Komitmen Pak Harto Terhadap Koperasi
KOPERASI SEBAGAI KEKUATAN EKONOMI NASIONAL
Oleh : Koos Arumdanie[1]
Melanjutkan konsepsi “Bapak Koperasi Indonesia”, Bung Hatta yang telah menuangkan Pasal 33 di dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pak Harto adalah sosok Pemimpin Negara Kesatuan Republik Indonesia yang secara konsisten membangun perekonomian nasional berlandaskan kekuatan rakyat dalam falsafah gotong-royong. Makna gotong-royong atau kebersamaan ini tentu bukan sekedar lips service yang menggantung di bibir. Ekonomi kerakyatan yang dicanangkan Pemerintah Orde Baru itu adalah pengeterapan Undang-Undang Dasar 1945, yang dibangun secara bertahap sesuai situasi dan kondisi negeri ini. Baik di dalam tataran kesiapan kemampuan tingkat kecerdasan rakyat maupun kemampuan keuangan negara. Dan jangan lupa, Koperasi sebagai Sokoguru tak bisa kita lepaskan dari tujuan akhir pembangunan di bidang ekonomi.
Hingga kini masih terdengar nada minor didengang-dengungkan sejumlah masyarakat atau pun pengamat yang menuding bahwa konsep pembangunan ekonomi yang diterapkan Pak Harto melalui Pemerintahan Orde Baru adalah sekedar mengejar “pertumbuhan” dan melalaikan aspek “pemerataan”. Apakah benar demikian? Padahal konsepsi “Trilogi Pembangunan” yang dicanangkan Pak Harto, “pertumbuhan” dan “pemerataan” termaktub di dalam satu ikatan.
Sayangnya, saya bukan seorang ekonom atau ahli ekonomi. Tetapi saya mencoba menguraikan runutan awal pembangunan nasional yang dilaksanakan Orde Baru sesuai dengan kapasitas sebagai mantan wartawati yang sempat bertugas meliput kegiatan Presiden Soeharto (1967-1983). Melalui fakta-fakta yang ada, saya akan berupaya merunut langkah-langkah Pak Harto pada saat-saat membenahi perekonomian nasional melalui sektor pertanian dan koperasi. Saya tak akan menyentuh sektor-sektor lain dalam dimensi pembangunan ekonomi yang lebih luas.
Perjalanan Panjang Perkoperasian Di Indonesia
Kisah perjalanan serta perjuangan perkoperasian Indonesia tak selalu mulus. Semenjak zaman penjajahan Hindia-Belanda masa pendudukan Jepang, Pemerintahan Orde Lama hingga Pemerintah Orde Baru, kehidupan perkoperasian di Indonesia mengalami pasang-surut koperasi. Berawal dari keinginan kaum “Bumiputra” untuk memperbaiki nasibnya yang tertindas oleh terjadinya penjajahan. Peraturan demi peraturan serta dari undang-undang keundang-undang selalu silih berganti mengisi khasanah kehidupan rakyat dalam rangka menopang kiprah Gerakan Koperasi. Tentu semua itu demi kepentingan politik pada masanya. Bahkan pada tahun 1965, koperasi telah dijadikan “organisasi ekonomi maupun sebagai salah-satu alat revolusi”. Selain politik pemerintah pada saat itu yang bergerak ke kiri, koperasi nyaris dimainkan sebagai wadah “kolektivisme negara” .
Pada tahun 1895 pernah terjadi terobosan dari seorang priyayi di Purwokerto (Jawa Tengah) yang mendirikan “Bank Priyayi”. Walaupun pada saat itu belum terdapat peraturan tentang badan hukum koperasi, namun secara operasional bank ini mirip koperasi. Bank Priyayi merupakan Bank Simpan Pinjam Pegawai Negeri Purwokerto, bertujuan untuk membantu para pegawai negeri Purwokerto yang sering menjadi korban para lintah darat. Tatkala tahun 1915, sesungguhnya Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sudah mengeluarkan berbagai peraturan perundangan. Namun langkah-langkah pembinaannya hanya sebagai tanggapan atau gugahan kebangkitan anak-anak negeri yang ingin memperbaiki nasibnya.
