Di tahun 1975 saya menemukan kesulitan berkenaan dengan Pertamina yang meminjam uang untuk melaksanakan proyek-proyeknya. Heboh terjadi mengenai soal hutang perusahaan minyak kita itu yang berhubungan dengan berbagai macam kontrak dalam dan luar negeri, berjumlah sekitar 10,5 milyar dollar AS. Sementara surat kabar gencar menyerang kebijaksanaan pimpinan Pertamina. Saya mesti memperdalam persoalannya. Saya mesti bersikap adil sementara saya pun tahu tipu muslihat di tengah dunia bisnis raksasa, seperti dunia perminyakan. Musuh Pertamina di luar negeri pun, yang iri kepada kita, banyak.
Dalam pada itu saya tidak menyembunyikan masalah-masalah serius yang ditimbulkan oleh krisis Pertamina itu. Saya didorong-dorong untuk mengambil tindakan. Padahal saya tahu dengan betul kapan waktunya mengambil tindakan dan tidak, dan hanya memberi teguran.
Kesulitan-kesulitan kita waktu itu memang cukup merisaukan, tetapi bukan tidak dapat diatasi. Jalan keluar kita ambil dan jalan itu kita tempuh dengan tetap berhati-hati. Kesulitan yang dialami Pertamina memang cukup parah. Terutama karena terlibat dalam kewajiban pembayaran hutang-hutang yang tidak terpikul lagi oleh kemampuan perusahaan minyak kita itu. Besarnya kewajiban-kewajiban itu disebabkan oleh meluasnya kegiatan Pertamina yang sebagian besar tidak langsung ada hubungannya dengan kegiatannya di bidang minyak.
Memang benar, pemerintah telah mengetahui dan bahkan menyetujui beberapa kegiatan Pertamina di luar minyak tersebut. Tetapi pengetahuan dan persetujuan adalah dalam rangka memperlancar pelaksanaan tugas pokoknya dan dengan syarat bahwa dana pembinaannya tidak boleh memberatkan perusahaan dan apalagi membebani Pemerintah.
Ternyata tanpa diketahui oleh pemerintah, mungkin didorong oleh besarnya keinginan untuk segera menyelesaikan proyek-proyeknya, Pertamina telah ditimbuni dengan berbagai kewajiban keuangan yang di luar kemampuannya. Baik yang berupa pinjaman jangka pendek maupun kewajiban keuangan dalam rangka kegiatan usaha yang tidak ekonomis. Dan itu sangat memberatkan, misalnya, sewa beli tanker samudera, pembangunan proyek-proyek lain yang menimbulkan hutang dagang yang besar.
Andaikata pemerintah tidak segera mengambil langkah-langkah untuk menyelamatkan Pertamina, pastilah Pertamina akan bangkrut dan tidak mungkin mengatasi masalahnya sendiri, karena beban itu sudah di luar kemampuannya. Keadaan ini pasti akan menimbulkan akibat yang lebih serius pada keadaan ekonomi keuangan negara.
Tindakan-tindakan yang diambil pemerintah waktu itu di satu pihak berupa penertiban ke dalam tubuh Pertamina. Dan di pihak lain berupa membantu Pertamina untuk menyelesaikan dan mengurangi secara maksimal beban yang harus dipikul oleh Pertamina.
Di samping itu, pemerintah juga telah menetapkan agar dilakukan penjualan sebagian dari kekayaan Pertamina yang berlebihan, baik kepada Pemerintah ataupun kepada pihak swasta.
Oleh karena itu, tidak benar dan tidak beralasan perkiraan atau kekhawatiran masyarakat bahwa karena besarnya hutang Pertamina, pemerintah terpaksa mengadakan devaluasi rupiah. Kita tidak akan dan memang tidak perlu mengadakan devaluasi rupiah waktu itu.
Alhasil, kejadian ini lebih dari sekedar masalah kesulitan keuangan. Masalah Pertamina itu sungguh merupakan pengalaman yang pahit dan harus menjadi pelajaran bagi kita semua, bagi semua aparatur pemerintah, bagi perusahaan-perusahaan milik negara. Betapa pun keinginan kita untuk mempercepat pembangunan, namun apabila pelaksanaan tidak dilakukan berdasarkan perhitungan-perhitungan yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan, akhirnya pasti akan mengalami kesulitan dan bahkan mungkin kegagalan.
Beberapa waktu kemudian, sewaktu meyampaikan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk tahun 1976/1977, saya kemukakan pendirian saya. Pemerintah sesungguhnya percaya dengan segala tindakan yang telah dijalankan dengan penuh keyakinan, masalah Pertamina dapat diselesaikan dan peningkatan pembangunan selama tahun 1976/1977 dan seterusnya akan berlangsung seperti yang diharapkan. Memang pada waktu itu jalan keluarnya telah kita dapatkan. Dan persoalan Pertamina terselesaikan.
Tuntutan yang gencar di tengah masyarakat saya diamkan dulu. Saya diamkan dulu air yang mendidih itu supaya saya bisa meminumnya. Setelah semua mata dan perhatian pun terarah kepada yang lain, maka kemudian pertukaran pimpinan Pertamina pun terjadi.
Saya tetapkan mengangkat kembali hampir semua anggota direksi yang lama untuk menjamin kelangsungan dan kelancaran tugas perusahaan, sementara Ibnu Sutowo diganti oleh Piet Harjono sebagai Dirutnya.
Saya tidak suka pada goncangan-goncangan yang tidak perlu dan malahan membahayakan dan merugikan. Namun tentu saja saya terus menguji kemampuan dan pengabdian mereka dalam rangka melaksanakan tugas mereka bagi keberhasilan tugas-tugas Pertamina.
***
[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip langsung dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal. 304-306.