hanya melanggar hukum, akan tetapi sudah
bertindak melebihi batas perikemanusiaan. Umpamanya saja orang tua sudah
dirampas kemudian masih dibunuh.
Perempuan
yang diambil kekayaannnya dan si istri orang lain itu masih juga di
perkosa oleh orang jahat itu di depan suaminya. Itu sudah keterlaluan.
Apa hal itu mau didiamkan saja?. Kita harus mengadakan treatment,
tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana?. Ya, harus dengan
kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor! Dor!
Begitu saja. Bukan !, tetapi yang melawan, ya, mau tidak mau harus
ditembak. Supaya, orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan
kejahatan masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Maka meredalah
kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu”.
Tindakan tegas Presiden Soeharto mewujudkan stabilitas Nasional —sebagaimana ditunjukkan dalam kasus Petrus— merupakan salah satu upayanya melakukan konsolidasi energi bangsa yang sebelumnya terpecah-pecah dalam dinamika dan kompetisi politis-pragmatis maupun konflik-konflik ideologis. Dalam suasana tanpa konsensus itu, bangsa ini —hingga 20 tahun merdeka— tidak segera bisa beranjak memanfaatkan jembatan emas kemerdekaan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mampu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, kegiatan-kegiatan pencerdasan kehidupan bangsa, dan turut serta mewujudkan ketertiban dunia sebagaimana diamanatkan UUD 1945.
Tindakan tegas Presiden Soeharto mewujudkan stabilitas Nasional —sebagaimana ditunjukkan dalam kasus Petrus— merupakan salah satu upayanya melakukan konsolidasi energi bangsa yang sebelumnya terpecah-pecah dalam dinamika dan kompetisi politis-pragmatis maupun konflik-konflik ideologis. Dalam suasana tanpa konsensus itu, bangsa ini —hingga 20 tahun merdeka— tidak segera bisa beranjak memanfaatkan jembatan emas kemerdekaan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mampu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, kegiatan-kegiatan pencerdasan kehidupan bangsa, dan turut serta mewujudkan ketertiban dunia sebagaimana diamanatkan UUD 1945.
Selain
mengembalikan setiap dinamika kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan
dalam kerangka ketaatan terhadap Pancasila sebagai road map idiologis,
Presiden Soeharto menghimpun energi semua komponen bangsa kedalam agenda
bersama yang diformulasikan dalam bentuk Trilogi Pembangunan. Sebuah
road map kemandirian bangsa yang diletakkan pada pilar stabilitas,
pembangunan di segala bidang —yang dilakukan oleh pemerintah dan segenap
rakyat— dan pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya kepada
seluruh rakyat.
“Tinggalkan
perdebatan-perdebatan yang tidak perlu. Saatnya bekerja, membangun
bangsa dalam semua aspek kehidupan. Kalau menginginkan bangsa ini
menjadi bangsa yang adil, makmur dan mandiri, energi semua komponen
bangsa harus dialokasikan untuk membangun. Semua penghalang pembangunan,
termasuk segala hal yang dapat memicu munculnya instabilitas bangsa
harus disingkirkan”. Itulah kira-kira makna pesan yang terangkum dalam
Trilogi Pembangunan, yaitu terwujudnya stabilitas politik dan keamanan,
pembangunan di segala aspek kehidupan dan pemerataan pembangunan beserta
hasil-hasilnya.
Apabila kita telaah secara mendalam, Trilogi Pembangunan itu tidak lain merupakan road map bagi bangsa Indonesia —yang digelorakan Presiden Soeharto— untuk mewujudkan tujuan negara sebagaimana amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Yaitu terwujudnya sebuah pemerintahan dalam negara Indonesia merdeka yang dapat melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mampu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mampu turut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan negara itu harus dicapai dalam koridor philosophische grondslag yang kita kenal bersama sebagai Pancasila.
Untuk mewujudkan tujuan negara, penyelenggara negara harus mampu menciptakan stabilitas agar semua energi komponen bangsa tidak terganggu oleh motif-motif destruktif sehingga dapat dialokasikan sebesar-besarnya untuk pencapaian tujuan itu. Pemerintah juga harus mampu mengelola energi semua komponen bangsa kearah tepat, yaitu pembangunan di segala bidang secara berkelanjutan dan bukannya terjebak kedalam konflik horisontal sehingga menelantarkan tujuan utama penyelenggaraan negara. Pembangunan itu sendiri harus dapat dirasakan oleh segenap rakyat sehingga pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya merupakan bagian tidak terpisahkan dari agenda pembangunan itu sendiri. Hanya dengan cara seperti itulah kemandirian bangsa dan peradaban Nusantara dapat diwujudkan sehingga keberadaannya tidak lagi menjadi halaman belakang dari peradaban dunia dan jerih payah perjuangan kemerdekaan tidak akan berakhir sia-sia.
Stabilitas nasional sendiri meliputi stabilitas keamanan, ekonomi dan politik. Bab Ini akan membahas stabilitas kemanan, untuk dapat melihat secara jernih perbedaan antara sikap tegas dan tindakan otoriter. Stabilitas Nasional bukan hanya merupakan prasyarat terselenggaranya pembangunan, akan tetapi merupakan amanat sila kedua Pancasila untuk terwujudnya “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”. Kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain dan resultan dari kebebasan masing-masing individu itu berupa pranata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkeadaban. Oleh karena itu merupakan kebenaran universal dan berlaku di kolong bumi manapun jika bentuk-bentuk tindakan yang tidak beradab —dalam aspek apapun— tidak bisa ditoleransi.
Indonesia telah mengikrarkan sebagai negara hukum dan oleh karena itu pembentukan masyarakat yang berkeadaban dikelola secara legal frame work atau berdasarkan pada kerangka hukum. Apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang disetujui rakyat (DPR), dimana rujukan filosofisnya disandarkan pada philosophische grondslag (Pancasila) dan UUD 1945. Oleh karena itu terbentuknya stabilitas nasional harus dikelola berdasarkan sistem hukum dan semua ketentuannya harus ditaati segenap elemen bangsa.
