Orang pernah ramai bicara mengenai korupsi. Di tahun 1973 Ketua IGGI Menteri J.P. Pronk datang di Jakarta. Para mahasiswa bicara dengannya mengenai soal korupsi. lalu kegiatan para mahasiswa itu bermuara pada yang disebut “Malari” di bulan Januari 1974.
Sebenarnya soal korupsi ini pun sudah digugat di zaman Orde Lama.
Sekitar tahun 1970 para mahasiswa pernah mengadakan demonstrasi dan menempel-nempelkan poster di jalan-jalan di Jakarta, di mobil-mobil, dan di bus-bus, menuntut pemberantasan korupsi.
Surat-surat kabar tertentu gencar pula menghantam korupsi.
Lalu para mahasiswa itu membentuk “Komite Anti Korupsi” (KAK). Saya mengadakan dialog langsung dengan mahasiswa-mahasiswa itu, baik di rumah di Jalan Cendana, maupun di Istana Negara.
Sekian tahun setelah itu seorang tokoh dari KAK itu mengakui bahwa reaksi pemerintah, termasuk reaksi saya, terhadap pernyataan KAK itu positif.
Memang, kita pernah berusaha keras dalam hal ini. Beberapa macam aparat untuk memberantas korupsi itu sempat kita bentuk.
Sebelumnya kita sudah punya Badan Pengawas keuangan, aparat kita untuk menyelidiki kesalahan-kesalahan dalam pemakaian uang negara. Lalu saya bentuk pada permulaan 1966 Pengatur Keuangan Negara (Pekuneg) yang fungsinya mengumpulkan bahan-bahan tentang kesalahan-kesalahan yang dituduhkan atas anggota-anggota pemerintah lama —waktu itu— seperti Jusuf Muda Dalam dan Chaerul Saleh. Kita berhasil mendapatkan kembali dana-dana tidak tetap yang disimpan oleh orang-orang yang bersalah, baik yang disimpannya di Indonesia maupun di luar negeri.
Setelah sebentar berhenti, lalu Pekuneg itu kita aktifkan kembali di bulan April 1967, waktu masyarakat gelisah mengenai beberapa pejabat tinggi yang dituduh melakukan korupsi. Ada beberapa pegawai tinggi dan jenderal yang diajukan ke pengadilan waktu itu dan dijatuhi hukuman.
Saya pernah mengangkat Team Pemberantasan Korupsi di bulan Desember 1967, di bawah pimpinan Jaksa Agung Sugiharto dan beranggotakan beberapa wartawan dan wakil-wakil dari Kesatuan-kesatuan Aksi. Pemeriksaan dilakukan, dan ada yang diadili serta dikenakan hukuman di tahun 1968.
Pada bulan Januari 1970 terjadi demonstrasi mahasiswa itu. Saya menanggapi langsung tuntutan mahasiswa itu dengan membentuk “Komisi Empat” pada akhir Januari 1970, diketuai oleh tokoh politik dari PNI Wilopo dan anggota-anggotanya terdiri atas pemimpin Partai Katolik I.J. Kasimo, bekas rektor Gajah mada Johannes, dan tokoh politik dari PSII Anwar Tjokroaminoto. Bekas Wakil Presiden Mohammad Hatta duduk menjadi penasehatnya. mayor Jenderal Sutopo Juwono jadi sekretarisnya. Semua itu tokoh-tokoh yang dipercayai kebersihannya.
Komisi itu sempat menyerahkan serangkaian rekomendasi kepada pemerintah, antara lain mengenai Pertamina, Bulog dan penanaman modal asing dalam bidang kehutanan dan administrasi pada umumnya.
Terhadap rekomendasi itu saya mengeluarkan keputusan, meminta agar para pejabat menyerahkan daftar kekayaan mereka kepada saya. Dan secara terbuka saya memberikan penegasan waktu itu tentang peranan asisten-asisten pribadi saya, yakni bahwa mereka tidak mempunyai kekuasaan eksekutif.
Lalu kita sahkan suatu undang-undang anti-korupsi dan undang-undang yang mengatur kegiatan-kegiatan Pertamina.
Pada bulan Juli 1970 ada pegawai tinggi yang diadili.
Saya teliti data-data itu. Kejaksaan Agung bekerja keras.
Di depan Sidang Paripurna DPR, sehari sebelum HUT Kemerdekaan 1970 saya bicara mengenai ini. Saya jelaskan bahwa kasus-kasus di mana cukup terdapat bukti-bukti pelanggaran hukum telah dibawa ke pengadilan.
Saya punya keyakinan, seperti sudah saya kemukakan pada tahun 1970, bahwa adanya korupsi di negeri kita bukanlah karena mental yang korup, melainkan akibat dari tekanan-tekanan ekonomi. jadi kita harus menghilangkan sebab utamanya lebih dahulu. Dalam jangka panjang, kalau pembangunan ekonomi telah mencapai standar hidup yang tinggi, pegawai-pegawai negeri akan menerima pendapatan yang cukup dan tidak perlu lagi melakukan korupsi.
Mengenai korupsi itu sendiri, jelas, korupsi itu merupakan satu penyakit yang melekat pada tindakan-tindakan yang bertanggung jawab di mata hukum. Tidak ada satu bangsa atau pemerintah yang membenarkan korupsi. Tidak ada. Selama tindakan itu dikatakan korupsi, sekalipun dengan dalih untuk menolong rakyat, itu tidak dibenarkan. Korupsi itu adalah mengambil yang bukan haknya untuk kepentingan diri sendiri. Terhadapnya harus diambil tindakan. Saya rasa, sudah banyak usaha yang kita lakukan untuk membendung dan memberantas korupsi di negeri ini. Yang kita lakukan bukan saja tindakan represif tetapi juga preventif.
Banyak tindakan preventif yang sudah kita lakukan. Misalnya manajemen yang efektif. Mengatur fungsi rencana. Mengatur pelaksanaan yang benar dan melaksanakan kontrol terhadapnya. Ini merupakan salah satu laras preventif untuk mencegah supaya personil yang ditempatkan dalam organisasi atau badan itu tidak menyalahgunakan kedudukannya, tidak mengambil yang bukan haknya untuk kepentingan dirinya sendiri.
Lalu, terhadap langkah yang salah juga kita lakukan teguran. Lebih jauh lagi, diambil tindakan.
Di dunia ini tidak ada yang membenarkan korupsi. Tidak ada. Dalam pengertian yang sebenarnya, tidak akan ada yang membenarkan korupsi itu.
Korupsi sebagai issue politik memang paling ampuh, mudah sekali diterima rakyat. Selama ada pertentangan politik menuju perebutan kekuasaan, isu korupsi selalu akan muncul di permukaan. Kita harus waspada menghadapinya, tanpa mengurangi usaha untuk mencegah dan memberantas korupsi itu sendiri.
***
[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip langsung dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal. 250