Kelangkaan daging sapi mengancam kebijakan swasembada sapi pada 2014. Mengapa sulit sekali Indonesia berswasembada sapi?
DI INDONESIA, persoalan sapi saja bisa membuat banyak orang pening. Pasalnya, beberapa pekan terakhir daging sapi langka di pasar. Kontan, harganya pun melonjak tajam. Di Jakarta, misalnya, harga daging sapi per kilogram dari Rp. 70.000 naik menjadi Rp. 85.000 hingga Rp. 90.000.
Tingginya harga membuat konsumen di tingkat rumah tangga enggan membeli daging sapi dan memilih mengonsumsi daging ayam atau ikan. Padahal tingkat rata-rata per kapita konsumsi daging sapi Indonesia paling rendah di Asia Tenggara: cuma 2 kilogram per tahun. Akibatnya, pasar lesu dan pedagang pun buntung.
Kalangan importir daging sapi dan sapi bakalan, yang didominasi korporasi bermodal jumbo, juga berteriak. Mereka menuntut Pemerintah menambah kuota impor daging sapi. Maklum, Pemerintah memang memangkas kuota impor cukup radikal: dari 100.000 ton daging sapi menjadi 34.000 ton.
Sementara itu, Pemerintah jadi bimbang. Tekad mencapai swasembada sapi pada 2014 dengan menekan impor daging sapi hanya pada kisaran 13,83 persen dari kebutuhan nasional seakan mulai dilupakan. Pemerintah mulai tergiur memperbesar keran kuota impor sapi. Peternak sapi nasional pun mewanti-wanti agar Pemerintah tetap konsisten dengan kebijakan swasembada sapi. Jika kuota impor sapi ditambah, maka hasil peternakan mereka bakal tak terserap oleh pasar.
Sebagai catatan, pada 2012 Kementerian Pertanian memperkirakan kebutuhan daging sapi mencapai 484.070 ton. Kebutuhan tersebut dipenuhi oleh produk dalam negeri sebesar 399.320 ton (82,49 persen) dan produk impor sebesar 84.740 ton (17,51 persen). Produk impor terdiri dari impor daging beku sebesar 33.970 ton dan 282.596 ekor sapi bakalan yang menghasilkan daging setara 50.830 ton.
Nah, persoalan lain muncul. Menteri Pertanian Suswono mengatakan bahwa meskipun Indonesia akan memangkas kuota impor daging sapi hingga 32.000 ton pada 2013, impor sapi bakalan malah bakal meningkat menjadi 288.000 ekor. Padahal pada tahun ini Indonesia berhasil memangkas impor sapi bakalan dari sekitar 400.000 ekor hingga 282.596 ekor. Lantas, sudah lupakah Pemerintah dengan program swasembada sapi pada 2014.
Persoalan impor sapi bakalan sangat erat terkait dengan kepentingan Australia. Sebab, nyaris 100 persen impor sapi berasal dari sana. Indonesia seakan sudah cinta mati dengan sapi asal Negeri Kanguru itu. Kebiasaan lama mengimpor sapi dari Australia kerap dituding telah menghambat upaya budidaya sapi di dalam negeri.
Ketergantungan akut kepada Australia dalam soal sapi ini tak ayal kerap berdampak buruk. Tahun lalu, Australia memblokade ekspor sapi ke Indonesia. Sebabnya, sebuah video menayangkan kebiadaban di rumah jagal Indonesia. Banyak orang menilai Australia sedang melancarkan perang dagang. Mereka konon kecewa dengan kebijakan swasembada sapi Indoensia.
Tapi Canberra salah kalkulasi. Blokade malah lebih menyakitkan kalangan peternak sapi Australia. Dalam hitungan bulan, setidaknya 274.000 sapi di seputaran Darwin terlantar dan saat yang sama, nilai ekspor terpangkas separuh dari awalnya US$ 300 juta per tahun. Indonesia membalas blokade dengan memangkas kuota impor. Australia jadi pecundang. Canberra mencabut sendiri blokade. Apalagi DPR kemudian mengisyaratkan akan menutup total impor sapi dari Australia dan menggantikannya dengan impor dari India dan Brazil.
