Krisis politik yang mengiringi krisis ekonomi tahun 1998 yang berujung pada pengunduran diri Presiden Soeharto sebenarnya tidak sesederhana pemahaman kebanyakan orang selama ini. Kebanyakan menteorikan pengunduran diri Presiden Soeharto sebagai tuntutan perubahan rezim akibat perilaku korup dan otoriter orde baru di bawah Kepemimpinan Presiden Soeharto. Tidak banyak memahami bahwa krisis politik itu sebenarnya merupakan skenario besar untuk memenggal agenda tinggal landas dan penumbangan Presiden Soeharto merupakan rute paling pendek menguasai aset-aset strategis Indonesia. Ketika berada dalam kekacauan politik itu, Presiden Soeharto menempatkan diri sebagai negarawan dimana ia tidak ingin mengulangi kesalahan rezim Cina melalui peristiwa Tianamen dengan banyak korban jiwa.
Secara umum, krisis politik tahun 1998 merupakan pertemuan lima kelompok kepentingan besar yang sama-sama mengusung agenda pengendalian masa depan Indonesia paska kepemimpinan Presiden Soeharto. Pertama, kelompok-kelompok kepentingan internasional dengan agenda pengendalian potensi-potensi strategis dan sumberdaya ekonomi Indonesia. Kedua, para simpatisan PKI yang sedang memperoleh momentum memperbaiki nama baik dalam percaturan perpolitikan bangsa. Ketiga, kalangan pragmatis yang tidak ingin tersingkir dalam tatanan masa depan Indonesia paska kepemimpinan Presiden Soeharto. Keempat, kalangan reformis yang mengusung agenda perubahan sistem perpolitikan bangsa kearah demokratisasi dan desentralisasi penyelenggaraan pembangunan. Kelima, agenda Presiden Soeharto untuk memastikan penanganan krisis ekonomi tidak terganggu oleh krisis politik yang dapat menyebabkan terputusnya agenda tinggal landas beserta capaian-capaiannya. Ketiga kelompok kepentingan pertama menjadikan pencitraan dan stigmatisasi negatif terhadap pribadi Presiden Soeharto sebagai proyek issue agar keberadaanya segera diterima, bersisiran dan berbaur dengan gerakan reformasi yang tengah berlangsung di Indonesia. Terhadap pertalian ketiga kelompok kepentingan besar yang bersisiran dengan gerakan reformasi dan berhadapan dengan cita-cita tinggal landas itu dikemukakan telaah berikut:
Pengendalian Sumberdaya Ekonomi
Presiden Soeharto memprediksikan salah satu implikasi globalisasi yang harus diantisipasi adalah adanya instrumentasi ekonomi untuk tujuan pengendalian suatu negara oleh negara lain. Perang dingin telah berakhir dan konfrontasi fisik dengan teknologi persenjataan perang tidak lagi populer untuk memenangkan pengaruh suatu negara terhadap kawasan maupun negara tertentu. Penguasaan atau pengendalian sumberdaya ekonomi oleh suatu negara atau kelompok kepentingan multi nasional terhadap negara atau kawasan lain akan menjadi instrumen baru dalam memenangkan perebutan pengaruh. Presiden Soeharto juga memprediksikan bergesernya tatanan dunia bipolar —Blok Timur yang dikomando Soviet versus Blok Barat yang dikomando Amerika Serikat— akibat usainya perang dingin, oleh empat pemain dominan baru, yaitu Cina, Rusia, Amerika Serikat dan Dunia Islam.
Dalam arus pergeseran tata dunia baru itu Indonesia disinyalir merupakan kandidat kuat wakil dunia Islam. Prediksi atas kemunculan Indonesia didasarkan atas posisi unik sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar, mampu menjalin komunikasi dengan peradaban barat secara harmonis, memiliki limpahan potensi sumber daya alam dan mulai mampu mengembangkan industri-industri strategis berbasis high tech. Selain merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar, Indonesia juga menempati posisi keempat penduduk terbesar dunia, setelah Cina, India dan Amerika serikat. Keunikan dan potensi besar Indonesia —-sebagai kandidat pemain kuat dalam percaturan internasional— menjelang krisis politik tahun 1998 didukung fakta-fakta berikut:
a. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Yang Mengesankan dan Konsisten
Selama lebih 30 tahun kepemimpinannya, Pak Harto berhasil membawa Indonesia kedalam pertumbuhan ekonomi rata-rata 7,5% pertahun. Panjang usia harapan (life expectancy) meningkat tajam dari 56 tahun pada tahun 1966 menjadi 71 tahun pada tahun 1990. Proporsi penduduk yang hidup dalam kemiskinan absolute menurun tajam dari 60% pada tahun 1966 menjadi 14% pada tahun 1990. Investasi meningkat tajam, tabungan domestik cukup tinggi dan usaha pertanian tumbuh cepat sehingga mencapai swasembada pada tahun 1984. Inflasi dapat dipertahankan dibawah 10%, rata-rata defisit neraca berjalan mencapai 2,5% dan cadangan devisa dipertahankan mendekati jumlah kebutuhan impor kurang lebih 5 bulan. Selama 7 tahun —antara tahun 1983 sampai tahun 1990—, ekspor non migas telah tumbuh rata-rata diatas 20% pertahun dan ekspor barang-barang manufaktur tumbuh 30% setiap tahunnya.
Apabila kondisi ini tidak mengalami distorsi dan krisis tahun 1997-1998, kekuatan ekonomi Indonesia pada tahun 2005 memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Indonesia masuk kelompok 20 negara terbesar di dunia.