Perintisan dan pengembangan koperasi masa itu, bermula dari dorongan semangat kebangsaan yang pada awalnya dilandasi perasaan senasib secara ekonomi di kalangan Bumiputra. Pergerakan nasional pada peralihan abad (1895-1908) selain kehendak rakyat mencapai kemerdekaan juga bertujuan untuk memperbaiki kesejahteraan. Sehingga perekonomian menjadi program terpenting dari setiap organisasi pergerakan nasional yang terbentuk pada saat itu. Seperti yang dikatakan oleh Bung Hatta (alm) :
“Rakyat yang lemah ekonominya tidak akan dapat membentuk negara yang kuat, dan ekonomi akan tetap lemah, apabila rakyat yang terbanyak masih buta huruf”.
Mengantisipasi perkembangan koperasi yang sudah mulai memasyarakat, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan perundangan tentang perkoperasian. Pertama, diterbitkan Peraturan Perkumpulan Koperasi No. 43, Tahun 1915, lalu pada tahun 1927 dikeluarkan pula Peraturan No. 91, Tahun 1927, yang mengatur Perkumpulan-Perkumpulan Koperasi bagi golongan Bumiputra. Pada tahun 1933, Pemerintah Hindia-Belanda menetapkan Peraturan Umum Perkumpulan-Perkumpulan Koperasi No. 21, Tahun 1933. Peraturan tahun 1933 itu, hanya diberlakukan bagi golongan yang tunduk kepada tatanan hukum Barat, sedangkan Peraturan tahun 1927, berlaku bagi golongan Bumiputra. Diskriminasi pun diberlakukan pada tataran kehidupan berkoperasi.
Organisasi “Boedi Oetomo” dan “Serikat Islam” misalnya, telah membentuk koperasi-koperasi rumahtangga atau toko-toko koperasi (koperasi konsumsi), koperasi-koperasi simpan-pinjam, koperasi lumbung, koperasi produksi, koperasi pembangunan rumah dan koperasi pembebasan hutang. Dari seluruh kegiatan koperasi tersebut, hanya koperasi simpan pinjam yang mengalami perkembangan signifikan.
Pada masa Pendudukan Jepang, kehidupan perkoperasian di Indonesia tetap berlangsung. Tatkala itu, Peraturan No. 91, Tahun 1927, produk masa penjajahan Hindia Belanda tetap diberlakukan. Namun dibatasi dengan peraturan baru, Undang-Undang No. 23, Tahun 1943, tentang izin mendirikan perkumpulan serta menyelenggarakan sidang. Ketika pemerintah militer Jepang berkuasa, pada kenyataannya perkumpulan-perkumpulan (koperasi) milik bumiputra itu dijadikan sarana untuk mengumpulkan hasil bumi yang diperlukan sebagai pendukung kebutuhan Jepang dalam peperangan Asia Timur Raya.
Perjuangan menyatukan pergerakan koperasi se Indonesia, diawali oleh para pemimpin Gerakan Koperasi di Jawa Barat akhir tahun 1946 dengan mengadakan konferensi di Ciparay (Jawa Barat). Konferensi menghasilkan pembentukan Pusat Koperasi Priangan, yang salah satu missi utamanya adalah menyelenggarakan Kongres Koperasi ke I seluruh Indonesia. Dikemudian hari, Kongres pertama itu berlangsung di Kota Tasikmalaya, tanggal 11-14 Juli 1947. Lalu,tanggal 12 Juli 1947 membentuk Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia (SOKRI) yang berkedudukan di Tasikmalaya (Bandung sebagai ibukota provinsi diduduki oleh tentara Belanda).