Stabilitas Keamanan: Antara Ketegasan dan Tindakan Otoriter
Terwujudnya stabilitas keamanan dalam masyarakat terkait erat dengan bekerja efektifnya sistem hukum dalam sebuah negara. Permasalahan tradisional yang selalu membelit efektifitas penegakan hukum adalah eksistensi hukum itu sendiri yang berlakunya tidak secara otomatis dan otonom, akan tetapi tergantung kepada kemampuan penyelenggara negara untuk menegakkannya. Efektifitas hukum bersandar pada empat pilar penegakan hukum, yaitu tersedianya peraturan perundang-undangan yang baik dan sejalan dengan komitmen spiritual masyarakatnya, profesionalisme aparat penegak hukum, tersedianya fasilitas penegakan hukum secara memadai dan kesadaran masyarakat untuk mematuhi semua peraturan hukum yang berlaku.
Peraturan perundang-undangan yang baik harus memenuhi empat syarat. Pertama, syarat yuridis dimana produk hukum tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi ataupun membuka ruang terjadinya konflik hukum yaitu pertentangan produk hukum yang satu dengan lainnya, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Kedua, syarat filosofis yaitu peraturan hukum harus sejalan dengan komitmen spiritual atau gemuruh suara batin masyarakat. Standar paling mudah dalam pemenuhan syarat filosofis ini adalah kesesuaiannya dengan nilai-nilai yang terkandung dalam philosophische grondslag (Pancasila) dan UUD 1945 selain aspirasi yang sedang berkembang dalam masyarakat. Ketiga, syarat sosiologis-historis yaitu peraturan hukum harus memperhatikan historical contex masyarakat atau obyek yang hendak diatur. Pengabaian aspek sosiologis dan historis juga dapat menyebabkan sebuah peraturan tidak dapat dilaksanakan secara baik. Keempat, perkembangan lingkungan strategis yang mana peraturan hukum harus mengakomodasi perkembangan atau perubahan jiwa zaman (geistgebodenheit).
Untuk dapat melahirkan peraturan perundang-undangan yang baik memerlukan —atau harus melibatkan— pelaku legislasi yang memahami keempat syarat diatas, sehingga dapat mengurangi kelemahan sebuah produk hukum yang dihasilkan. Kasus era reformasi adalah banyaknya peraturan perundang-undangan yang akhirnya di judicial review karena proses pembuatannya —bisa jadi— kurang mematuhi keempat syarat diatas. Begitu pula amandemen UUD 1945 yang secara filosofis mengalami berbagai distorsi (sebagaimana dibahas dalam bab 6) dan pengabaian aspek sosiologis-historis sehingga melahirkan konflik Yogya khususnya dalam penetapan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta[3]. Rumusan peraturan perundang-undangan yang baik juga harus memberikan kepastian hukum sehingga tidak memunculkan multi intepretasi yang dapat dimanfaatkan pengacara hitam untuk meloloskan client-nya dari jeratan hukum.
Penegakan hukum mutlak memerlukan profesionalisme penegak hukum (penguasaan aspek teknis penegakan hukum, kejujuran dan komitmenya dalam mewujudkan peradaban Nusantara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945) yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai. Penegakan hukum juga memerlukan komitmen masyarakatnya untuk secara disiplin mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terwujudnya kepatuhan hukum memerlukan edukasi publik sehingga memahami apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta konsekuensi tindakan tegas bagi para pelanggarnya.
Terlepas adanya keharusan pemenuhan keempat pilar diatas —undang-undang yang baik, profesionalisme penegak hukum, kepatuhan hukum masyarakat dan sarana-prasarana memadai— penegakan hukum selalu dihadapkan dengan fenomena-fenomena berikut:
Akselerasi Peraturan Perundang-Undangan
Undang-undang seringkali kalah cepat jika dibandingkan dengan perkembangan bentuk-bentuk atau modus operandi tindak kejahatan. Sebagai contoh adalah pada tahun 1990-an belum muncul cybercrime, akan tetapi pada tahun 2000-an korban-korban mulai berjatuhan. Sementara itu piranti perundang-undangan belum disiapkan dan aparat hukum belum memiliki kompetensi memadai untuk secara sigap mengantisipasinya. Begitu pula dengan kejahatan terorisme yang undang-undangnya juga harus disiapkan manakala aksi-aksi teror sudah menelan korban. Kasus pencurian uang melalui ATM juga sempat menghebohkan masyarakat yang pada akhirnya menjadi pekerjaan rumah baru bagi aparat hukum.
Konsolidasi Pelaku Tindak Kejahatan
Pelaku tindak kejahatan tidaklah bersifat statis dalam hal organisasi dan kemampuannya menguasai teknik-teknik kejahatan. Mereka selalu menempa dan mengorganisasi diri untuk dapat mengungguli atau meloloskan diri dari sistem hukum yang ada. Apabila aparat penegak hukum tidak dapat mengimbangi peningkatan penguasaan teknik dan organisasi tindak kejahatan, maka dapat dipastikan akan selalu kebobolan dan kalah cepat dengan aksi para pelaku tindak kejahatan. Modus-modus penyelundupan narkoba semakin hari semakin rapi dan menembus area luas. Pencurian kendaraan bermotor juga bukan lagi untuk konsumsi penadah dalam negeri, akan tetapi juga untuk di ekspor secara besar-besaran ke luar negeri (sebagaimana terungkap dalam kasus penyelundupan kendaraan bermotor curian ke Afrika yang terungkap di Tanjung Priok pada tahun 2010). Modus pembunuhan juga semakin meningkat seperti semakin familiarnya penggunaan senjata api dan kasus-kasus mutilasi yang agak merepotkan —memerlukan proses panjang— dalam menemukan pelakunya.