- Proporsi produksi pertanian dalam PDB relatif menurun digantikan peningkatan proporsi manufaktur, walaupun secara absolut produksi pertanian meningkat.
- Separuh penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan sebagai akibat investasi perkotaan dan pertimbangan perlindungan lingkungan serta lahan pertanian.
- Pendapatan buruh meningkat secepat peningkatan PDB perkapita dan pertumbuhan luar Jawa akan lebih pesat.
- Ekspor tumbuh cepat melalui sistem perdagangan dan investasi menggantikan peranan pinjaman luar negeri.
- Pertumbuhan modal dan ketrampilan SDM menghasilkan pertumbuhan teknologi secara alami.
- Pendapatan dan lapangan kerja tumbuh secara cepat dan merata.
Sri Hadi, Phd, dalam bukunya berjudul “Mengenang Prestasi Ekonomi Indonesia 1966-1990-an”, memprediksikan apabila pertumbuhan tersebut dapat dipertahankan secara konstan selama 50 tahun —selama dua kali Pembangunan Jangka Panjang/PJP dan tidak terdistorsi pada tahun 1997—, posisi Indonesia akan setara dengan negara maju pada tahun 2019/2020. Pada tahun 1997, Indonesia sedang memulai tahapan Pelita (pembangunan lima tahun) tahap II dari skenario Pembangunan Jangka Panjang II (tinggal landas) yang dasar-dasarnya telah dibangun selama PJP I.
b. Pengembangan Industri Strategis Indonesia
Indonesia mulai mampu mengembangkan industri-industri strategis meliputi IPTN (industri kedirgantaraan), PT. PAL (industri perkapalan) dan PT Pindad (industri persenjataan). Kemampuan ini menjadi pertanda bahwa Indonesia secara perlahan-lahan dan dalam level tertentu akan segera keluar dari ketergantungan terhadap dunia barat dalam pengadaan sarana kedirgantaraan, transportasi laut dan alat utama sistem persenjataan (alutsista). Sebagaimana kita ketahui, pengadaan sarana-sarana tersebut —khususnya alutsista— selain menguntungkan industri barat, juga menjadi sarana pengendalian negara-negara barat dalam mengukuhkan pengaruhnya di Indonesia.
c. Proyek Mobil Nasional Vs Principal
Sebagai salah satu upaya melepaskan ketergantungan dari teknologi dan produk otomotif, Indonesia mulai melakukan pengembangan industri mobil nasional (mobnas) melalui proyek mobil Timor. Terkait dengan pemberian ijin terhadap Tomy (putranya) untuk pengembangan mobil nasional, Presiden Soeharto mengemukakan alasan bahwa perusahaan Tomy dan mitranya dari Korea bersedia memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Sedangkan perusahaan-perusahaan Jepang selama lebih dari dua puluh tahun telah menunjukkan keengganannya melakukan alih teknologi. Selama periode itu Indonesia tetap menjadi pasar dominan dan tergantung pada pasokan produk-produk otomotif dari Jepang.
Pemilihan perusahaan Korea sebagai joint partner telah mengundang kemarahan Jepang yang dominasi pasarnya di Indonesia hendak digeser oleh kebijakan Presiden Soeharto. Krisis ekonomi tahun 1997 merupakan momentum yang tepat bagi prinsipal otomotif Jepang untuk mendelegitimasi kebijakan ini dengan melancarkan tudingan bahwa proyek mobnas merupakan proyek kolutif dan diskriminatif. Tudingan yang diarahkan kepada pribadi dan keluarga Presiden ini pada akhirnya memupuskan proyek mobnas, sehingga ketergantungan Indonesia terhadap produk otomotif dari Jepang terus berlanjut dan semakin dalam. Sebagai gambaran ketergantungan, paska reformasi jumlah kendaraan bermotor di Indonesia tumbuh sekitar 20% pertahun dan dalam prosentasi paling besar dipasok perusahaan-perusahaan otomotif Jepang. Tuduhan proyek mobnas sebagai proyek kolutif tidak lain sebagai bentuk black campaign principal kendaraan bermotor Jepang untuk tetap memperkuat dominasi pasarnya di Indonesia.
d. Otorita Batam dan Kendali Selat Malaka
Indonesia mulai mengambil peran dalam penguasaan Selat Malaka melalui proyek Otorita Batam. Dalam perspektif ekonomi dan geopolitik, Selat Malaka memiliki arti strategis karena merupakan salah satu jalur pelayaran terpenting di dunia, setara dengan Terusan Suez atau Terusan Panama. Selat Malaka membentuk jalur pelayaran terusan antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik serta menghubungkan tiga dari negara-negara dengan jumlah penduduk terbesar dunia: India, Indonesia dan Republik Rakyat Cina. Sebanyak 50.000 kapal melintasi Selat Malaka setiap tahunnya, mengangkut antara seperlima dan seperempat perdagangan laut dunia. Setengah dari minyak yang diangkut kapal tanker dunia melintasi selat ini dan pada tahun 2003 jumlahnya diperkirakan mencapai 11 juta barel minyak per hari. Jumlah itu dipastikan akan meningkat seiring besarnya peningkatan permintaan dari RRC.