Dari Kongres ini pula ditetapkan tanggal 12 Juli 1947 sebagai titik awal Hari Koperasi Indonesia. Akan tetapi sejak zaman penjajahan Belanda, sejarah koperasi dalam bangun-organisasi sudah melalui perjalanan yang sangat panjang. Lebih ke belakang lagi, dalam kejiwaan dan semangat – gotong royong – telah menjadi tradisi suku-suku bangsa di seluruh Nusantara, koperasi telah diyakini sebagai gerakan strategis untuk mensejahterakan masyarakat.
Kehidupan Gerakan Koperasi di Indonesia diselimuti suasana pancaroba politik (1950-1965). Pada tahun 1950-an ditandai dengan disyahkannya Undang-Undang No. 79, Tahun 1958, yang menggantikan peraturan-peraturan tentang perkoperasian (No. 179, Tahun 1949). Kembalinya Republik Indonesia ke Undang-Undang Dasar 1945 (Juli 1959), menjadikan Undang-Undang No. 79, Tahun 1958 yang mendasarkan pada Undang-Undang Dasar Sementara (1950) itu tidak efektif lagi. Apalagi dianggap sudah tidak sesuai dengan Manifesto Politik yang dicanangkan Presiden Soekarno (alm).
Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959, membawa pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 60, Tahun 1959, Tentang Perkembangan Gerakan Koperasi untuk menggantikan Undang-Undang No. 79, Tahun 1958, yang tadinya disyahkan berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara. Salah-satu fungsi koperasi yang tertera dalam PP No. 60/1959 tersebut, adalah sebagai “alat untuk melaksanakan ekonomi terpimpin berdasarkan sosialisme ala Indonesia”. Maka untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah itu, kemudian Presiden Soekarno membentuk Departemen Transmigrasi, Koperasi dan Pembangunan Masyarakat Desa (Transkopemada) yang dipimpin oleh Menteri Achmadi (alm). Disinilah koperasi mulai berada di persimpangan jalan.
Pada masa itu koperasi telah dijadikan alat politik. Departemen yang baru seumur jagung (Trankopemada), dirubah menjadi Departemen Transmigrasi dan Koperasi, Moh. Achadi (alm) ditunjuk sebagai menterinya. Pada masa Moh. Achadi inilah terbit Undang-Undang No. 14, Tahun 1965, Tentang Perkoperasian, yang disyahkan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong (DPR-GR) pada 2 Agustus 1965. Undang-undang ini sarat bermuatan politik, tercermin dari diselenggarakannya Musyawarah Nasional Koperasi II (musyawarah I diadakan di Surabaya, 1961), dari tanggal 2-11 Agustus 1965. Di sini Menteri Transmigrasi dan Koperasi (Moh. Achadi), Menteri Dalam Negeri (Dr. Soemarno Sostroatmodjo – alm) dan Menteri/Sekjen Front Nasional (Soedibjo – alm), menandatangani serta mengesyahkan keputusan bersama menetapkan Presiden Soekarno sebagai “Bapak Koperasi, Pemimpin Tertinggi Gerakan Koperasi Indonesia dan Revolusi”.
Bila kita simak, sejak awal kehidupan perkoperasian di negeri ini, peraturan-peraturan serta undang-undang yang menopangnya selalu silih-berganti. Semua itu dilakukan, jelas disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi pemegang kekuasaan pada saatnya. Demikian pula organisasi wadah Gerakan Koperasi Indonesia, dari masa ke masa mengalami pasang-surut. Tak terlepas dari kepentingan-kepentingan politik penguasa. Apa mau dikata? Itulah fakta yang terpampang dalam sejarah perjalanan perkoperasian di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda hingga tahun 1966. Lalu bagaimana pada periode selanjutnya, ketika Orde Baru memimpin negeri ini?
Langkah Awal Menata Perkoperasian
Menyimak Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945, Pasal 33, Tentang Perkoperasian di Indonesia, kita harus menyadari bahwa koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat maupun sebagai badan usaha berperan-serta untuk mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Penjelasan dalam Pasal 33, menempatkan koperasi baik dalam kedudukan sebagai sokoguru perekonomian Nasional maupun sebagai bagian integral dalam tata perekonomian Nasional.