Mencari alternatif sapi impor dari negara lain, seperti India dan Brazil, sebenarnya sudah lama dilakukan. Tapi sayang, sejumlah kalangan mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan. Mereka menggugat aturan yang membolehkan impor sapi berdasarkan zona dan berhasil. Akibatnya, Indonesia tak punya celah mengimpor sapi dari negara selain Australia. Sebab, impor harus berdasarkan negara sedangkan India dan Brazil belum mendapatkan status bebas penyakit kuku dan mulut meskipun beberapa zona di kedua negara itu sudah bebas dari penyakit tersebut.
Australia dikabarkan tak akan pernah rela jika ada pemain lain dalam perdagangan sapi di Indonesia. Bukan apa-apa, mereka sudah keluar banyak uang pada era 1980-an untuk membantu Indonesia terbebas dari penyakit kaki dan mulut.
Lantas mengapa Indonesia terus bergantung kepada Australia? Padahal, data Sensus Sapi 2011 menunjukkan bahwa populasi sapi di Indonesia mencapai 14,8 juta ekor. Jika konsumsi daging sapi 2 kilogram per kapita dan sekitar 200 kilogram daging per sapi yang dapat dikonsumsi, maka Indonesia membutuh 350.000 hingga 400.000 ekor per tahun. Artinya, bukankah Indonesia bisa mencukupi kebutuhan daging sapi sendiri alias swasembada?
Fakta di lapangan, tidak semua populasi sapi itu berupa stok aktif sapi potong. Itu karena sekitar 4,6 juta peternak lokal menyimpan 3 ekor sebagai investasi. Pemerintah jelas harus melakukan survei lanjutan yang mengukur stok aktif siap potong. Ini harus dilakukan di setiap kabupaten sehingga neraca pasokan dan kebutuhan daging sapi dapat diestimasi secara lebih akurat.
Selain itu, untuk mewujudkan tekad swasembada sapi pada 2014, pakar pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin menyarankan agar Pemerintah melakukan langkah-langkah berikut.
Pertama, penyediaan sapi bakalan dari dalam negeri lewat pengembangan breeding farm secara sistematis dengan landasan akademik memadai. Kemampuan teknis para pemulia ternak dan praktisi peternakan di dalam negeri sudah sangat mumpuni. Pemerintah hanya perlu memberi dukungan penuh bagi peternak dalam negeri, termasuk skala kecil dan menengah, dengan menyediakan akses permodalan dan pembiayaan bagi peternak yang mampu melakukan pembibitan. Penyediaan program Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) saja tidak cukup. Perlu pendampingan spartan dan pengawalan di tingkat lapangan.
Kedua, Pemerintah perlu mendorong sektor perbankan agar serius dalam melaksanakan penyaluran KUPS. Di sini diperlukan kerja sama lebih erat dengan petugas teknis peternakan, saling memahami tugas dan tanggung jawab masing-masing. Di tingkat politis, anggota DPR bersama Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan Kementerian Pertanian wajib mencari titik temu pembahasan skema pembiayaan dan asuransi pertanian dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Ketiga, Pemerintah harus meningkatkan produktivitas dan memperbaiki reproduktivitas ternak sapi lokal, dengan dukungan bimbingan teknis dan ekonomis kepada peternak, serta pemberian insentif dan fasilitasi ekonomi yang memadai kepada mereka. Apabila BUMN secara serius berminat melakukan usaha penggemukan sapi, melalui integrasi dengan kebun sawit, misalnya, hal itu perlu melibatkan kaum profesional peternakan yang telah teruji keandalannya.
Jika semua itu dilakukan, maka swasembada sapi pada 2014 tak akan sulit dicapai dan sapi pun tak akan selalu membuat bangsa ini pusing tujuh keliling.[]
Sumber: Jejak Langkah, Harian Pelita, 7 Desember 2012