Panglima TT-IV Kolonel Gatot Soebroto mengubah susunan brigade yang tadinya delapan buah menjadi lima buah, yakni Brigade N di Slawi dengan komandannya Letkol. M. Bachrum, Brigade O di Yogyakarta, berkekuatan 7 batalyon yang diserahkan pimpinannya kepada saya, bermarkas di Yogyakarta. Brigade P di Solo diserahkan kepada Mayor Suharto. Brigade Q di Salatiga diserahkan kepada Letkol. A. Yani, dan Brigade R di Pati diserahkan kepada Letkol. M. Sarbini.
Dalam periode ini, selama lima tahun, yakni dari mulai September 1950 waktu diserahi memimpin Brigade O di Yogyakarta, sampai pada permulaan tahun 1956, salah satu kesibukan yang terkenang oleh saya adalah mengenai penumpasan gerombolan DII/TII dan penyelesaian pemberontakan Batalyon 426.
Kartosuwirjo dengan anak buahnya mendirikan apa yang disebut “Negara Islam Indonesia” di bulan Agustus 1949. “Persetujuan Renville” yang menyebabkan hijrahnya kurang-lebih 35.000 pasukan TNI ke daerah RI, mengakibatkan gerombolan DII/TII di Jawa Barat bertambah kuat. Amir Fatah menyusun kekuatan di daerah Tegal-Brebes. Kembalinya pasukan yang hijrah ke tempat asalnya pada waktu terjadi agresi Belanda yang kedua malahan ditentang oleh gerombolan DI/TII, bahkan diserangnya.
Sewaktu saya diserahi tugas memimpin Brigade O yang kemudian diubah menjadi “Brigade Pangeran Mangkubumi” di Yogya, kami mendapat kegembiraan yang istimewa. Anak kami yang kedua, laki laki yang kami nanti-nantikan lahir pada tanggal 1 Mei 1951. Kami beri nama dia Sigit Harjojudanto.
Lalu saya dipindahkan ke Salatiga, diserahi memimpin “Brigade Pragola I”, di bawah pimpinan Letkol. A. Yani. “Brigade Pragola II” dipimpin oleh Letkol. Sarbini. Dua brigade ini kemudian menjadi satu brigade dengan nama Brigade Pragola. Kekuatan brigade ini terdiri atas sembilan batalyon, tiga batalyon TNI asli, tiga batalyon bekas KNIL, dan tiga batalyon bekas lasykar Hisbullah, dan Batalyon Maladi Jusuf bekas Pesindo (beraliran kiri).
Saya ditugasi untuk menyusun 9 batalyon menjadi 4 batalyon. Betapa sulitnya tugas itu ! Bukan karena teknisnya, melainkan faktor psikologislah yang mempersulit, yakni harus mengorbankan banyak perwira. Rupanya Tuhan memberi jalan, karena ternyata salah satu batalyon ialah Batalyon 426 yang dipimpin oleh Mayor Munawar dan wakilnya Kapten Sofjan memberontak. Dalam menghadapi dan menyelesaikan pemberontakan Batalyon 426 ini saya dapat melakukan seleksi secara alamiah.
Pada minggu keempat bulan Januari 1950, terjadi peristiwa APRA[2] di Bandung. Sementara itu di Jawa Tengah mulai dilakukan dengan lebih sungguh-sungguh penumpasan terhadap DI/TII, dengan pembentukan Gerakan Benteng Nasional (GBN). Dengan itu, Panglima TT-IV menetapkan ketegasannya, harus memisahkan gerombolan DI/TII pimpinan Amir Fatah dari gerombolan DI/TII Kartosuwirjo, yang kemudian menghancurkannya sama sekali, serta membersihkan sel-selnya yang masih ada di daerah-daerahnya. Operasi penumpasan gerombolan ini ternyata memakan waktu panjang.