Tatkala Indonesia memasuki era pembaharuan yang dipimpin Pak Harto, menitikberatkan pada pembangunan nasional dengan semangat dan kekuatan baru. Di bawah Kepemimpinan Jenderal Soeharto pada masa peralihan itu, beliau mementingkan berkarya membangun bangsa dan negara mengutamakan sektor pertanian yang ditopang oleh koperasi.
Perlu kita ingat langkah awal Pak Harto di tahun 1967, ketika masih menjadi Pejabat Presiden. Pada awal-awal tahun tersebut arah perhatian pembangunan tertuju pada sektor pertanian dan koperasi. Langkah awalnya, membenahi kondisi perkoperasian di Indonesia. Di bawah naungan Menteri Perdagangan dan Koperasi yang dipimpin oleh Ashari Danudirdjo (alm) dan Achmad Tirotsudiro (alm) sebagai Deputi Menteri Bidang Koperasi, perubahan pun diawali. Pak Harto mengembalikan koperasi pada azas yang sebenarnya dan melepaskan dari pengaruh-pengaruh politik.
Tatkala itu Menteri Ashari mendapat tugas untuk merumuskan Rancangan Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Perkoperasian, guna menggantikan Undang-Undang No. 14, tahun 1965. Ashari bersama DPR-GR membahas Rancangan Undang-Undang, Tentang Pokok-Pokok Perkoperasian yang akan menjadi landasan kebangkitan perkoperasian selepas runtuhnya pemerintah Orde Lama.
Tahun 1967 itu juga, Menteri Perdagangan dan Koperasi menyerahkan urusan koperasi dan berkas Rancangan Undang-Undang tersebut kepada Menteri Dalam Negeri, Basuki Rachmat (alm). Sejak saat itu urusan koperasi berada di bawah naungan Direktorat Jendral Koperasi, Departemen Dalam Negeri. Hanya dalam waktu singkat, Desember 1967 terbitlah Undang-Undang No. 12, Tahun 1967, Tentang Pokok-Pokok Perkoperasian, sebagai pengganti Undang-Undang No.14, Tahun 1965.
Sesuai tuntutan situasi tahun 1968 — pasca peristiwa kudeta G-30-S/PKI –, urusan koperasi dikendalikan Menteri Transmigrasi dan Koperasi M. Sarbini. Pada saat-saat itu merupakan periode pelaksanaan Undang-Undang No. 12, Tahun 1967 dan masa pelaksanaan proses rehabilitasi koperasi dalam penyesuaian Undang-Undang Perkoperasian yang baru.
Kiprah Orde Baru
Seusai Pak Harto dilantik menjadi Presiden RI ke II pada 27 Maret 1968, merupakan awal berkiprahnya Pemerintahan Orde Baru. Program utamanya, melakukan pemulihan ekonomi dengan mengatasi inflasi yang mencapai 650% serta hutang luar negeri sebesar US$. 2,5 miliar. Maka diibentuklah Kabinet Pembangunan I, terdiri dari para ahli ekonomi, kalangan universitas dan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Pemerintah Orde Baru menyadari landasan perekonomian Indonesia yang bertumpu pada Undang-Undang Dasar 1945 (UUD ’45), Pasal 33, adalah pijakan ampuh dalam pembangunan ekonomi nasional. Melalui kebijakan Pemerintahan Orde Baru, Gerakan Koperasi Indonesia kembali pada azas dan sendi dasar. Koperasi dibangun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. Pembangunan koperasi merupakan tugas dan tanggungjawab Pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia.
Mencermati Undang-Undang Perkoperasian yang baru itu, Pak Harto memiliki tahapan konsep pembangunan ekonomi rakyat terpadu. Bermakna kebersamaan dalam mengisi roda pembangunan. Tujuan pembangunan nasional adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material serta spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.