Intervensi Kelompok Kuat (Ekonomi dan Politik)
Hukum selalu lembek manakala berhadapan dengan kelompok kuat, baik secara politik maupun ekonomi. Elit politik hitam seringkali menggunakan kekuatan pengaruhnya dalam melemahkan kerja aparat hukum agar kejahatan yang dilakukannya terbebas dari jeratan hukum. Sedangkan kelompok ekonomi kuat menggunakan sumber daya ekonomi yang dimilikinya untuk membeli keadilan, mulai dari penyuapan aparat hukum, membayar pengacara hitam untuk mengaburkan bukti-bukti kejahatan atau membayar sindikat kejahatan agar dapat meloloskan diri dari kejaran —atau membuat keder— aparat hukum. Cara kerja kelompok kuat dalam melemahkan penegakan hukum —agar dapat meloloskan dirinya dari jeratan hukum— biasanya menggunakan cara-cara terorganisasi, sangat rapi dan sistematis. Kedua kelompok kuat ini (politisi dan pengusaha hitam) merupakan kontributor maraknya mafia peradilan yang selalu menjadi sorotan publik, namun keberadaannya tidak kunjung bisa diatasi.
Ketiga fenomena itu —lambatnya peraturan perundang-undangan mengantisiapsi perkembangan modus kejahatan, laju konsolidasi pelaku tindak kejahatan dan intervensi kelompok kuat— seringkali menyebabkan proses penegakan hukum mengalami kemacetan. Selain disebabkan oleh kekosongan hukum manakala modus kejahatan baru sudah bermunculan, kemacetan hukum juga disebabkan oleh lemahnya kemampuan penegak hukum dalam pembuktian formal pada saat berhadapan dengan tindak kejahatan yang dilakukan dengan cara-cara canggih dan sulit dibuktikan di muka pengadilan. Kerja aparat hukum semakin sulit manakala intervensi kelompok kuat menghalang-halangi kinerja aparat hukum. Apabila aparat penegak hukum tidak mampu mengantisipasi ketiga fenomena ini, maka kondisi negara akan terjerumus kedalam situasi seakan-akan tidak ada yang bisa mengatasi tindak kejahatan. Eksistensi pemerintah akan dianggap tidak ada, karena tidak mampu menegakkan keadilan maupun pranata yang berkeadaban dalam skala kebangsaan.
Mengacu argumentasi Presiden Soeharto sebagaimana tercermin dalam kasus Petrus juga dilatarbelakangi oleh adanya kebuntuan dalam penegakan hukum. Suatu kondisi dimana aparat hukum yang tersedia tidak dapat mengimbangi laju tindak kejahatan yang semakin marak dan meresahkan masyarakat. Penambahan jumlah dan peningkatan profesionalisme aparat serta pembenahan sarana prasarana penegakan hukum tentunya memerlukan proses, sementara rakyat terus menjadi korban tindak kejahatan. Presiden Soeharto kemudian menarik beban tanggung jawab pada pundak dirinya —- tidak menimpakan beban tanggung jawab kepada para aparat penegak hukum yang ada di bawahnya— dengan mendeklarasikan dan memimpin sendiri perang melawan kejahatan. Dengan menggunakan aparat kepolisian yang didukung satuan-satuan militer, ia melakukan pengejaran terhadap sindikat-sindikat kejahatan dan melakukan eksekusi kepada mereka yang melakukan perlawanan senjata. Kebijakan ini membuat shock pelaku kejahatan dan stabilitas keamanan dapat diwujudkan.
Tindakan tegas Presiden Soeharto telah mengundang kritikan banyak pihak dengan menudingnya sebagai pelanggar HAM karena dinilai melakukan eksekusi tanpa melalui proses peradilan. Para pengkritiknya tampaknya melupakan fakta bahwa praktek penegakan keamanan dalam negeri di negara yang mengklaim sebagai mercusuar demokrasipun (Amerika Serikat) memerlukan organ-organ super kuat semacam FBI yang bekerja lintas departemental dan sewaktu-waktu mengambil alih penanganan kasus tindak kejahatan manakala kerja aparat kepolisian mengalami kebuntuan. Organ ini tidak hanya dilengkapi dengan personil yang memiliki pemahaman luas terhadap teknis penegakan hukum dan perkembangan modus operandi tindak kejahatan, namun juga dibekali dengan kemampuan intelejen, penguasaan teknik militer serta peralatan canggih agar dapat menaklukkan penjahat-penjahat kakap. Bahkan hingga tahun 2011, FBI masih melakukan perang melawan sindikat mafia sebagaimana akhirnya dapat menangkap ratusan anggota sindikat itu di New Jersey.
Film-film Amerika juga gencar melakukan campaign dengan menggambarkan dilema penegak hukum manakala harus membunuh para penjahat sebelum menuai resiko dirinya terbunuh, setelah penegak hukum itu mengetahui adanya kejahatan akan tetapi gagal membuktikannya di pengadilan. Penggambaran pada film-film itu sebenarnya merupakan public campaign (kampanye publik) agar masyarakat memaklumi tugas berat aparat hukum yang kadangkala harus membunuh penjahat oleh suatu alasan membela diri.
Kritikan terhadap kebijakan stabilitas yang dilakukan Presiden Soeharto kemungkinan muncul dari kelompok-kelompok —dari dalam maupun luar negeri— yang tidak menginginkan Indonesia tumbuh menjadi negara kuat dan stabil. Mereka merupakan bagian dari kelompok kepentingan atau sindikat kejahatan —termasuk sayap-sayapnya dari kalangan politisi maupun pengusaha hitam— yang merasa dirugikan atau ruang geraknya menjadi sempit akibat kebijakan stabilitas. Kelompok ini kemudian melontarkan tudingan kepada Presiden Soeharto sebagai pemimpin otoriter dan pelanggar HAM agar kebijakan stabilitas yang ada di Indonesia didekonstruksi sedemikian rupa sehingga memberinya keleluasaan untuk melakukan tindak kejahatan.
Isu pelanggaran HAM yang dilontarkan secara serampangan tanpa verifikasi konteks dan batasan-batasannya[4] pada akhirnya menjadi senjata ampuh untuk mendekonstruksi kebijakan stabilitas di Indonesia. Sebagian masyarakat Indonesia juga ikut terlarut dengan isu itu dan gagal memisahkan antara tindakan Presiden Soeharto sebagai tindakan otoriter dengan ketegasannya sebagai pimpinan negara dalam mengatasi kemacetan cara-cara konvensional penegakan hukum. Kalangan ilmuwan juga tidak sedikit menjadi pendukung isu itu dengan mengabaikan bentangan jarak yang lebar antara teori-teori normatif penegakan hukum dengan realitas yang mengharuskan perlunya langkah-langkah ekstra ordinary dalam mengatasi kemacetan hukum.