Selama ini keuntungan ekonomi Selat Malaka lebih banyak dinikmati Singapura. Walaupun negara kecil, penguasaan Singapura atas jalur ini begitu dominan, bahkan banyak ekspor Indonesia harus melalui pintu Singapura. Apabila proyek Otorita Batam berhasil dikembangkan secara maksimal, monopoli Singapura atas limpahan ekonomi Selat Malaka akan berkurang secara signifikan. Peningkatan peran Indonesia bukan saja berdampak terhadap Singapura, akan tetapi juga berpengaruh semakin merosotnya pengendalian negara-negara barat atas Selat Malaka. Singapura merupakan anggota negara persemakmuran, sehingga kebijakannya dalam skala tertentu berkiblat pada kepentingan barat dan menjadi instrumen kontrol negara-negara barat terhadap kawasan ini.
e. Potensi Sumberdaya Alam Indonesia Yang Melimpah
Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya alam melimpah, khususnya di luar Jawa. Kekayaan alam ini meliputi minyak mentah, gas alam (pengekspor terbesar kedua di dunia), timah, tembaga, dan emas. Memiliki produk pertanian utama berupa beras, teh, kopi, rempah-rempah, sawit dan karet. Kekayaan tersebut belum diolah sepenuhnya termasuk sumberdaya hayati dan nabati khas tropis, tanaman obat-obatan, industri kehutanan dan kelautan. Indonesia merupakan zona mega biodiversity, karena 10 persen tumbuhan, 12 persen mamalia, 16 persen reptil, 17 persen burung, 25 persen ikan yang ada di dunia hidup di Indonesia. Padahal luas Indonesia hanya 1,3 % dari luas Bumi. Kekayaan makhluk hidup Indonesia menduduki peringkat ketiga setelah Brasil dan Republik Demokratik Kongo. Fakta tersebut menjadi magnet bagi kawasan manapun di dunia yang dalam perkembangannya dihadapkan pada masa depan krisis pangan dan energi serta kebutuhan lingkungan bersih, sehat dan bebas polusi akibat industrialisasi secara rakus di dunia Barat.
f. Keunikan Indonesia dalam Panggung Internasional
Potensi unik Indonesia dalam pergaulan internasional dilatarbelakangi oleh kenyataan sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, dengan pengalaman internal kebangsaan multikultural. Kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai negara muslim dengan cara pandang maju dan moderat serta mampu beradaptasi dengan baik terhadap teknologi dan peradaban barat. Keunikan ini menjadikan Indonesia memiliki kemampuan komunikasi dua arah, dengan negara-negara non muslim disatu sisi dan negara-negara berpenduduk muslim disisi lain. Pada era orde baru, eksistensi peran internasional Indonesia dapat dibuktikan melalui prestasinya dalam kerjasama regional Asean, Gerakan Non Blok, Gerakan Asia Afrika dan jalinan negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Serangkaian fakta tersebut mengantarkan Indonesia berada dalam posisi kandidat kuat wakil dari negara muslim yang akan menjadi pemain dominan dalam percaturan Internasional. Potensi strategis ini apabila berhasil dikelola akan menjadikan Indonesia memiliki akses pasar terhadap negara-negara berpenduduk muslim (seperlima penduduk dunia) sekaligus sebagai komunikator dan stabilisator diplomasi antara Islam dan Barat, yang digambarkan Hutington akan mengalami perbenturan.
Bagi kelompok-kelompok kepentingan internasional, potensi strategis Indonesia merupakan magnet untuk diperebutkan dan Presiden Soeharto merupakan penghalang potensial untuk dapat secara leluasa merentangkan aksesnya dalam menguasai/ mengendalikan potensi-potensi strategis tersebut. Presiden Soeharto merupakan sosok pemimpin berkarakter dengan agenda yang dapat dipahami secara jelas oleh semua kalangan, yaitu terwujudnya cita-cita Tinggal Landas melalui tahapan pembangunan 25 tahun tahap kedua dalam kerangka fondasi pembangunan 25 tahap pertama yang telah diletakkan sebelumnya. Keberhasilan proyek Tinggal Landas akan menjadikan Indonesia tumbuh sebagai negara maju dan mandiri sehingga tidak lagi mudah dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan negara-negara barat.
Kelompok-kelompok kepentingan internasional umumnya menggunakan isu-isu HAM (khususnya persoalan konflik Timor-Timur), demokratisasi dan pemberantasan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) untuk mendeskreditkan pemerintahan Presiden Soeharto. Terkait dengan masalah ini, Fadzli Zon mengungkapkan kucuran dana dari US Aid For International Development (USAID) sebesar US$ 26 juta sejak tahun 1995 kepada 30 LSM Indonesia untuk melakukan oposisi terhadap pemerintahan Presiden Soeharto2. Kelompok-kelompok kepentingan barat memperoleh momentum menekan Presiden Soeharto ketika terjadi krisis ekonomi dan moneter tahun 1997 melalui skenario IMF (International Monetery Fund). Resep pemulihan ekonomi yang diberikan IMF dinilai banyak kalangan justru membenamkan perekonomian Indonesia. Sebagaimana diakui Presiden Soeharto di depan SU MPR 1997 menyatakan bahwa resep IMF terbukti tidak ampuh.
Untuk menangani krisis ekonomi Indonesia, IMF menekankan pada empat kebijakan, yaitu privatisasi dengan penjualan asset-aset BUMN kepada kroni IMF, liberalisasi pasar modal, pencabutan subsidi dan liberalisasi perdagangan (untuk membuka pasar produk-produk barat di Indonesia). Ketika Presiden Soeharto menolak skenario ini —dengan mengangkat Steve Hanke, Guru Besar John Hopkin University sebagai penasehat khusus presiden— dan berencana menerapkan CBS (Currency Board System) dengan mematok kurs tetap, IMF maupun Amerika melakukan penolakan besar-besaran. Akibatnya krisis ekonomi Indonesia tidak kunjung teratasi dan menjadi katalisator munculnya krisis politik akut, sehingga Presiden Soeharto mengundurkan diri dari kursi Presiden. Kelak dikemudian hari, Michel Camdesus, Direktur IMF mengakui bahwa apa yang dilakukan IMF di Indonesia tidak lain sebagai katalisator jatuhnya Pemerintahan Soeharto. Sebagaimana dikutif New York Times, Camdesus menyatakan “We created the conditions that obliged President Soeharto Left his job”3.
