Tak Akan Melupakan Para Pahlawan
Ketika saya kembali ke Kostrad dari istana Bogor, sudah tidak ada lagi persoalan merebut Halim dengan kekerasan. Untung sudah tidak ada di sana. D.N. Aidit sudah terbang ke Yogyakarta menggunakan Dakota AURI. Omar Dhani dan keluarganya diberi perlindungan oleh Presiden Soekarno di Istana Bogor.
Sarwo Edhie melaporkan waktu menyerang dan menduduki Halim, hanya ada sedikit pertempuran. Dari pihak kita hanya ada seorang yang gugur, dan dari pihak Angkatan Udara dua orang. Dalam pada itu suasan tegang yang diliputi pertanyaan mencekap adalah di mana adanya perwira-perwira kita yang di culik itu?. Sementara itu reaksi masyarakat terhadap “Gerakan 30 September” muncul secara spontan. “Badan Koordinasi Pengganyangan Kontra Revolusioner Gerakan 30 September” berdiri dengan pimpinannya antara lain Subchan ZE. Mereka menyerukan satu aksi bersama untuk menghancurkan Gestapu/PKI itu.
Di tengah suasana mencari para perwira yang diculik itu seorang Polri, Sukitman, yang ditawan oleh gerombolan G.30.S/PKI. Ia menceritakan pengalamannya. Ia ditawan oleh gerombolan yang melakukan penculikan di rumah Jenderal Pandjaitan dan dibawa ke Lubang Buaya. Ia di tempatkan di sebuah rumah, tetapi kemudian berhasil meloloskan diri. Berdasarkan petunjuk Sukitman itu kami ketahui, bahwa para perwira yang kami cari itu sudah dibunuh. Mayat mereka dimasukkan dalam sebuah sumur tua sudah kering.
Maka saya perintahkan untuk menemukan sumur itu dan menggalinya. Baru pada tanggal 4 Oktober penggalian dilakukan dengan bantuan dari anggota-anggota Kesatuan Inti Para Ampibi (Kipam) dari KKO-AL dengan menggunakan alat-alat seperti tabung zat asam. Untuk mendapatkan sumur yang dimaksud Sukitman memang memakan waktu.
Benar, jenazah para perwira itu kemudian ditemukan. Saya sendiri menyaksikan pengangkatan jenazah-jenazah itu yang terdapat di dalam sumur yang sudah mati, ditimbuni dengan sampah, daun singkong dan tanah secara berselang-seling. Amat memilukan! Amat menyedihkan!
Tengah hari, pukul 12.00 diangkat jenazah yang teratas, jenazah Pierre Tendean. Kemudian diangkat dua jenazah yang diikat menjadi satu. Ternyata itu jenazah Mayjen. Soeprapto dan Mayjen. S. Parman. Saya hampir-hampir tidak percaya, bahwa kebiadaban orang-orang G.30.S./PKI itu bisa sampai demikian. Sesudah itu diangkat lagi tiga jenazah yang juga diikat jadi satu. Jenazah Letjen. A Yani, Mayjen. Harjono M.T. dan Brigjen. Sutojo Siswomihardjo Nampak di depan mata saya yang basah. Saya gemetar menyaksikannya sambil menggigit bibir. “Saya tidak akan melupakan kejadian ini,” kata saya di dalam hati. “Sungguh, saya tidak akan melupakannya.” Siapa pula yang bisa melupakan kejadian yang biadab seperti ini !. Lalu satu lagi jenazah diangkat dan itu jenazah Brigjen. D.I. Pandjaitan. Semua jenazah dalam keadaan rusak akibat penganiayaan.
Lengkap sudah tujuh jenazah mereka yang hilang, diculik tiga hari yang lalu. Enam jenderal kita dan satu perwira pertama. Korban tindakan-tindakan biadab petualang-petualang G.30.S/PKI. Kemudian saya berpidato dalam keadaan jiwa yang luka tetapi harus tetap teguh.
Saya berterus terang di dalam pidato saya itu bahwa kita ketahui, daerah Lubang Buaya itu termasuk daerah Lapangan Halim. Fakta, bahwa dekat sumur ini adalah pusat pelatihan Sukwan dan Sukwati yang dilaksanakan oleh Angkatan Udara. Yang dilatih di sini Pemuda Rakyat dan Gerwani. Mungkin mereka itu sedang latihan dalam rangka pertahanan di pankalan. Tetapi ternyata, menurut anggota Gerwani yang dilatih di sini dan tertangkap di Cirebon, ia itu dari Jawa Tengah, jauh dari daerah Halim.
“Jadi,” kata saya selanjutnya, “mungkin apa yang diamanatkan oleh Bapak Presiden, Pimpinan Besar Revolusi yang sangat kita cintai bersama, bahwa AU tidak terlibat dalam persoalan ini, ada benarnya. Tetapi tidak mungkin tidak ada hubungan antara oknum-oknum anggota AU dalam peristiwa ini”.
“Oleh sebab itu,” kata saya seterusnya, “saya sebagai warga Angkatan Darat mengetuk jiwa, perasaan patriot anggota AU, bilamana ada benar-benar ada oknum-oknum yang terlibat dengan pembunuhan yang kejam atas para jenderal kita yang tidak berdosa ini, saya mengharapkan agar AU membersihkan anggota-anggota AU yang terlibat di dalam petualangan ini.
“Saya sangat berterima kasih, bahwa akhirnya Tuhan member petunjuk yang terang, jelas kepada kita sekalian, bahwa setiap tindakan yang tidak jujur, setiap tindakan yang tidak baik, pasti akan terbongkar.”