Di bulan Desember 1951 terjadi pemberontakan Batalyon Infantri 426. Mayor TII Mughny tertembak, dan dari kematiannya terungkap hubungan rahasia antara beberapa perwira Batalyon 423 dan 426 dengan DII/TII. Dengan peristiwa ini Panglima TT-IV bertindak tegas. Beberapa perwira Batalyon 423, termasuk komandannya Mayor Basuno segera diperiksa, dan sewaktu pemeriksaan itu Mayor Basuno ditembak anak buahnya sendiri yang sudah kena pengaruh DI/TII. Mayor Basuno ditembak di rumahnya sendiri di Jatingaleh, Semarang. Berikutnya, Komandan Batalyon 426, Mayor Munawar,.Kapten Sofjan, dan seorang perwira lain dipanggil menghadap Panglima. Ternyata Kapten Sofjan membangkang dan malahan menyatakan “siap perang”.
Lalu saya perintahkan kepada Batalyon 424 untuk melucuti tiga kompi dari Batalyon 426 di Kudus, setelah Kapten Sofjan tetap melawan perintah untuk menyerahkan diri. Pada tanggal 8 Desember 1951, Batalyon 424 mengepung asrama Jatikudus. Kapten Sofjan yang dikepung meminta waktu sepuluh menit untuk mengumpulkan anak buahnya, dengan janji akan taat. Ternyata yang terjadi kebalikannya: anak buah Kapten Sofjan melepaskan tembakan dengan berbagai senapan dan terjadilah pertempuran sengit.
Rupanya Kapten Sofjan dan anak buahnya sudah membuat rencana yang matang. Mereka dapat lolos dari pengepungan Batalyon 424, lari melalui selokan yang ada di belakang asrama di tengah hujan lebat. Diketahui, pihak yang dikejar itu lari menuju daerah Klaten, tempat yang sudah dipersiapkan oleh pengikut-pengikutnya untuk dijadikan basis pemberontak. Maka kemudian saya mengatur pasukan-pasukan yang saya perintah untuk mengejar dan menghadang pembangkang-pembangkang itu.
Sementara itu Panglima TT-IV membentuk satuan tugas Operasi Merdeka Timur V (OMT-V); pada permulaannya yang jadi komandannya ialah Letkol. M. Bachrum, Kepala Staf TT-IV. Tidak lama kemudian, Letkol. M. Bachrum diangkat menjadi Panglima TT IV, menggantikan Pak Gatot. Pimpinan OMT-V diserahkan kepada saya.
Sebagai wakil saya adalah Mayor Suharto, Komandan Brigade Panembahan Senopati, dan Kepala Staf kami ialah Mayor Surono. Maka pengejaran terhadap pemberontak-pemberontak itu kami lakukan secara terpadu. Juga Angkatan Udara RI kami minta bantuannya. Batalyon 426 masih terus saja lari, lolos dari kepungan, dan sempat mengelabui beberapa pihak yang sesungguhnya sudah bisa rnenangkapnya. Kapten Sofjan dengan anak buahnya berusaha menerobos ke daerah Klaten.
Ternyata mereka memusatkan kekuatan mereka di Simo-Boyolali. Maka kami kejar mereka untuk menggempurnya. Pada tanggal 25 Januari 1952, terjadi pertempuran hebat. Empat puluh pemberontak mati, lebih dari dua puluh orang dari pihak lawan kena peluru kita dan lebih dari tiga . puluh pemberontak itu tertangkap. Pemberontak melarikan diri ke timur sampai tapal batas Jawa Timur. Akhirnya mereka kembali melalui Tawangmangu, Karangpandan, Wuryantoro, Manyaran terus ke Klaten. Di daerah Manyaran, Kapten Sofjan, pemimpin pemberontak, mati berduel dengan Sersan Bardjo (oleh teman-temannya diberi nama Umar Moyo). Sisa anak buah Sofjan lari ke Klaten dan sebagian dapat ditumpas. Yang masih selamat melarikan diri ke barat, bergabung dengan DI/TII di Bumiayu.
Akhirnya pemberontakan Batalyon 426 itu dapat kami tumpas. Tetapi dari pihak kita juga gugur banyak pahlawan yang setia kepada TNI, beberapa perwira, termasuk Mayor Kusmanto, Komandan Brigade, Mayor Sunarjo, Komandan Batalyon 417. Dengan selesainya penumpasan pemberontakan Batalyon 426 itu, konsolidasi Brigade Pragola dapat dilaksanakan dengan mudah tanpa menimbulkan gejolak dan empat batalyon yang tangguh dapat disusun. Brigade Pragola ini kemudian berubah menjadi Resimen 14.