Bukti bahwa stigmatisasi terhadap Presiden Soeharto hanya merupakan “skenario antara” penguasaan aset-aset strategis adalah campur tangan barat yang semakin mendalam setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri dari kursi presiden. Ketika kran kebebasan dibuka hampir tanpa batas oleh pemerintahan Presiden Habibie, sikap tidak bersahabat kalangan barat terhadap Indonesia tidak dengan sendirinya berakhir. Padahal upaya mendorong demokratisasi —sebagaimana jargon barat selama ini— telah membuahkan hasil. Fakta menunjukkan kondisi sebaliknya, kalangan barat begitu seragam dalam memberikan kontribusi lepasnya Timor-Timur, konspirasi negara-negara persemakmuran memenangkan Malaysia dalam masalah pulau Sipadan-Ligitan, standar ganda barat terhadap Singapura sebagai pelindung penjahat ekonomi Indonesia —kasus ekstradisi— dan pengambilalihan BUMN-BUMN strategis oleh kelompok-kelompok kepentingan ekonomi internasional yang bermarkas di Singapura. Begitu pula dalam kasus Ambalat, tidak menggambarkan psikologi konflik antar kedua negara —Indonesia-Malaysia— yang sesungguhnya. Kasus tersebut dipicu persaingan perusahaan-perusahaan minyak internasional dalam memperebutkan hak eksplorasi ladang minyak di Blok Ambalat. Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa stigma negatif yang dilekatkan pada Presiden Soeharto hanyalah pintu masuk kalangan-kalangan barat tertentu untuk dapat secara leluasa mengakses dan mengendalikan potensi sumber daya alam strategis Indonesia.
Agenda Rehabilitasi Nama Baik PKI
Presiden Soeharto merupakan musuh besar bagi kader-kader dan simpatisan PKI. Melalui instink militer dan kepekaan spiritualnya4, pada tahun 1965 (kala itu masih Mayjen) berhasil menghentikan kudeta PKI yang berambisi menjadikan Indonesia sebagai negara Komunis. Keberhasilan itu ditorehkan pada saat kekuatan Komunis internasional berada dalam masa kejayaan dan jauh dari berakhirnya perang dingin yang ditandai runtuhnya blok Komunis. Presiden Soeharto bukan saja menjadi aktor utama dalam menjadikan PKI sebagai partai terlarang, sesaat setelah memperoleh mandat pemegang Supersemar. Ia juga berhasil mentransformasikan secara sistimatis sejarah kekejaman dan pengkhianatan PKI kepada masyarakat luas, sehingga kemungkinan kebangkitan PKI sebagaimana terjadi pada masa sebelumnya —bangkit dari kegagalan kudeta Madiun dan melakukan kudeta tahun 1965— dapat diantisipasi.
Situasi mulai berubah ketika pada tahun 1990-an kebijakan anti Komunis yang dilakukan Presiden Soeharto mulai kehilangan dukungan akibat perubahan lingkungan strategis —baik dalam maupun luar negeri— yang dipicu oleh tiga hal. Pertama, berakhirnya perang dingin yang ditandai runtuhnya blok Komunis. Implikasi perubahan tersebut, barat —yang di motori Amerika— tidak lagi tertarik memberikan dukungan politik anti Komunis yang dilakukan Presiden Soeharto. Barat lebih tertarik mempersiapkan medan pertengkaran baru yang dikreasi dari teori Samuel Hutington, dimana class civilization atau bentrok peradaban antara Islam dan barat diyakini sebagai agenda baru. Kedua, era kepemimpinan Presiden Soeharto memasuki masa senja sehingga mulai bermunculan berbagai spekulasi masa depan kepemimpinan nasional dan kendali Indonesia pada era berikutnya. Ketiga, berakhirnya masa tahanan politik sebagian eks anggota PKI yang memungkinkan terjadinya interaksi maupun konsolidasi secara intensif antar sesamanya. Ketiga hal tersebut merupakan momentum yang tepat bagi eks kader dan simpatisan PKI untuk dapat melakukan rehabilitasi nama baiknya dalam kancah perpolitikan Indonesia. Suatu upaya rehabilitasi yang sejak kegagalan G 30 S/PKI tahun 1965 terus diperjuangkan, namun tidak memperoleh momentum yang tepat untuk bangkit.
Upaya rehabilitasi nama baik PKI dapat kita tangkap dari tiga gejala. Pertama, pengkaburan aktor intelektual G.30.S/PKI agar peran sentral PKI dalam kudeta itu secara perlahan-lahan dilupakan publik. Para eks kader dan simpatisan PKI menggunakan doktrin DN Aidit —juga hasil preliminary study Cornell Paper— yang menyatakan G.30.S/PKI merupakan persoalan internal Angkatan Darat. Doktrin itu menuding Presiden Soeharto sebagai intelektual aktor sebuah skenario “kudeta merangkak” dan sekaligus membebaskan PKI dari keterlibatannya dalam peristiwa G.30.S.
