Bubarkan PKI, Bubarkan Kabinet Dwikora dan Turunkan Harga
Gaduh yang memuncak tidak terhenti, gerah meliputi dunia kampus mahasiswa.
Di tengah suasana ini Kabinet Dwikora membuat langkah yang tambah menggoncangkan. Di bulan Desember 1965 terjadi penggantian uang dan uang lama diturunkan nilainya: yang Rp. 1.000,- dijadikan Rp. 1,-. Tentu saja keadaan menjadi tambah goyah dan panas. Lalu pemerintah menaikkan harga BBM yang menyebabkan harga karcis bus dan kendaraan umum lainnya naik juga. Tarif bus yang naik menjadi Rp. 200,- menjadi Rp. 1000,- menyebabkan para mahasiswa tidak tahan.
Kejadian ini ditafsirkan oleh sementara pihak sebagai usaha beberapa menteri untuk mengalihkan perhatian rakyat dari fokus pengganyangan Gestapu/PKI ke soal kenaikan harga, ke issue ekonomi.
Maka para mahasiswa berkumpul di gedung Fakultas Kedokteran, di Salemba. Lalu mengadakan demonstrasi di bulan puasa. Sementara saya mendengar para mahasiswa dan pemuda itu berseru-seru “Hidup Pak Harto! Hidup Pak Harto!”, saya berusaha keras, menjaga agar jangan sampai terjadi chaos. Kalau itu yang sampai terjadi, hancurlah kita semua dan PKI yang bakal bersorak.
Corat-coret di dinding-dinding, di jalan-jalan tambah menjadi-jadi. Dan tulisan-tulisan dengan huruf-huruf besar itu mulai mengarah pada soal-soal probadi Bung Karno disamping mencaci Subandrio dengan sebutan “Anjing Peking”, Chaerul Saleh dan beberapa orang lagi. “Stop impor istri”, tulisannya. Maka Bung Karno mulai memarahi mahasiswa.
Dalam periode ini lahir “Eksponen 66” seperti yang disebut para pelakunya sendiri, para mahasiswa yang aktif menentang kebijaksanaan pemerintah waktu itu. Tri Tuntutan Rakyat, “Tritura”, dikumandangkan, yaitu: Bubarkan PKI, retool (bubarkan) Kabinet Dwikora, dan turunkan harga.
Sementara pangkat saya dinaikkan pada tanggal 1 Februari 1996 menjadi Letnan Jenderal, saya berulang kali mengadakan hubungan dengan para mahasiswa itu. Saya mendengarkan pendapat mereka, keinginan mereka dan hasrat mereka. Saya merasa harus dekat dengan mereka, sebab merekalah yang bakal bisa membantu saya, menjaga jangan sampai terjadi kekacauan yang berlebihan. Chaos tidak boleh terjadi. Dan kalau para mahasiswa saja yang turun ke jalan, mereka akan bisa diajak bicara, mereka akan mengerti apa itu disiplin.
*
Di tengah bulan Januari para mahasiswa itu datang di Istana Bogor, sewaktu Kabinet bersidang di sana. Tentu saja terjadi kerepotan bagi para penjaga Istana untuk menahan luapan amarah mahasiswa itu. Saya berusaha menenangkan para mahasiswa itu.
Presiden Soekrano menerima delegasi KAMMI dan menjelaskan kepada mereka, betapa parahnya situasi ekonomi di Indonesia serta memberikan laporan Komisi Penelitian tentang apa yang terjadi di bulan-bulan Oktober, November, dan Desember yang baru lalu, halaman sejarah kita. Presiden mengemukakan memahami tuntutan para mahasiswa itu dan akhirnya menyatakan bersedia menurunkan harga minyak yang belum lama sudah dinaikkannya serta akan mencari jalan untuk menurunkan harga barang secara keseluruhan.