Sementara itu terjadi lagi perubahan nama dan susunan organisasi TT-IV. Instruksi KSAD tertanggal 5 Januari 1952 menetapkan, Brigade Pragola yang saya pimpin menjadi Resimen Infantri 14 (RI 14) dengan kedudukan di Salatiga. Brigade Yudonegoro menjadi Resimen Infantri 12 (RI 12) di Purwokerto. Brigade Pangeran Mangkubumi menjadi Resimen Infantri 13 (RI 13) di Yogyakarta dan Brigade Panembahan Senopati di Solo menjadi Resimen 15 (RI 15).
Pada waktu itu, sewaktu menjadi Komandan Resimen 14 di Salatiga, saya menerima kabar bahwa ayah saya, Bapak Kertosudiro, meninggal dunia di Kemusuk karena sakit. Cepat saya bersama istri pergi ke Kemusuk. Beruntunglah, kami masih sempat bisa melihat jenazahnya yang sudah dimandikan. Maka kemudian kami mengantarkan jenazah ayah yang saya hormati itu ke makam di desa itu. Semoga arwahnya diterima di sisi Tuhan.
Pada tanggal 1 Maret 1953, saya dipindahkan ke Solo menjadi Komandan Resimen Infantri 15. Dan pada waktu itu, kami dititipi satu anak lagi, seorang laki-laki, anak kami yang ketiga yang kami beri nama Bambang Trihatmodjo. Ia lahir pada tanggal 23 Juli 1953, dalam suasana yang sudah agak tenang dari tugas pengejaran gerombolan.
Panglima TI-IV sudah beralih dari Kolonel. Gatot Soebroto kepada Kolonel M. Bachrum, yang terjadi di bulan September 1952. Maka penumpasan terhadap DI/TII diteruskan oleh GBN dengan operasi Guntur. Komandan operasi pada waktu itu Letkol. A. Yani dengan kekuatan empat batalyon, diperkuat oleh batalyon-batalyon dari resimen lainnya secara bergantian. Lalu dibentuklah “Banteng Raiders” sebagai satuan penggempur khusus. Pasukan ini dilatih di Purworejo untuk bisa bertempur dalam segala medan dengan mobilitas yang tinggi.
Dalam memperlancar operasi GBN itu, dengan tujuan menghancurkan pengaruh DI/TII, memelihara kepercayaan penduduk kepada pemerintah RI dan aparatnya, serta menanamkan rasa pasti menang dalam menghadapi kekacauan, diikutsertakanlah rakyat. Maka dibentuklah Organisasi Perlawanan Rakyat (OPR) di daerah GBN, yang mendapat pembinaan dan latihan dari TNI, untuk menjaga keamanan kampung dan juga dalam membantu melaksanakan tugas operasi.
Kekuatan DI/TII mengalami kehancuran dengan adanya operasi Guntur dan operasi GBN itu. Pertempuran yang terjadi di bulan November 1952 di Sumedo dan di Cipelem pada bulan yang sama, membuat gerombolan itu morat-marit. Ratusan anggota DI/TII menjadi korban dalam kedua pertempuran itu. Lalu sisanya terus lari dengan siasat “ayam alas”, taktik gerilya. Maka operasi TNI pun kita ubah. Operasi Guntur dihentikan dan dilancarkan operasi teritorial hingga tertumpasnya sisa DI/TII itu.
Pada masa itu dilaksanakan konsolidasi Resimen 15. Mayor Kusmanto, Pejabat Komandan Resimen 15, gugur pada waktu operasi penumpasan pemberontakan Batalyon 426. Setelah saya berhasil menumpas pemberontakan Batalyon 426 dan mengkonsolidasi resimen 14 (ex. Brigade Pragola) saya alami kejatuhan sampur lagi, memperoleh tugas memperbaiki Resimen 15 yang berkedudukan di Surakarta. Karena itu, walaupun belum lama berada di Salatiga, saya harus pindah ke Solo.
