Setelah bertemu Presiden Kroasia Franjo Tudjman, di Zagreb pada tahun 1995, Presiden Soeharto meminta pamit untuk melanjutkan perjalanan ke Bosnia Herzegovina. Padahal sebelumnya, pesawat yang ditumpangi Utusan Khusus PBB, Yasusi Akashi ditembak saat terbang ke Bosnia, walaupun tidak menimbulkan korban. Ketika penerbangan ke Sarajevo itu oleh PBB dipersyaratkan pernyataan risiko, Presiden Soeharto langsung meminta formulir kepada Sjafrie Sjamsoeddin, Komandan Grup A Pasukan Pengaman Presiden, dan langsung menandatangani surat itu tanpa ragu. Ketika Sjafri membawakan helm dan rompi anti peluru, Presiden Soeharto malah meminta Safrie untuk nyangking (menenteng) dan menyimpannya di Museum Purna Bakti Pertiwi Taman Mini Indonesia Indah.
Setelah mendarat di Sarajevo Presiden Soeharto juga tidak gentar ketika melewati Sniper Valley, tempat yang dipenuhi penembak jitu dari kedua belah pihak yang sedang berperang. Presiden Soeharto akhirnya bisa menemui Presiden Bosnia Herzegovina, Alija Izetbegovic, dan melakukan perbincangan satu setengah jam. Praktis selama perjalanan dan pertemuan itu memakan waktu enam jam.
Ketika ditanyakan oleh Sjafrie kenapa harus datang ke Sarajevo dalam suasana kritis, di bawah desingan peluru dan suara tembakan terdengar dimana-mana, Presiden Soeharto hanya menjawab enteng. Bahwa Indonesia merupakan pimpinan Negara Non Blok, akan tetapi tidak memiliki uang untuk membantu negara yang berkonflik, karena sama-sama negara berkembang dan karena itu perlu datang untuk memberi dukungan moril. “Ada negara anggota kita susah, kita tidak bisa membantu dengan uang, ya kita datang, kita tengok”, jawabnya. Ketika dikatyakan oleh Sjafri bahwa perjalanan ini risikonya besar, Presiden Soeharto juga menjawab dengan enteng. “Ya itu kita bisa kendalikan. Yang penting orang yang kita datangi merasa senang, morilnya naik, mereka menjadi tambah semangat”. Indonesia memang perlu pemimpin berani seperti Presiden Soeharto.