Alhamdulillah, kesulitan yang begitu lama mengungkung kita, pada tahun 1984 bisa kita atasi. Setelah sekian lama menjadi pengimpor beras terbesar di dunia, berkat usaha keras akhirnya Indonesia bisa berswasembada beras. Ini bukan saja membuat kita semua gembira, tetapi juga menarik perhatian dunia. Bagaimana hal itu bisa terjadi? FAO[2], organisasi pangan dan pertanian PBB, dalam memperingati ulang tahunnya yang ke-40 mengundang saya untuk berbicara di depan forum yang dihadiri oleh banyak tokoh dunia dan para ahli untuk menjelaskan apa yang telah dilakukan oleh Indonesia sehingga kita bisa berdiri sendiri dalam soal bahan pokok yang sangat penting itu. Di antara negara-negara berkembang, Indonesia terpilih untuk menjelaskan pengalamannya. Sebagai Presiden Indonesia, saya diundang oleh Direktur Jenderal FAO Mr. Edouard Saouma. Dari negara-negara maju, Presiden Perancis, Francois Mitterrand, terpilih untuk memaparkan pandangannya.
Saya, yang dianggap sebagai wakil pihak Selatan dalam dialog Utara-Selatan, berbicara di depan sidang itu lebih dari setengah jam. Waktu saya berdiri di forum itu, di Roma, tanggal 14 November 1985, dunia sedang diliputi oleh berbagai ketimpangan. Lebih dari separuh produksi pangan dunia dihasilkan di kawasan negara-negara maju yang hanya dihuni oleh sepertiga dari seluruh penduduk dunia. Tingkat produktivitas setiap hektar yang dicapai di negara-negara maju telah melampaui dua setengah kali lipat produktivitas tiap hektar di negaranegara yang sedang membangun. Negara-negara maju telah dapat memanfaatkan kurang lebih separuh dari lahan pertanian yang tersedia dibanding dengan hanya sepertiga di negara-negara yang sedang membangun.
Keprihatinan makin mengusik perasaan kita yang terdalam. Kita ingat, di satu pihak ada negara-negara maju yang justru mengurangi produksi pangan mereka demi stabilitas harga. Malahan pernah memusnahkannya. Sedangkan, di pihak lain, kita menyaksikan sesama umat manusia di dunia ketiga meninggal melalui kesengsaraan dan kenistaan karena kelaparan.
Keadaan demikian mencerminkan tantangan besar yang masih dihadapi oleh dunia untuk memeratakan pembangunan di bidang pangan khususnya dan pembangunan dunia pada umumnya. Kita harus berusaha ke arah dunia yang lebih adil dan sejahtera yang merata, bebas dari kelaparan.
Saya bicara di forum itu sampai pada hal-hal teknis pelaksanaan. Hadirin ingin mengetahuinya. Dan pengetahuan kita diperlukan oleh sejumlah negara lainnya. Forum itu adalah tempat dan kesempatan tukar-menukar pengetahuan dan pengalaman.
Saya jelaskan bahwa usaha kita dalam meningkatkan produksi pangan, khususnya beras yang merupakan makanan pokok kita, dilakukan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Tujuan kita adalah untuk secara bertahap mencapai swasembada pangan, meningkatkan mutu gizi, meningkatkan pendapatan dan tingkat hidup petani, serta mendorong perkembangan ekonomi pada umumnya.
Karena memperluas lahan memerlukan dana yang besar, maka titik berat diletakkan pada usaha intensifikasi. Caranya ialah dengan menaikkan produktivitas dan produksi padi pada areal yang telah ada. Saya paparkan usaha intensifikasi itu, yakni dengan menerapkan teknologi Panca Usaha yang sudah dikenal di desa-desa kita.
Tatkala gerakan pembangunan pertanian kita lancarkan satu setengah dasawarsa yang lalu, pada waktu itu para petani kita umumnya sangat miskin, ditambah dengan pengetahuan yang rendah dan lahan yang sangat sempit. Mereka bukan hanya tidak mampu membeli bibit unggul, tetapi juga tidak mampu membeli pupuk dan membeli obat hama. Cara bertani yang tradisional, ditambah dengan kemiskinan, mengakibatkan cara mereka bertanam sama sekali tidak memberi peluang bagi peningkatan produktivitas. Karena itu, kita memutuskan suatu kebijaksanaan nasional yang menyeluruh dan terkendali, dengan tetap membuka inisiatif dan tanggungjawab petani sendiri.
Keputusan politik untuk mencurahkan perhatian pada pembangunan pertanian tercermin dengan jelas dalam penyediaan anggaran pembangunan negara kita di sektor pertanian dan irigasi, yang selama bertahun-tahun selalu mendapatkan anggaran yang terbesar.
Seperti saya yakini dan saya jelaskan pula di sidang itu, petani perlu melihat bukti-bukti yang nyata. Petani tidak puas dengan hanya mendengar uraian-uraian dan anjuran-anjuran. Maka kita bangun di mana-mana petak-petak percontohan.
Tidak saya sembunyikan di depan forum itu hambatan-hambatan yang kita alami dalam usaha ini. Tetapi saya kemukakan juga bahwa hambatan-hambatan itu kita lalui dengan penuh ketabahan. Koreksi demi koreksi kita lakukan, sebelum kita sampai pada sistem pertanian yang mulai mantap seperti yang terasa dan kita ketahui dewasa ini.