Dampak dekonstruksi kebijakan stabilitas itu pada akhirnya terbukti pada era reformasi yang ditandai dengan maraknya tindak kejahatan dan gangguan keamanan. Masyarakat menjadi resah oleh munculnya beragam gangguan keamanan seperti maraknya ledakan bom, peningkatan tindak pidana maupun kekerasan antar warga. Kejadian tindak pidana mengalami peningkatan rata-rata 12,31% pertahun selama kurun waktu 2003-2009. Secara kuantitatif —dalam kurun waktu tersebut– tindak pidana mencapai rata-rata 279.383 kejadian pertahun. Risiko penduduk terkena (korban) tindak pidana selalu mengalami peningkatan pada setiap tahunnya dan meningkat tajam selama kurun waktu 2003-2009. Pada tahun 2003, resiko penduduk terkena tindak pidana mencapai 93 orang per seribu penduduk pertahun dan pada tahun 2009 telah meningkat mencapai 148 orang perseribu penduduk pertahun. Selang waktu kejadian juga semakin pendek antara kejadian tindak pidana yang satu dengan tindak pidana berikutnya. Pada tahun 2003 selang waktu kejadian berada dalam kisaran 160 menit atau setiap 160 menit terjadi tindak pidana di Indonesia. Selang waktu itu semakin pendek pada tahun 2009 menjadi hanya 91 menit atau setiap 91 menit terjadi tindak pidana di Indonesia.
Selain adanya peningkatan jumlah tindak pidana, pada era reformasi juga ditandai dengan maraknya aksi-aksi kekerasan massa (bentrok antar warga, bentrok antar suporter, kekerasan massa atas nama etnis dan agama) serta rentetan gangguan keamanan seperti ledakan bom, perampokan dan pencurian yang terus menerus terjadi. Peristiwa-peristiwa tersebut tidak hanya terjadi dalam sejumlah kawasan tertentu, akan tetapi meluas di seluruh wilayah Indonesia. Kekerasan ini juga marak mengiringi kalender politik seperti pemilu legislatif maupun pemilihan pimpinan-pinpinan daerah.
Data-data statistik peningkatan jumlah tindak pidana maupun gangguan keamanan sebagaimana dikemukakan diatas merupakan bukti adanya kemacetan dalam penegakan hukum. Pada saat buku ini ditulis, media juga masih ramai memberitakan kasus pembunuhan, pembobolan bank (kasus CIMB-Niaga), kekerasan antar warga, tawuran suporter maupun tawuran pelajar serta bobolnya rumah tahanan oleh kegesitan Gayus Tambunan (mafia pajak) keluar tahanan sebanyak 68 kali untuk melenggang ke Bali maupun luar negeri[5]. Fenomena itu telah memunculkan kesan publik bahwa pemerintah era reformasi telah benar-benar tidak berdaya menciptakan stabilitas dalam masyarakat. Sebuah situasi —sebagaimana ilustrasi Presiden Soeharto sebelum mengambil kebijakan Petrus— “seakan-akan tidak ada lagi yang bisa bertindak dan mengatasi tindak kejahatan” yang terjadi di negeri ini.
Menyikapi maraknya tindak pidana, gangguan keamanan dan lambatnya penyelesaian perkara oleh aparat hukum, sejumlah pihak —dari kalangan politisi maupun masyarakat— mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar dapat bertindak tegas untuk mengatasi kebuntuan hukum yang terjadi. Bahkan tidak sedikit kalangan menuding ketidaktegasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai bentuk pembiaran karena tidak adanya treatment dalam menghadapi proses penegakan hukum yang nyaris mengalami kemacetan. Desakan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mampu bertindak tegas dalam memberantas tindak kejahatan merupakan pengakuan terselubung bahwa tudingan yang ditujukan kepada Presiden Soeharto —tindakan tegasnya menegakkan stabilitas di Indonesia telah melewati batas, otoriter serta melanggar HAM— merupakan tudingan yang tidak berdasar.
Munculnya desakan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu merupakan bukti bahwa tudingannya kepada Presiden Soeharto selama ini merupakan tudingan serampangan dan tidak mengkalkulasi implikasinya terhadap stabilitas bangsa. Masyarakat mulai menyadari maraknya tindak pidana dan gangguan keamanan pada era reformasi tidak lain merupakan konsekuensi dekonstruksi secara membabi buta terhadap kebijakan stabilitas yang dicapai pemerintahan Presiden Soeharto[6]. Dekonstruksi itu harus dibayar mahal pada era reformasi dengan maraknya tindak pidana dan gangguan keamanan yang tidak kunjung bisa diatasi.
Kedepan perlu kebijakan tegas dalam bentuk ketersediaan peraturan perundang-undangan yang keberadaanya dapat menjadi perisai bagi Presiden untuk dapat secara leluasa mengatasi munculnya bentuk-bentuk instabilitas keamanan. Tanpa adanya pengaturan yang jelas, siapapun Presidennya akan tetap diliputi keragu-raguan bertindak, karena dihantui oleh trauma tudingan otoriter dan pelanggaran HAM sebagaimana dialami Presiden Soeharto.
Untuk tujuan ini, pemerintah dan DPR dapat menjabarkan Pasal 12 UUD 1945 yang menyatakan “Presiden menyatakan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang-Undang”. Selama ini intepretasi “negara dalam keadaan bahaya” kemungkinan hanya dipahami dalam konteks adanya serangan dari luar yang mengancam Indonesia. Pengertian “negara dalam keadaan bahaya” perlu ditafsirkan secara lebih jelas dalam berbagai konteks sesuai kondisi saat ini. Sebagai contoh adalah ‘apakah peningkatan jumlah tindak pidana sebesar 12% pertahun atau setara dengan 279.383 kejadian pertahun dapat dikategorikan sebagai negara dalam keadaan bahaya atau bukan?’. Seharusnya jumlah kejadian tindak pidana dalam jumlah ambang batas tertentu —dimana cara-cara konvensional tidak dapat menghentikannya— perlu dikategorikan sebagai “negara dalam keadaan bahaya”, sehingga dilakukan langkah-langkah khusus untuk menanganinya. Pengertian dalam keadaan bahaya juga bisa diterapkan dalam memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan pemaksaan evakuasi masyarakat di sekitar wilayah bencana. Keadaan bahaya nasional barangkali juga dapat diterapkan dalam menyikapi peningkatan jumlah korban kecelakaan transportasi yang terus meningkat dari tahun ke tahun, sehingga penyelesaiannya memerlukan treatment khusus dan tidak hanya mengandalkan cara-cara konvensional.