Belakangan, tuduhan PKI telah dibantah secara telak oleh Victor M. Fic, sejarawan Yugoslavia, melalui bukunya berjudul “Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang konspirasi”. Ia mengetengahkan bukti-bukti tak terbantahkan bahwa PKI merupakan aktor intelektual G 30 S dan bukannya Mayjen Soeharto. Menurutnya, pada saat terjadinya kudeta, Mayjen Soeharto bukanlah sosok yang diperhitungkan dalam percaturan elit politik, sehingga mustahil menjadi pembuat desain sebuah kudeta yang realitasnya rumit dan kompleks. Victor M. Fic menegaskan peran Mayjen Soeharto dimulai ketika kesadaran intuitifnya tergerak untuk menyelamatkan negara dari kudeta PKI, setelah melihat para Jenderal pimpinannya dibunuh dan Presiden Soekarno didemisionerkan dari kursi Presiden. Dalam perspektif kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara, langkah Mayjen Soeharto merupakan cerminan keluguan sosok jenderal loyalis Bung Karno yang berusaha menyelamatkan Presidennya dari kudeta.
Kedua, tuduhan pelanggaran HAM berat atas pembantaian kader dan simpatisan PKI paska peristiwa G.30.S/PKI. Eks kader dan simpatisan PKI secara gencar mengarahkan tuduhan itu kepada Presiden Soeharto dan Angkatan Darat sebagai pihak bertanggungjawab. Tuduhan ini dilakukan dengan menyembunyikan fakta perlakuan teror dan intimidasi kader-kader PKI —yang dilakukan jauh sebelum peristiwa G.30.S/PKI terjadi— terhadap orang-orang non Komunis5. Memori orang-orang tua kawasan pantai selatan Jawa Timur masih merekam adanya sumur-sumur dengan struktur bergerigi di daerahnya, yang dipersiapkan oleh kader-kader PKI dengan dalih sebagai tempat perlindungan ketika nantinya terjadi perang6. Intimidasi dan teror kader-kader PKI berisi tuduhan kepada orang-orang yang tidak berafiliasi dengannya sebagai setan-setan desa yang harus dilenyapkan.
Orang-orang yang tidak berafiliasi kepada PKI semakin memperoleh gambaran buram nasib mereka dan keluarganya —di bunuh dan dibuang ke lubang-lubang pembunuhan yang sudah tersedia didekat kampung mereka— tatkala mengetahui para perwira militer di Jakarta di bunuh dan dimasukkan ke sumur Lubang Buaya (Crocodile Hole). Dibawah intimidasi dan teror kader-kader PKI, orang-orang non Komunis dihadapkan pada pilihan situasi “mendahului atau didahului”, yang kemudian mendorongnya bangkit melawan. Perlawanan rakyat yang dimotivasi oleh keterjepitan itu mengakibatkan jatuhnya banyak korban. Orang-orang pedesaan pantai selatan Jawa Timur memperkirakan jika G.30.S/PKI di Jakarta tidak segera dihentikan oleh Mayjen Soeharto, sumur-sumur itu akan dipenuhi mayat orang-orang yang dibantai kader-kader PKI. Kekejaman kader-kader PKI bahkan berlanjut dalam proses pelarian pasca kegagalan kudeta —antara tahun 1967-1968 sebelum dilakukan operasi Trisula— yang dilakukan terhadap tokoh-tokoh umat Islam di Blitar Selatan7. Fakta ini tidak banyak diketahui penulis-penulis barat seperti John Rosa, sehingga telaah dalam bukunya yang berjudul “Dalih pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto”8 turut menyalahkan Mayjen Soeharto dan Angkatan Darat sebagai pelanggar HAM atas terbunuhnya kader-kader PKI.
Ketiga, upaya pencabutan peraturan perundang-undangan yang melarang eksistensi PKI di Indonesia (Tap XXV/MPRS/1966). Upaya pencabutan didasarkan pada argumentasi sejumlah kalangan yang menuding produk hukum tersebut merupakan produk pemerintahan otoriter Orde Baru yang secara substantif bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM. Argumentasi itu menegasikan fakta lahirnya ketetapan MPRS melalui proses panjang berdasarkan perilaku kejam dan anti HAM para kader PKI terhadap masyarakat non Komunis. Tuntutan pencabutan itu diakomodasi oleh para presiden pengganti Presiden Soeharto berupa penghapusan kebijakan isolasi para keturunan eks kader PKI dalam percaturan politik9. Sedangkan kebijakan pelarangan ajaran Marxisme-Leninisme tetap diberlakukan. Yusril Ihza Mahendra —mantan Menteri Hukum dan HAM waktu itu— berargumentasi bahwa Komunis sebagai sebuah idiologi harus dilarang karena anti demokrasi sebagaimana organisasi NAZI Jerman. Namun demikian aspek kemanusiaan bagi para keturunan eks kader-kadernya perlu dipertimbangkan untuk tidak lagi diisolasi dalam percaturan politik.
Selain rehabilitasi nama baik melaui proyek pelurusan sejarah sesuai versinya sendiri —yang dibangun di atas pengingkaran perilaku kejam dan anti HAM pada masa lalu—-, para pengusung rehabilitasi nama baik PKI juga melancarkan agenda balas dendam dengan mengkampanyekan dekonstruksi segala hal yang terkait dengan Presiden Soeharto. Upaya ini relatif berhasil —untuk beberapa waktu, khususnya pada puncak krisis politik tahun 1998 dan hampir sepuluh tahun setelahnya— menstigmakan Presiden Soeharto sebagai sosok pelanggar HAM dan musuh bersama rakyat. Keberhasilan ini tidak lepas dari sinergisitasnya —paling tidak secara opini— dengan agenda kelompok-kelompok kepentingan internasional yang juga menjadikan proyek pendiskreditan sosok pribadi Presiden Soeharto sebagai pintu masuk penguasaan asset-aset strategis bangsa Indonesia. Selain itu kelompok-kelompok pengusung agenda rehabilitasi nama baik PKI juga berhasil mencitrakan dirinya sebagai bagian tak terpisahkan atau bersisiran dengan kalangan reformis, sehingga jati dirinya sebagai Komunis tidak terlihat secara jelas oleh publik Indonesia.