Namun, rupanya apa yang mengganjal di hati Bung Karno mengenai mahasiswa-mahasiswa itu tak tertahankan dan dalam pidato di Jakarta pada hari setelah Sidang Kabinet di Bogor, setelah bertemu muka dengan delegasi mahasiswa itu, Bung Karno menuduh mahasiswa itu dimanipulasi oleh kekuatan-kekuatan neokolonialis dan imperialis (Nekolim). Akibatnya, terjadilah kerusuhan antara anggota-anggota KAMI dengan mahasiswa yang pro Bung Karno.
Tetapi Lebaran menyetop keributan ini, sedikitnya untuk barang seminggu, atau sepuluh hari.
Lalu para mahasiswa di Jakarta dan Bandung bekerja sama dan mudik. Demonstrasi di jakarta disambung dengan di Bandung. Unjuk rasa di Bandung merembet ke Jakarta. Begitu juga stop kuliah di Jakarta menular ke kampus di Bandung.
Menteri PTIP Syarief Thayeb menangani soal ketertiban kuliah itu.
Kemudian Bung Karno, yang berusaha menekan kegaduhan yang mengarah kepadanya, memerintahkan untuk membentuk “Barisan Soekarno”. Saya lihat itu bisa berbahaya dan cepat saya cegat, saya tidak menyetujuinya. Maka terbendunglah bahaya pertarungan fisik yang bisa membawa banyak korban.
Para mahasiswa dari bandung bercampur dengan yang dari Jakarta menduduki gedung MPRS sambil mencoreti dinding-dinding. Unjuk rasa mereka sudah tambah mengarah lagi kepada pribadi Presiden Soekarno, di samping pada pembubaran PKI.
*
Pada tanggal 21 Februari 1966 Presiden Soekarno meretool kabinet menjadi “Kabinet Dwikora yang disempurnakan”. Jenderal Nasution tidak lagi didudukkannya sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan sementara saya ditetapkan menjadi Menteri/Panglima AD dan Kepala Staf Komando Tertinggi.
Pada waktu pelantikan kabinet baru tidak banyak memuaskan banyak pihak karena masih banyak wajah lama; para mahasiswa dan pemuda mengadakan demonstrasi, bergerak ke Istana. Mereka yang mengenakan jaket-jaket kuning itu menutup jalan dan mengempiskan ban-ban mobil. Tetapi para menteri berhasil mencapai Istana dengan menaiki helikopter dan sebagian berjalan kaki.
Para mahasiswa berusaha masuk ke Istana. Pasukan Cakrabirawa yang bertugas menjaga keamanan di dalam jadi repot. Bentrokan tidak terelakkan dan lepaslah peluru. Seorang mahasiwa, Arief Rachman Hakim jadi korban. Dan rasa duka meliputi bukan saja keluarga kampus, tetapi juga kami yang mengirimkan karangan bunga tanda turut sedih waktu penguburan mahasiswa yang malang itu.
Kejadian ini menyebabkan para mahasiswa tambah gundah dan menjadi marah. Maka mereka menaikkan lagi aksi-aksi mereka, sementara saya berusaha menenangkan mereka. “Kita harus tetap sabar, sewaktu kita tetap berusaha.” Itulah pegangan saya.
Saya kemudian berpesan kepada Kemal Idris, Kepala Staf Kostrad waktu itu, supaya melindungi anak-anak muda yang berdemonstrasi dari serangan Cakrabirawa. Saya menaruh harapan pada anak-anak muda yang mengadakan demonstrasi itu.
Arif Rachman Hakim diabadikan oleh teman-temannya dengan membentuk sebuah organisasi kesatuan aksi mahasiswa dan pelajar Resimen Arief Rachman Hakim.
Demonstrasi pun terjadi lagi, bergerak lagi dengan corat-coret di pelbagai tempat dan di berbagai kesempatan. Kemudian mereka mengalir ke arah kota, dan gedung Kedutaan RRC yang tadinya kukuh dipertahankan baik oleh penghuni itu maupun oleh kesatuan kita, di dobrak oleh gelombang demonstran itu.
- Penuturan Presiden Soeharto, dikutip langsung dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal 161-164.