Apabila kita telaah secara mendalam, Trilogi Pembangunan itu tidak lain merupakan road map bagi bangsa Indonesia —yang digelorakan Presiden Soeharto— untuk mewujudkan tujuan negara sebagaimana amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Yaitu terwujudnya sebuah pemerintahan dalam negara Indonesia merdeka yang dapat melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mampu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mampu turut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan negara itu harus dicapai dalam koridor philosophische grondslag yang kita kenal bersama sebagai Pancasila.
Untuk mewujudkan tujuan negara, penyelenggara negara harus mampu menciptakan stabilitas agar semua energi komponen bangsa tidak terganggu oleh motif-motif destruktif sehingga dapat dialokasikan sebesar-besarnya untuk pencapaian tujuan itu. Pemerintah juga harus mampu mengelola energi semua komponen bangsa kearah tepat, yaitu pembangunan di segala bidang secara berkelanjutan dan bukannya terjebak kedalam konflik horisontal sehingga menelantarkan tujuan utama penyelenggaraan negara. Pembangunan itu sendiri harus dapat dirasakan oleh segenap rakyat sehingga pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya merupakan bagian tidak terpisahkan dari agenda pembangunan itu sendiri. Hanya dengan cara seperti itulah kemandirian bangsa dan peradaban Nusantara dapat diwujudkan sehingga keberadaannya tidak lagi menjadi halaman belakang dari peradaban dunia dan jerih payah perjuangan kemerdekaan tidak akan berakhir sia-sia.
Stabilitas nasional sendiri meliputi stabilitas keamanan, ekonomi dan politik. Bab Ini akan membahas stabilitas kemanan, untuk dapat melihat secara jernih perbedaan antara sikap tegas dan tindakan otoriter. Stabilitas Nasional bukan hanya merupakan prasyarat terselenggaranya pembangunan, akan tetapi merupakan amanat sila kedua Pancasila untuk terwujudnya “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”. Kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain dan resultan dari kebebasan masing-masing individu itu berupa pranata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkeadaban. Oleh karena itu merupakan kebenaran universal dan berlaku di kolong bumi manapun jika bentuk-bentuk tindakan yang tidak beradab —dalam aspek apapun— tidak bisa ditoleransi.
Indonesia telah mengikrarkan sebagai negara hukum dan oleh karena itu pembentukan masyarakat yang berkeadaban dikelola secara legal frame work atau berdasarkan pada kerangka hukum. Apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang disetujui rakyat (DPR), dimana rujukan filosofisnya disandarkan pada philosophische grondslag (Pancasila) dan UUD 1945. Oleh karena itu terbentuknya stabilitas nasional harus dikelola berdasarkan sistem hukum dan semua ketentuannya harus ditaati segenap elemen bangsa.
Stabilitas Keamanan: Antara Ketegasan dan Tindakan Otoriter
Terwujudnya stabilitas keamanan dalam masyarakat terkait erat dengan bekerja efektifnya sistem hukum dalam sebuah negara. Permasalahan tradisional yang selalu membelit efektifitas penegakan hukum adalah eksistensi hukum itu sendiri yang berlakunya tidak secara otomatis dan otonom, akan tetapi tergantung kepada kemampuan penyelenggara negara untuk menegakkannya. Efektifitas hukum bersandar pada empat pilar penegakan hukum, yaitu tersedianya peraturan perundang-undangan yang baik dan sejalan dengan komitmen spiritual masyarakatnya, profesionalisme aparat penegak hukum, tersedianya fasilitas penegakan hukum secara memadai dan kesadaran masyarakat untuk mematuhi semua peraturan hukum yang berlaku.
Peraturan perundang-undangan yang baik harus memenuhi empat syarat. Pertama, syarat yuridis dimana produk hukum tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi ataupun membuka ruang terjadinya konflik hukum yaitu pertentangan produk hukum yang satu dengan lainnya, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Kedua, syarat filosofis yaitu peraturan hukum harus sejalan dengan komitmen spiritual atau gemuruh suara batin masyarakat. Standar paling mudah dalam pemenuhan syarat filosofis ini adalah kesesuaiannya dengan nilai-nilai yang terkandung dalam philosophische grondslag (Pancasila) dan UUD 1945 selain aspirasi yang sedang berkembang dalam masyarakat. Ketiga, syarat sosiologis-historis yaitu peraturan hukum harus memperhatikan historical contex masyarakat atau obyek yang hendak diatur. Pengabaian aspek sosiologis dan historis juga dapat menyebabkan sebuah peraturan tidak dapat dilaksanakan secara baik. Keempat, perkembangan lingkungan strategis yang mana peraturan hukum harus mengakomodasi perkembangan atau perubahan jiwa zaman (geistgebodenheit).
Untuk dapat melahirkan peraturan perundang-undangan yang baik memerlukan —atau harus melibatkan— pelaku legislasi yang memahami keempat syarat diatas, sehingga dapat mengurangi kelemahan sebuah produk hukum yang dihasilkan. Kasus era reformasi adalah banyaknya peraturan perundang-undangan yang akhirnya di judicial review karena proses pembuatannya —bisa jadi— kurang mematuhi keempat syarat diatas. Begitu pula amandemen UUD 1945 yang secara filosofis mengalami berbagai distorsi (sebagaimana dibahas dalam bab 6) dan pengabaian aspek sosiologis-historis sehingga melahirkan konflik Yogya khususnya dalam penetapan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta[3]. Rumusan peraturan perundang-undangan yang baik juga harus memberikan kepastian hukum sehingga tidak memunculkan multi intepretasi yang dapat dimanfaatkan pengacara hitam untuk meloloskan client-nya dari jeratan hukum.