Avonturisme Kelompok Pragmatis
Merupakan kelompok-kelompok pragmatis —-pelaku ekonomi, politisi maupun elit pemerintahan yang sebenarnya diuntungkan oleh pemerintahan Orde Baru— namun dihinggapi kekawatiran eksistensinya tereliminasi dalam tatanan politik pasca kepemimpinan Presiden Soeharto. Arus besar tekanan kelompok-kelompok kepentingan internasional yang bersisiran dengan agenda pengusung rehabilitasi nama baik PKI dan menumpang agenda kalangan reformis, telah mendorong pada suatu titik dimana rotasi kepemimpinan nasional harus dilakukan dengan segera. Momentum ini dimanfaatkan kalangan avonturir untuk mencitrakan dirinya sebagai bagian kelompok reformis dan secara gencar turut serta mendiskreditkan Presiden Soeharto beserta kebijakan-kebijakannya agar tetap memperoleh tiket dalam tatanan baru paska pemerintahan Presiden Soeharto.
Kalangan avonturir —dengan motif untuk mencari aman ini— memiliki kontribusi besar dalam mereproduksi stigmatisasi negatif terhadap diri pribadi Presiden Soeharto, karena keberadaanya dalam lingkungan sistem, sehingga bisa melakukan pembusukan dari dalam. Sebagian dari mereka yang terkategori dalam kelompok ini dapat diidentifikasi sebagai pelaku pelarian modal negara/ penyimpan uang ke Singapura maupun para pejabat dan elit politik yang tersandung kasus-kasus hukum dan terbongkar pada era reformasi.
Kalangan Reformis
Merupakan kelompok kritis —dimotori kalangan intelektual seperti Dr. Nucholis Madjid, Amin Rais dan Gus Dur— yang menginginkan tatanan politik lebih terbuka sehingga kemerdekaan partisipasi politik rakyat dapat diwujudkan secara maksimal. Politik stabilitas melalui pembatasan partai politik dan kebijakan dwifungsi ABRI serta sentralisasi penyelenggaraan pemerintahan dinilai kalangan reformis memiliki kerawanan untuk dimanipulasi kalangan-kalangan tertentu sebagai alat pembungkaman kemerdekaan partisipasi politik rakyat.
Tulisan Jun Honna dalam sebuah buku berjudul “Serdadu Memburu Hantu: Ideologi Kewaspadaan di Senjakala Kekuasaan Orde Baru” memberikan gambaran adanya faksi-faksi kuat dalam tubuh ABRI —setidaknya sejak dibubarkannya Kopkamtib pada bulan September tahun 1988— yang menggunakan isu-isu politik BALATKOM (Bahaya Laten Komunisme) sebagai instrumen black campaign untuk saling menjatuhkan satu sama lain. Sebagai contoh adalah black campaign Benny Murdani terhadap Soedarmono —Wakil Presiden pilihan Presiden Soeharto— dengan tuduhan terlibat dalam organisasi Komunis pada awal tahun 1960-an10. Gerakan-gerakan Benny Murdani —seorang kaisar Intelejen sekaligus kepercayaan Presiden Soeharto yang akhirnya berseberangan— terus berlanjut hingga Presiden Soeharto mengundurkan diri pada tahun 1998. Fenomena itu memunculkan analisis sebagian kalangan, bahwa selain agenda kalangan reformis sendiri, pembiaran Presiden Soeharto terhadap kritisisme tokoh-tokoh reformis seperti Nurcholis Madjid, Amin Rais dan Gus Dur merupakan skenario dalam menciptakan “bandul penyeimbang politik” atas langkah-langkah kalangan ABRI tertentu (Benny Murdani, dkk) yang tidak dikehendaki oleh Presiden Soeharto sebagai pelanjut estafet kepemimpinan bangsa.
Agenda kalangan reformis sebenarnya merupakan pra kondisi terwujudnya rotasi kepemimpinan nasional paska Presiden Soeharto, sekaligus menyiapkan konsep perubahan sistem penyelenggaraan negara yang lebih akomodatif terhadap tuntutan perkembangan zaman. Berbeda dengan kelompok-kelompok kepentingan internasional dan pengusung agenda rehabilitasi nama baik PKI, kalangan reformis tidak bermaksud melakukan perlawanan dan mengusung agenda pendeskreditan atau mengadili Presiden Soeharto. Agenda kalangan reformis menekankan pada upaya pengelolaan perubahan (manajemen transisi) penyelenggaraan negara setelah melihat keniscayaan akan berakhirnya kepemimpinan Presiden Soeharto11. Selain itu, kalangan reformis juga mengusung agenda perubahan sistem penyelenggaraan negara agar lebih desentralistis dan penguatan civil society sesuai dengan mainstream demokratisasi yang berkembang pada saat itu.