Resimen 15 di Solo itu tadinya adalah satuan-satuan dari Divisi Panembahan Senopati dengan panglimanya Kolonel Sutarto yang terbunuh oleh unsur komunis, karena pertentangan politik. Pengaruh pertentangan politik karena ideologi, memang hebat sekali di Solo, dan berpengaruh pula pada satuan-satuan ABRI.
Batalyon Digdo yang bermarkas di Kleco memperoleh pendidikan politik dari tokoh PKI Alimin, di antaranya Untung dan Suradi, yang kemudian pada tahun 1965 mempimpin G.30.S/PKI. Karena itu, tidak sulit bagi saya untuk menerka siapa yang berada di belakang G.30.S/ PKI, setelah saya mendengar siaran lewat radio bahwa yang memimpin gerakan itu adalah Untung.
Saya ingat, sebagian perwira Resimen 15 berpendapat, bahwa perwira harus berpolitik; bila tidak, diibaratkan seperti “kip zonder kop” (ayam tanpa kepala). Akibatnya, daya tempur satuannya rendah, dan setiap ditugasi di GBN menghadapi DII/TII, korbannya banyak.
Saya ditugasi untuk meningkatkan kemampuan tempur itu. Apa yang harus saya lakukan? Sasaran dan perencanaan tidak ada. Latihan dan pendidikan belum berjalan pada waktu itu. Saya tempuh jalan mendidik instruktur dulu. Semua bintara instruktur dari kompi-kompi saya kumpulkan dan saya latih sendiri, dengan bantuan perwira operasi batalyon dan resimen. Latihannya berat. Pertama kali saya menggunakan peluru tajam untuk latihan, “vuur doop“. Hasilnya membanggakan. Mereka menjadi instruktur yang tangguh untuk melatih batalyon demi batalyon. Batalyon demi batalyon secara bergiliran dilatih. Caranya, pada mulanya setiap batalyon dipecah. Komandan peleton ke atas dilatih tersendiri. Komandan regu dilatih tersendiri pula. Prajuritnya juga dilatih tersendiri. Setelah masingmasing selesai dilatih oleh para instruktur, baru mereka digabungkan dalam peleton dan kompi untuk dilatih dalam hubungan batalyon. Walaupun tidak mempunyai ruangan kelas, meja dan papan tulis melainkan hanya dengan alat-alat tulis yang sederhana, cukup di-emper dan di bawah pohon bila melaksanakan pelajaran teori, hasilnya cukup membesarkan hati. Semua batalyon jadinya memiliki teknik dan taktik bertempur lebih sempurna, lebih percaya pada kemampuannya sendiri dan lebih berhasil dalam melaksanakan tugas GBN, menumpas DII/TII.
*
Dalam pada itu, di bulan Oktober 1952 di Jakarta terjadi suatu peristiwa yang kemudian disebut “Peristiwa 17 Oktober 1952″. Saya sama sekali tidak mengerti peristiwa apa itu sebenarnya, sementara saya sibuk dengan menghadapi pemberontakan. Kemudian saya dengardengar, bahwa akibatnya adalah permusuhan antara Siliwangi dengan Brawijaya, dan kemudian lagi Diponegoro bisa menengahi kedua belah pihak dan mendamaikan mereka.
Melihat peristiwanya, saya pikir, telah terjadi sesuatu yang terlalu “over acting“. Dengan meriam yang dihadapkan ke Istana, saya kira, itu tidak taktis. Katanya, mereka yang pergi ke Istana itu bermaksud ingin menyampaikan sesuatu kepada Presiden, Panglima Tertinggi Tetapi dengan cara begitu, dengan menghadapkan senjata yang begitu besar ke Istana, adalah tindakan yang berlebihan. Sebetulnya dengan bersiap saja, siap menghadapi kemungkinan yang terjadi, sudah cukup.
Dalam waktu-waktu itu, sementara saya sibuk dengan menghadapi soal gerombolan, terjadi hal-hal yang penting, yang tidak bisa kita lewatkan begitu saja. Konferensi Asia-Afrika terlaksana di bulan April 1955 di Bandung. Dan di bulan September terlaksana pemilihan umum yang pertama. ltu merupakan kesibukan tersendiri, tetapi masih tidak lepas dari penanganan saya pribadi.
***
[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal 82-88.
[2] Angkatan Perang Ratu Adil, bentukan Westerling