Penegakan hukum mutlak memerlukan profesionalisme penegak hukum (penguasaan aspek teknis penegakan hukum, kejujuran dan komitmenya dalam mewujudkan peradaban Nusantara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945) yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai. Penegakan hukum juga memerlukan komitmen masyarakatnya untuk secara disiplin mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terwujudnya kepatuhan hukum memerlukan edukasi publik sehingga memahami apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta konsekuensi tindakan tegas bagi para pelanggarnya.
Terlepas adanya keharusan pemenuhan keempat pilar diatas —undang-undang yang baik, profesionalisme penegak hukum, kepatuhan hukum masyarakat dan sarana-prasarana memadai— penegakan hukum selalu dihadapkan dengan fenomena-fenomena berikut:
Akselerasi Peraturan Perundang-Undangan
Undang-undang seringkali kalah cepat jika dibandingkan dengan perkembangan bentuk-bentuk atau modus operandi tindak kejahatan. Sebagai contoh adalah pada tahun 1990-an belum muncul cybercrime, akan tetapi pada tahun 2000-an korban-korban mulai berjatuhan. Sementara itu piranti perundang-undangan belum disiapkan dan aparat hukum belum memiliki kompetensi memadai untuk secara sigap mengantisipasinya. Begitu pula dengan kejahatan terorisme yang undang-undangnya juga harus disiapkan manakala aksi-aksi teror sudah menelan korban. Kasus pencurian uang melalui ATM juga sempat menghebohkan masyarakat yang pada akhirnya menjadi pekerjaan rumah baru bagi aparat hukum.
Konsolidasi Pelaku Tindak Kejahatan
Pelaku tindak kejahatan tidaklah bersifat statis dalam hal organisasi dan kemampuannya menguasai teknik-teknik kejahatan. Mereka selalu menempa dan mengorganisasi diri untuk dapat mengungguli atau meloloskan diri dari sistem hukum yang ada. Apabila aparat penegak hukum tidak dapat mengimbangi peningkatan penguasaan teknik dan organisasi tindak kejahatan, maka dapat dipastikan akan selalu kebobolan dan kalah cepat dengan aksi para pelaku tindak kejahatan. Modus-modus penyelundupan narkoba semakin hari semakin rapi dan menembus area luas. Pencurian kendaraan bermotor juga bukan lagi untuk konsumsi penadah dalam negeri, akan tetapi juga untuk di ekspor secara besar-besaran ke luar negeri (sebagaimana terungkap dalam kasus penyelundupan kendaraan bermotor curian ke Afrika yang terungkap di Tanjung Priok pada tahun 2010). Modus pembunuhan juga semakin meningkat seperti semakin familiarnya penggunaan senjata api dan kasus-kasus mutilasi yang agak merepotkan —memerlukan proses panjang— dalam menemukan pelakunya.
Intervensi Kelompok Kuat (Ekonomi dan Politik)
Hukum selalu lembek manakala berhadapan dengan kelompok kuat, baik secara politik maupun ekonomi. Elit politik hitam seringkali menggunakan kekuatan pengaruhnya dalam melemahkan kerja aparat hukum agar kejahatan yang dilakukannya terbebas dari jeratan hukum. Sedangkan kelompok ekonomi kuat menggunakan sumber daya ekonomi yang dimilikinya untuk membeli keadilan, mulai dari penyuapan aparat hukum, membayar pengacara hitam untuk mengaburkan bukti-bukti kejahatan atau membayar sindikat kejahatan agar dapat meloloskan diri dari kejaran —atau membuat keder— aparat hukum. Cara kerja kelompok kuat dalam melemahkan penegakan hukum —agar dapat meloloskan dirinya dari jeratan hukum— biasanya menggunakan cara-cara terorganisasi, sangat rapi dan sistematis. Kedua kelompok kuat ini (politisi dan pengusaha hitam) merupakan kontributor maraknya mafia peradilan yang selalu menjadi sorotan publik, namun keberadaannya tidak kunjung bisa diatasi.
Ketiga fenomena itu —lambatnya peraturan perundang-undangan mengantisiapsi perkembangan modus kejahatan, laju konsolidasi pelaku tindak kejahatan dan intervensi kelompok kuat— seringkali menyebabkan proses penegakan hukum mengalami kemacetan. Selain disebabkan oleh kekosongan hukum manakala modus kejahatan baru sudah bermunculan, kemacetan hukum juga disebabkan oleh lemahnya kemampuan penegak hukum dalam pembuktian formal pada saat berhadapan dengan tindak kejahatan yang dilakukan dengan cara-cara canggih dan sulit dibuktikan di muka pengadilan. Kerja aparat hukum semakin sulit manakala intervensi kelompok kuat menghalang-halangi kinerja aparat hukum. Apabila aparat penegak hukum tidak mampu mengantisipasi ketiga fenomena ini, maka kondisi negara akan terjerumus kedalam situasi seakan-akan tidak ada yang bisa mengatasi tindak kejahatan. Eksistensi pemerintah akan dianggap tidak ada, karena tidak mampu menegakkan keadilan maupun pranata yang berkeadaban dalam skala kebangsaan.
Mengacu argumentasi Presiden Soeharto sebagaimana tercermin dalam kasus Petrus juga dilatarbelakangi oleh adanya kebuntuan dalam penegakan hukum. Suatu kondisi dimana aparat hukum yang tersedia tidak dapat mengimbangi laju tindak kejahatan yang semakin marak dan meresahkan masyarakat. Penambahan jumlah dan peningkatan profesionalisme aparat serta pembenahan sarana prasarana penegakan hukum tentunya memerlukan proses, sementara rakyat terus menjadi korban tindak kejahatan. Presiden Soeharto kemudian menarik beban tanggung jawab pada pundak dirinya —- tidak menimpakan beban tanggung jawab kepada para aparat penegak hukum yang ada di bawahnya— dengan mendeklarasikan dan memimpin sendiri perang melawan kejahatan. Dengan menggunakan aparat kepolisian yang didukung satuan-satuan militer, ia melakukan pengejaran terhadap sindikat-sindikat kejahatan dan melakukan eksekusi kepada mereka yang melakukan perlawanan senjata. Kebijakan ini membuat shock pelaku kejahatan dan stabilitas keamanan dapat diwujudkan.