Patut disayangkan agenda manajemen transisi dan perubahan sistem penyelenggaraan negara yang diusung kalangan reformis dibajak dan dimanfaatkan kelompok-kelompok kepentingan internasional, pengusung rehabilitasi nama baik PKI maupun kalangan pragmatis untuk memuluskan agenda pragmatisnya masing-masing. Mundurnya Presiden Soeharto menyebabkan krisis politik berkepanjangan sehingga skenario manajemen transisi yang diusung kalangan reformis tidak berjalan mulus dan agenda reformasi nyaris berjalan tanpa road map. Maraknya instabilitas, gerakan separatis, rusaknya sistem dan infrastruktur ketahanan pangan, tingginya biaya hidup rakyat, merosotnya pertumbuhan ekonomi (mencapai minus 13% pada tahun 1998) serta runtuhnya wibawa bangsa di hadapan bangsa-bangsa lain mewarnai perjalanan gerakan reformasi. Suatu situasi yang sudah barang tentu tidak diinginkan kalangan reformis, akan tetapi pendukung agenda ini tidak memiliki daya kendali untuk mengatasinya. Kalangan reformis kalah cepat jika dibandingkan dengan manuver kelompok-kelompok kepentingan internasional, pengusung rehabilitasi nama baik PKI maupun kalangan pragmatis dalam merealisisasikan agendanya masing-masing
Cita-Cita Tinggal Landas Presiden Soeharto
Stigma negatif yang dikontruksi kelompok-kelompok kepentingan internasional, pengusung rehabilitasi nama baik PKI maupun kalangan pragmatis, telah mengaburkan torehan prestasi dan karakter positif yang melekat pada sosok Presiden Soeharto. Merupakan fakta tak terbantahkan bahwa ia satu-satunya pemimpin Indonesia modern (paska Indonesia merdeka) yang berhasil menginstitusikan filosofi dan tujuan-tujuan hidup bernegara —sebagaimana termaktub dalam UUD 1945— kedalam pengorganisasian kerja-kerja pembangunan dalam skala kebangsaan. Intitusionalisasi itu menghasilkan prestasi mengesankan dengan capaian-capaian kemajuan yang terukur dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Berbeda dengan Presiden Soekarno, masa kerjanya lebih banyak difokuskan pada upaya pembangunan karakter bangsa. Upaya itu dilakukan dengan cara mentransformasikan spirit kebangsaan melalui kekuatan kharismanya yang memikat. Pada era Presiden Soekarno, ide-ide tujuan hidup berbangsa dan bernegara masih berada dalam dimensi spirit. Sedangkan pada era Presiden Soeharto, spirit itu berhasil diterjemahkan kedalam organisasi kerja yang rapi dan efektif.
Salah satu contoh keberhasilan Presiden Soeharto merealisasikan cita-cita hidup berbangsa dan bernegara adalah terlaksananya agenda dan tahapan-tahapan mewujudkan kemandirian dan kedaulatan ekonomi bangsa untuk setara dengan negara maju (tinggal landas) dalam jangka waktu 50 tahun. Cita-cita itu diterjemahkan kedalam road map Pembangunan Jangka Panjang (25 tahun) yang dilaksanakan melalui tahapan Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Untuk mendukung terwujudnya agenda tersebut, Presiden Soeharto menekankan pengelolaan stabilitas —baik stabilitas politik, ekonomi dan keamanan— sehingga segala bentuk HTAG (Hambatan, Tantangan, Ancaman dan Gangguan), dari dalam maupun luar negeri tidak menjadi faktor penghambat agenda tinggal landas. Skenario ternbukti mengantarkan Indonesia menjadi the newly industrializing economy (NIEs) dan salah satu negara dengan performa ekonomi yang tinggi di Asia (HPAEs-High Performing Asian Economics).
Berdasarkan analisis diatas, krisis politik nasional pada tahun 1998 merupakan akumulasi perebutan pengaruh lima kepentingan besar —kelompok kepentingan internasional untuk penguasaan aset-aset strategis Indonesia, reposisi kalangan pragmatis untuk tidak tereliminasi paska kepemimpinan Presiden Soeharto, agenda balas dendam kelompok pengusung rehabilitasi nama baik PKI, kalangan reformis dan Presiden Soeharto yang berusaha memastikan keberlangsungan agenda Tinggal Landas— dalam mengendalikan proses rotasi kepemimpinan nasional. Gerakan masa tahun 1998 bukanlah murni pengusung kepentingan reformasi —sebagaimana digagas kalangan reformis— akan tetapi merupakan bauran pendukung kelompok-kelompok kepentingan yang sedang memperjuangkan agendanya masing-masing. Dari kelima kepentingan itu, jalinan konspirasi kelompok-kelompok kepentingan internasional, kalangan pragmatis dan kelompok pengusung rehabilitasi nama baik PKI —yang mendompleng agenda reformasi— begitu kuat melakukan delegitimasi kepemimpinan Presiden Soeharto, melalui pencitraan buruk dan stigmatisasi negatif. Ketiga kelompok kepentingan besar ini berhasil menanamkan stigma, bahwa Presiden Soeharto merupakan sosok pemimpin korup, otoriter dan musuh rakyat yang harus segera ditumbangkan. Juga berhasil menstigmakan segala hal yang terkait dengan Presiden Soeharto harus didekonstruksi. Ketiga kelompok kepentingan ini memanfaatkan krisis ekonomi dan moneter tahun 1997 dengan mengilustrasikan sebagai bukti kegagalan kepemimpinan Presiden Soeharto karena telah mewariskan struktur fundamental ekonomi yang rapuh.
Pencitraan buruk dan stigmatisasi ketiga kelompok kepentingan besar yang menumpang gerakan reformasi menempatkan Presiden Soeharto dalam situasi dilematis. Pada satu sisi ia dihadapkan pada krisis ekonomi dan moneter yang harus segera diatasi —dengan penuh ketenangan, ketelitian serta melibatkan dukungan seluruh komponen bangsa—, sehingga agenda mewujudkan cita-cita tinggal landas, tidak terhenti di tengah jalan. Pada sisi lain, ketiga kelompok kepentingan ini juga berhasil mempengaruhi dan mengarahkan masa rakyat untuk turut serta menyuarakan tuntutan rotasi kepemimpinan nasional secepat mungkin. Dalam situasi seperti itu — setelah melakukan konsultasi dengan para cendekiawan dan tokoh masyarakat—, Presiden Soeharto memilih untuk tidak menggunakan kekerasan —dengan menggerakkan pasukan keamanan yang masih dikendalikannya secara penuh— agar tidak mengulang peristiwa berdarahTiananmen di RRC.