Lalu saya ucapkan terima kasih kepada satuan khusus dari resimen Parako, anggota-anggota KKO, dan satuan lainnya, serta kepada rakyat yang telah membantu menemukan bukti ini dan turut mengangkat jenazah sehingga seluruh korban dapat kami temukan.
Kemudian jenazah-jenazah itu diangkut dari Lubang Buaya ke RSPAD, lalu ke Markas Besar ANgkatan darat dan disemayaman di sana selama satu malam. Pada waktu itu saya berjaga-jaga semalam suntuk di sisi teman-teman seperjuangan yang sudah tinggal jenazahnya.
Esok harinya, tanggal 5 Oktober 1965, bertepatan dengan hari ABRI ke-20, jenazah-jenazah para Pahlawan Revolusi itu, masing-masing diangkut dengan sebuah kendaraan berlapis baja (panser) dengan dikawal Perwira Tinggi, diberangkatkan dari Markas Besar Angkatan Darat ke Taman Makam Pahlawan Kalibata untuk dimakamkan.
Jenderal Nasution berpidato waktu melepas jenazah-jenazah itu dengan mengatakan antara lain, bahwa Perwira AD itu gugur akibat fitnahan, dituduh pengkhianat oleh orang-orang yang tidak bermoral.
“Fitnah lebih jahat daripada pembunuhan,” kata Jenderal Nasution dengan tekanan.
Jenderal Nasution yang mengucapkan kata-kata itu tanpa teks, menekankan pula pada tugas kita, menegakkan kejujuran, kebenaran dan keadilan, dan bahwa kita jangan mendendam, serta keharusan kitalah untuk tetap beriman kepada Allah Subhanahu Wataala.
Rakyat berjejal sepanjang jalan yang dilewati oleh mobil-mobil berlapis baja yang mengusung jenazah para pahlawan kita menuju Kalibata, memberikan penghormatan terakhir di tengah hujan rintik-rintik. Saya yakin, mereka tahu bahwa para perwira yang jenazahnya lewat di depan mereka itu adalah perwira-perwira yang telah mendharma-baktikan seluruh hidupnya untuk tanah air dan bangsa.
Bung Karno tak hadir dalam kesempatan pemakaman pahlawan ini.
Sementara itu saya sempat sebentar merenung, berfikir, apa akan jadinya kalau saran PKI untuk menyusun Angkatan ke-V itu disetujui waktu itu?. Pasti akan lebih kacau lagi keadaan di tengah kehidupan kita. Maka jadinya, kita harus bersyukur bahwa bencana yang lebih besar tidak terjadi di negeri ini. Kepada-Nyalah kita menyampaikan syukur kita itu.
*
Sejak menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri apa yang di dapat di Lubang Buaya, kegiatan saya yang utama adalah menghancurkan PKI, menumpas perlawanan mereka di mana-mana, di Ibukota, di daerah-daerah, dan di pegunungan tempat pelarian mereka. Mereka masih mencoba mendirikan kubu pertahanan sewaktu kami mengejar mereka.
Tetapi saya tidak mau melibatkan AD secara langsung dalam pertentangan-pertentangan itu, kecuali pada saat-saat yang tepat dan terpaksa. Saya lebih suka memberikan bantuan kepada rakyat untuk melindungi dirinya sendiri dan membersihkan daerahnya msing-masing dari benih-benih yang jahat.
*
Apa yang terjadi di Jakarta itu ternyata merembet ke tempat-tempat lain. Apa yang dilakukan oleh orang-orang G.30.S/PKI di Jakarta itu ternyata dilakukan juga di Semarang, di Yogya, di Solo, dan di tempat lainnya. Gayanya serupa. Di Semarang tokoh G.30.S/PKI di sana, Sahirman (ex. Kolonel) juga pertama-tama merebut studio RRI Semarang dan mengumumkan Komando G.30.S/PKI itu, tanggal 1 Oktober 1965 pukul 13.00 siang. Tanggal 2 Oktober pagi, pukul 06.55 ia masih mengumumkan “komando” nya itu dan menyebut dirinya sebagai Komandan G.30.S/PKI Jawa Tengah. Terlihat sekali, bahwa gerakan khianat ini direncanakan sampai ke beberapa daerah dan pulau lain. Di Kentungan, Yogyakarta mereka membunuh dengan kejam Komandan Resimen Kolonel Katamso dan Kepala Stafnya Letkol. Gijono. Gijono inilah yang menjadi ajudan merangkap Perwira Operasi pada waktu saya memimpin serangan umum di Yogya termasuk serangan Umum 1 Maret 1949.
Sebab itu saya mesti mengadakan tindakan yang cepat tetapi pasti. Saya mesti mengadakan pengejaran, pembersihan dan penghancuran. Waktu itu saya terus memperjuangkan perluasan basis operasi pemulihan keamanan dan ketertiban umum yang mula-mula hanya daerah Jakarta Raya dan Jawa Barat saja.
Sementara itu Presiden Soekarno mengumumkan sikap yang sama sekali lain daripada tindakan dan langkah-langkah yang saya buat. Lebih-lebih perbedaan paham itu terasa, setelah Bung Karno mengatakan bahwa apa yang terjadi dengan G.30.S itu hanyalah “een rimpeltje in de ocean” (sebuah riak kecil di Samudera).
- Penuturan Presiden Soeharto, dikutip langsung dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal 133-137