Tindakan tegas Presiden Soeharto telah mengundang kritikan banyak pihak dengan menudingnya sebagai pelanggar HAM karena dinilai melakukan eksekusi tanpa melalui proses peradilan. Para pengkritiknya tampaknya melupakan fakta bahwa praktek penegakan keamanan dalam negeri di negara yang mengklaim sebagai mercusuar demokrasipun (Amerika Serikat) memerlukan organ-organ super kuat semacam FBI yang bekerja lintas departemental dan sewaktu-waktu mengambil alih penanganan kasus tindak kejahatan manakala kerja aparat kepolisian mengalami kebuntuan. Organ ini tidak hanya dilengkapi dengan personil yang memiliki pemahaman luas terhadap teknis penegakan hukum dan perkembangan modus operandi tindak kejahatan, namun juga dibekali dengan kemampuan intelejen, penguasaan teknik militer serta peralatan canggih agar dapat menaklukkan penjahat-penjahat kakap. Bahkan hingga tahun 2011, FBI masih melakukan perang melawan sindikat mafia sebagaimana akhirnya dapat menangkap ratusan anggota sindikat itu di New Jersey.
Film-film Amerika juga gencar melakukan campaign dengan menggambarkan dilema penegak hukum manakala harus membunuh para penjahat sebelum menuai resiko dirinya terbunuh, setelah penegak hukum itu mengetahui adanya kejahatan akan tetapi gagal membuktikannya di pengadilan. Penggambaran pada film-film itu sebenarnya merupakan public campaign (kampanye publik) agar masyarakat memaklumi tugas berat aparat hukum yang kadangkala harus membunuh penjahat oleh suatu alasan membela diri.
Kritikan terhadap kebijakan stabilitas yang dilakukan Presiden Soeharto kemungkinan muncul dari kelompok-kelompok —dari dalam maupun luar negeri— yang tidak menginginkan Indonesia tumbuh menjadi negara kuat dan stabil. Mereka merupakan bagian dari kelompok kepentingan atau sindikat kejahatan —termasuk sayap-sayapnya dari kalangan politisi maupun pengusaha hitam— yang merasa dirugikan atau ruang geraknya menjadi sempit akibat kebijakan stabilitas. Kelompok ini kemudian melontarkan tudingan kepada Presiden Soeharto sebagai pemimpin otoriter dan pelanggar HAM agar kebijakan stabilitas yang ada di Indonesia didekonstruksi sedemikian rupa sehingga memberinya keleluasaan untuk melakukan tindak kejahatan.
Isu pelanggaran HAM yang dilontarkan secara serampangan tanpa verifikasi konteks dan batasan-batasannya[4] pada akhirnya menjadi senjata ampuh untuk mendekonstruksi kebijakan stabilitas di Indonesia. Sebagian masyarakat Indonesia juga ikut terlarut dengan isu itu dan gagal memisahkan antara tindakan Presiden Soeharto sebagai tindakan otoriter dengan ketegasannya sebagai pimpinan negara dalam mengatasi kemacetan cara-cara konvensional penegakan hukum. Kalangan ilmuwan juga tidak sedikit menjadi pendukung isu itu dengan mengabaikan bentangan jarak yang lebar antara teori-teori normatif penegakan hukum dengan realitas yang mengharuskan perlunya langkah-langkah ekstra ordinary dalam mengatasi kemacetan hukum.
Dampak dekonstruksi kebijakan stabilitas itu pada akhirnya terbukti pada era reformasi yang ditandai dengan maraknya tindak kejahatan dan gangguan keamanan. Masyarakat menjadi resah oleh munculnya beragam gangguan keamanan seperti maraknya ledakan bom, peningkatan tindak pidana maupun kekerasan antar warga. Kejadian tindak pidana mengalami peningkatan rata-rata 12,31% pertahun selama kurun waktu 2003-2009. Secara kuantitatif —dalam kurun waktu tersebut– tindak pidana mencapai rata-rata 279.383 kejadian pertahun. Risiko penduduk terkena (korban) tindak pidana selalu mengalami peningkatan pada setiap tahunnya dan meningkat tajam selama kurun waktu 2003-2009. Pada tahun 2003, resiko penduduk terkena tindak pidana mencapai 93 orang per seribu penduduk pertahun dan pada tahun 2009 telah meningkat mencapai 148 orang perseribu penduduk pertahun. Selang waktu kejadian juga semakin pendek antara kejadian tindak pidana yang satu dengan tindak pidana berikutnya. Pada tahun 2003 selang waktu kejadian berada dalam kisaran 160 menit atau setiap 160 menit terjadi tindak pidana di Indonesia. Selang waktu itu semakin pendek pada tahun 2009 menjadi hanya 91 menit atau setiap 91 menit terjadi tindak pidana di Indonesia.
Selain adanya peningkatan jumlah tindak pidana, pada era reformasi juga ditandai dengan maraknya aksi-aksi kekerasan massa (bentrok antar warga, bentrok antar suporter, kekerasan massa atas nama etnis dan agama) serta rentetan gangguan keamanan seperti ledakan bom, perampokan dan pencurian yang terus menerus terjadi. Peristiwa-peristiwa tersebut tidak hanya terjadi dalam sejumlah kawasan tertentu, akan tetapi meluas di seluruh wilayah Indonesia. Kekerasan ini juga marak mengiringi kalender politik seperti pemilu legislatif maupun pemilihan pimpinan-pinpinan daerah.