Keresahan yang dihadapi Presiden Soeharto bukanlah kelangsungan kekuasaan yang telah digenggamnya selama lebih dari 30 tahun. Sejak tahun 1987, Presiden Soeharto telah berusaha melakukan kaderisasi pengganti dirinya, namun upaya itu tidak berjalan dengan mulus12. Keresahannya justru terletak pada ancaman kelangsungan cita-cita tinggal landas —hasil jerih payah perjuanganya bersama seluruh rakyat— yang dihadapkan pada krisis ekonomi dan moneter yang menuntut untuk segera dicarikan jalan keluar.
Keresahaan itu tercermin dari pernyataan Presiden Soeharto kepada para intelektual muslim yang berkunjung di kediamannya. “Bagi Saya, tidak ada masalah apabila sekarang harus mundur dari Kursi Presiden. Tapi apakah dengan mundur itu situasinya nanti akan lebih baik?”. Statemen itu harus dipahami secara mendalam dalam konteks kultur Jawa, sebagai satu ajakan untuk menelaah masak-masak, terhadap sebuah keputusan yang akan diambil karena implikasinya sangat luas. Presiden Soeharto kemudian menawarkan konsep transisi secara damai dengan membentuk komite reformasi, perubahan personalia kabinet dan percepatan pemilu serta berjanji tidak akan maju lagi dalam pencalonan presiden pada pemilu berikutnya. Namun tawaran transisi damai dengan maksud menyelamatkan masa depan cita-cita tinggal landas —yang terancam oleh krisis ekonomi dan moneter ini— kurang memperoleh tanggapan memadai dari kalangan reformis13. Akhirnya Presiden Soeharto memutuskan untuk mengundurkan diri dan secara konstitusional kedudukannya digantikan oleh Wakil Presiden BJ. Habibie.
Perkembangan selanjutnya ditandai tarik ulur kelompok-kelompok kepentingan internasional, pengusung rehabilitasi nama baik PKI, kelompok pragmatis dan kalangan reformis untuk menjalankan agendanya sendiri-sendiri dalam mencoraki masa depan Indonesia. Pada satu sisi kalangan reformis berhasil merumuskan konsep demokratisasi penyelenggaraan negara yang ditandai dengan lahirnya berbagai regulasi baru, seperti desentralisasi, demokratisasi sistem kepartaian, keterbukaan informasi dan kemerdekaan pers maupun penyempurnaan strategi penegakan hukum dengan penambahan lembaga baru seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Yudisial (KY) serta MK (Mahkamah Konstitusi). Namun, dalam hal pengendalian asset-aset strategis bangsa, kalangan reformis kalah cepat jika dibandingkan dengan kelompok kepentingan internasional dan kalangan pragmatis. Hal itu dibuktikan dari ketidakmampuan kalangan reformis dalam mengantisipasi peralihan modal dan asset-aset bangsa yang ditandai dengan lepasnya kepemilikan BUMN-BUMN strategis, merosotnya pertumbuhan ekonomi hingga 13% pada tahun 1998, terjadinya instabilitas politik dan keamanan, merosotnya daya beli masyarakat dan pudarnya pengaruh serta kewibaan Indonesia di kancah Internasional (kasus lepasnya Timor-Timur, Sipadan-Ligitan dan kasus ambalat).
Inkompetensi penyelenggara negara paska reformasi dalam mewujudkan kesejahteraan umum telah menyadarkan rakyat Indonesia bahwa stigma negatif dan pencitraan buruk terhadap Presiden Soeharto tidak lebih dari sekedar ilusi yang sengaja digelorakan kalangan tertentu untuk mengaburkan agenda pragmatisnya masing-masing. Rakyat Indonesia pada umumnya tidak cukup waktu untuk menelaah siapa-siapa pemain dan agenda sesungguhnya dalam krisis politik tahun 1998. Namun lambat laun rakyat mampu membedakan kualitas kesejahteraan pada era kepemimpinan Presiden Soeharto dengan era setelahnya. Pada masa kemimpinan Presiden Soeharto, rakyat dapat hidup dalam suasana penuh kedamaian, daya beli terjangkau, adanya konsensus nasional sehingga mereduksi munculnya berbagai ego sektoral dan disharmonisasi pusat-daerah, adanya stabilitas pangan dan muncul kebanggaan sebagai bangsa karena apresiasi internasional yang positif terhadap Indonesia.
Fakta itu lambat laun memudarkan proyek stigmatisasi negatif dan pencitraan buruk yang dialamatkan kepada mantan Presiden Soeharto. Pada tingkat elit, pencitraan buruk dan stigmatisasi itu memang masih sering terdengar melalui pemberitaan media. Hal paradok terjadi pada tingkat grassroot, dimana kewibawaan dan prestasi mantan Presiden Soeharto tidak mengalami perubahan, dan tidak sedikit pula masyarakat yang merindukan suasana damai sebagaimana era kepemimpinannya. Sebagai sebuah proyek pembunuhan karakter stigmatisasi negatif itu mengalami kegagalan. Namun sebagai pintu masuk penguasaan potensi dan aset-aset strategis bangsa, stigmatisasi terhadap pribadi Presiden Soeharto itu telah membawa kerugian besar berupa peralihan kepemilikan BUMN-BUMN strategis kepada pihak asing.