Kita patut menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada FAO dan para ahlinya. Terutama pada tahap awal progam intensifikasi massal dan bimbingan massal mereka menyertai kita dengan pandangan-pandangan dan nasihat-nasihat mereka yang berharga.
Begitulah, jika dalam tahun 1969 produksi beras kita hanya mencapai 12,2 juta ton, maka dalam tahun 1984 kita mencapai lebih dari 25,8 juta ton.
Di depan sidang itu saya nyatakan bahwa sebagai ungkapan rasa syukur kita, dan sebagai ungkapan simpati para petani Indonesia kepada sesama petani yang sedang bergumul dalam perjuangan memperbaiki nasib, maka para petani Indonesia secara gotong-royong dan sukarela berhasil mengumpulkan gabah sebanyak 100.000 ton. Para petani Indonesia telah meminta kepada saya untuk menyerahkan gabah itu kepada FAO, untuk selanjutnya diteruskan kepada saudara-saudara mereka dengan keluarganya yang mengalami kelaparan di berbagai kawasan, khususnya di benua Afrika. Ini merupakan kejadian untuk pertama kalinya, dunia menyaksikan bantuan antar-petani. Hadirin di forum itu menyambut gembira sumbangan para petani Indonesia itu dengan tepuk tangan. Para petani kitalah yang mendapat kehormatan itu. Saya bisa membayangkan betapa gembiranya seseorang yang sedang mengalami kelaparan menerima bantuan bahan makanan. Begitulah pembangunan pertanian kita mencapai keberhasilan. Dan itu merupakan kerja raksasa bangsa kita secara keseluruhan.
Di depan forum itu, selain saya memperkenalkan lagi kepada dunia falsafah negara kita, Pancasila, saya menyerukan juga kepada negara-negara maju agar mengembangkan kebijaksanaan perdagangan internasional yang mendorong perkembangan negara-negara yang sedang membangun. Saya tekankan secara khusus mengenai pentingnya kelancaran ekspor komoditi pertanian dari negara-negara yang sedang membangun ke negara-negara industri maju.
Saya katakan, negara-negara maju mempunyai tanggungjawab dan kemampuan untuk memberikan kesempatan kepada negara-negara yang sedang membangun untuk maju dalam rangka menggalakkan pembangunan ekonomi dunia yang lebih adil dan merata. Daripada kemampuan dan modal yang besar yang tersedia itu digunakan untuk adu kekuatan senjata yang menjuruskan kehidupan dan kemanusian kedalam kesengsaraan dan penderitaan, saya katakan, lebih baik dipergunakan untuk memenuhi tanggung jawab itu. Dengan begitu, akan dapatlah terwujud satu tata hubungan dan kerjasama internasional yang mendatangkan keadilan sosial yang merata di seluruh dunia, tujuan yang menjadi idam-idaman kita semua, idam-idaman umat manusia.
Indonesia adalah satu negara yang bertahun-tahun lamanya menjadi pengimpor beras yang jumlahnya cukup besar hingga pernah mencapai angka lebih dari 2 juta ton pertahun, dan sekarang telah dapat berswasembada. Itu bukanlah keajaiban. Itu merupakan kerja keras seluruh bangsa kita, yang dilaksanakan secara ulet menurut suatu rencana pembangunan yang realistik tanpa kehilangan cita-cita masa depan.
Di forum itu sempat saya jelaskan, bangsa Indonesia ingin membangun manusia Indonesia yang utuh karena kita menyadari, bahwa manusia itu serba dimensi. Manusia tidak merasa utuh jika hanya kebutuhan-kebutuhan lahir jasmaninya saja yang terpenuhi. Tuntutan-tuntutan rohaninya pun harus terpuaskan. Pembanguan Indonesia ingin mewujudkan kemajuan jasmani yang seimbang dengan kepuasan rohaninya. Warisan kebudayaan kita mengajarkan hal itu, yang merupakan pandangan hidup kita sebagai bangsa.
Di bulan Juli 1986 Direktur Jenderal FAO Edouard Saouma, yang menyebut saya sebagai lambang perkembangan pertanian internasional datang di Jakarta untuk menyerahkan penghargaan, medali emas FAO, satu berukuran kecil dan satunya lagi lebih besar, berukiran timbul wajah saya dengan tulisan “President Soeharto-Indonesia” dan pada sisi lainnya bergambar seorang petani yang sedang menanam padi dengan tulisan “From Rice Importer to Self-Sufficiency“. Medali itu dikeluarkan oleh FAO sebagai penghargaan untuk memperingati keberhasilan Indonesia di bidang pertanian, khususnya dalam mencapai swasembada pangan.
Medali itu dicetak pada tahap pertama dalam jumlah yang cukup banyak dari emas, perak dan perunggu. Pada pencetakan berikutnya, medali-medali itu akan dijual dan hasilnya akan dipergunakan untuk membantu negara-negara yang kelaparan, serta untuk membiayai aktivitas FAO dan negara-negara yang memerlukan bantuan FAO.
Hendaknya Saudara bayangkan, seseorang yang lebih dari enam puluh tahun ke belakang masih anak bermandi lumpur di tengah kehidupan petani di desa Kemusuk, saat itu naik mimbar dan bicara di depan sekian banyak ahli dan negarawan dunia, sebagai pemimpin rakyat yang baru berhasil memecahkan persoalan yang paling besar bagi lebih dari 160 juta mulut.
***
[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal 1-5.
[2] Food and Agriculture Organization