Data-data statistik peningkatan jumlah tindak pidana maupun gangguan keamanan sebagaimana dikemukakan diatas merupakan bukti adanya kemacetan dalam penegakan hukum. Pada saat buku ini ditulis, media juga masih ramai memberitakan kasus pembunuhan, pembobolan bank (kasus CIMB-Niaga), kekerasan antar warga, tawuran suporter maupun tawuran pelajar serta bobolnya rumah tahanan oleh kegesitan Gayus Tambunan (mafia pajak) keluar tahanan sebanyak 68 kali untuk melenggang ke Bali maupun luar negeri[5]. Fenomena itu telah memunculkan kesan publik bahwa pemerintah era reformasi telah benar-benar tidak berdaya menciptakan stabilitas dalam masyarakat. Sebuah situasi —sebagaimana ilustrasi Presiden Soeharto sebelum mengambil kebijakan Petrus— “seakan-akan tidak ada lagi yang bisa bertindak dan mengatasi tindak kejahatan” yang terjadi di negeri ini.
Menyikapi maraknya tindak pidana, gangguan keamanan dan lambatnya penyelesaian perkara oleh aparat hukum, sejumlah pihak —dari kalangan politisi maupun masyarakat— mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar dapat bertindak tegas untuk mengatasi kebuntuan hukum yang terjadi. Bahkan tidak sedikit kalangan menuding ketidaktegasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai bentuk pembiaran karena tidak adanya treatment dalam menghadapi proses penegakan hukum yang nyaris mengalami kemacetan. Desakan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mampu bertindak tegas dalam memberantas tindak kejahatan merupakan pengakuan terselubung bahwa tudingan yang ditujukan kepada Presiden Soeharto —tindakan tegasnya menegakkan stabilitas di Indonesia telah melewati batas, otoriter serta melanggar HAM— merupakan tudingan yang tidak berdasar.
Munculnya desakan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu merupakan bukti bahwa tudingannya kepada Presiden Soeharto selama ini merupakan tudingan serampangan dan tidak mengkalkulasi implikasinya terhadap stabilitas bangsa. Masyarakat mulai menyadari maraknya tindak pidana dan gangguan keamanan pada era reformasi tidak lain merupakan konsekuensi dekonstruksi secara membabi buta terhadap kebijakan stabilitas yang dicapai pemerintahan Presiden Soeharto[6]. Dekonstruksi itu harus dibayar mahal pada era reformasi dengan maraknya tindak pidana dan gangguan keamanan yang tidak kunjung bisa diatasi.
Kedepan perlu kebijakan tegas dalam bentuk ketersediaan peraturan perundang-undangan yang keberadaanya dapat menjadi perisai bagi Presiden untuk dapat secara leluasa mengatasi munculnya bentuk-bentuk instabilitas keamanan. Tanpa adanya pengaturan yang jelas, siapapun Presidennya akan tetap diliputi keragu-raguan bertindak, karena dihantui oleh trauma tudingan otoriter dan pelanggaran HAM sebagaimana dialami Presiden Soeharto.
Untuk tujuan ini, pemerintah dan DPR dapat menjabarkan Pasal 12 UUD 1945 yang menyatakan “Presiden menyatakan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang-Undang”. Selama ini intepretasi “negara dalam keadaan bahaya” kemungkinan hanya dipahami dalam konteks adanya serangan dari luar yang mengancam Indonesia. Pengertian “negara dalam keadaan bahaya” perlu ditafsirkan secara lebih jelas dalam berbagai konteks sesuai kondisi saat ini. Sebagai contoh adalah ‘apakah peningkatan jumlah tindak pidana sebesar 12% pertahun atau setara dengan 279.383 kejadian pertahun dapat dikategorikan sebagai negara dalam keadaan bahaya atau bukan?’. Seharusnya jumlah kejadian tindak pidana dalam jumlah ambang batas tertentu —dimana cara-cara konvensional tidak dapat menghentikannya— perlu dikategorikan sebagai “negara dalam keadaan bahaya”, sehingga dilakukan langkah-langkah khusus untuk menanganinya. Pengertian dalam keadaan bahaya juga bisa diterapkan dalam memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan pemaksaan evakuasi masyarakat di sekitar wilayah bencana. Keadaan bahaya nasional barangkali juga dapat diterapkan dalam menyikapi peningkatan jumlah korban kecelakaan transportasi yang terus meningkat dari tahun ke tahun, sehingga penyelesaiannya memerlukan treatment khusus dan tidak hanya mengandalkan cara-cara konvensional.
- Disarikan dari buku Politik Kenusantaraan
- Penjelasan Presiden Soeharto seputar kebijakannya menegakkan stabilitas keamanan, khususnya kasus Petrus. Sebagaimana dikutip dalam G. Dwipayana dan Ramadhan KH, Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 1989), hlm 389-391.
- Salah satu keistimewaan Yoyakarta adalam penetapan secara otomatis Sri Sultan sebagai Gubernur dan Pakualam sebagai Wakil Gubernur. Namaun Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 (Amandemen II) menyatakan “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis. Amandemen terhadap pasal ini yang tidak memperhatikan historical contexs menyebabkan rakyat Yogya berhadap-hadapan dengan pemerintah pusat.
- Bahwa tindakan tegas Presiden Soeharto dalam menegakkan stabilitas dilatarbelakangi oleh kebuntuan cara-cara konvensional dalam penegakan hukum.
- Kerinduan masyarakat terhadap suasana stabil sebagaimana era Presiden Soeharto juga diserap penulis melalui dept interview yang dilakukan terhadap para sopir taksi di Jakarta selama tahun 2008 s/d 2010 dan wawancara kepada sejumlah masyarakat daerah pada kurun waktu tersebut. Berdasarkan wawancara yang dilakukan tidak dalam suasana formal itu juga diketahui semakin meningkatnya beban biaya hidup masyarakat, karena pendapatannya tidak lagi mampu mengcover kebutuhan berbagai kebutuhan hidup. Melonjaknya harga-harga menyebabkan penurunan nilai uang sehingga para sopir taksi tidak lagi mampu saving seperti pada era kepemimpinan Presiden Soeharto.
- Sebuah kebijakan tegas tanpa kompromi dan jika perlu memanfaatkan segala alat keamanan yang ada untuk menindak berbagai macam potensi Hambatan Tantangan Aancaman dan Gangguan (HTAG) baik dari luar maupun dari dalam.