Dalam konstalasi pembangunan nasional, memimpin Pemerintahan Orde Baru, perhatian Presiden Soeharto tidak hanya tertumpah pada pembangunan politik dan ekonomi secara umum, tetapi secara khusus beliau sepenuhnya memberikan perhatian kepada pembangunan koperasi. Beliau melanjutkan pemikiran besar Bung Hatta yang sudah tertuang di dalam konstitusi.
Sesuai Undang-Undang No.12, Tahun 1967, merupakan saat-saat merehabilitasi koperasi-koperasi agar sejalan dengan undang-undang baru tersebut. Maka periode tahun 1967/1968, pemerintah secara cermat melakukan rehabilitasi dan konsolidasi terhadap koperasi berdasarkan prinsip-prinsip yang sesuai dengan jatidirinya.
Pada Pelita I yang dicanangkan landasan awal pembangunan Pemerintahan Orde Baru. Titik berat Pelita I adalah pembangunan di sektor pertanian yang bertujuan mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan sektor pertanian. Pembangunan ditekankan pada penciptaan institusi pedesaan sebagai wahana pembangunan dengan membentuk Bimbingan Massal (Bimas) yang diperuntukkan meningkatkan produksi beras dn koperasi sebagai organisasi ekonomi masyarakat pedesaan. Sekaligus menjadi kepanjangan tangan pemerintah dalam menyalurkan sarana pengolahan dan pemasaran hasil produksi. Di sisi lain pemerintah juga menciptakan Badan Urusan Logistik (BULOG) sebagai penyangga, penyalur dan stabilitas komoditi beras yang dihasilkan petani di pedesaan.
Tujuan Pelita I, meningkatkan taraf hidup rakyat melalui sektor pertanian yang ditopang oleh kekuatan koperasi dan sekaligus meletakkan dasar-dasar pembangunan dalam tahapan berikutnya. Sayangnya, awal pelaksanaan Bimas tersebut dinyatakan gagal. Pada tahap pembelajaran selama Pelita I tersebut dijadikan pengalaman dan landasan positif untuk kelanjutan pembangunan nasional berikutnya.
Belajar dari kegagalan, kemudian pemerintah melibatkan para petani melalui koperasi yang bertujuan memperbaiki produksi pangan nasional. Untuk itu kemudian pemerintah mengembangkan ekonomi pedesaan dengan menunjuk Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada dengan membentuk Badan Usaha Unit Desa (BUUD). Maka lahirlah Koperasi Unit Desa (KUD) sebagai bagian dari derap pambangunan nasional. Badan Usaha Unit Desa (BUUD)/KUD melakukan kegiatan pengadaan pangan untuk stock nasional yang diperluas dengan tugas menyalurkan sarana produksi pertanian (pupuk, benih dan obat-obatan
Presiden RI ke II ini sangat menghayati nuansa pedesaan. Oleh karenanya tak ayal lagi bila Pemerintah Orde Baru dalam gerak langkah pembangunannya mengutamakan sektor pertanian sebagai tumpuan harapan masa depan Bangsa Indonesia. Konsepsinya, berdasarkan keyakinan Pak Harto untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, tak lain dan tak bukan gotong-royong dalam koperasi merupakan solusi terbaik untuk mengatasi kemiskinan rakyat pedesaan.
Pak Harto pun segera membangun Indonesia dengan strategi “Trilogi Pembangunan”; menciptakan stabilitas nasional, “pertumbuhan” ekonomi dan “pemerataan” hasil-hasil pembangunan. Tugas utama pemerintah disebut Panca Krida Kabinet Pembangunan; stabilitas politik (dalam dan luar negeri), penyelenggaraan pemilihan umum, pengembalian ketertiban dan keamanan, penyempurnaan dan pembersihan aparatur negara serta stabilitas ekonomi.
Tak lama setelah program tersebut berjalan, Pak Harto melihat kenyataan yang menunjukkan perkembangan koperasi jauh tertinggal dari pelaku ekonomi lainnya, BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan Swasta. Oleh karena itu, tahun 1970 pemerintah Orde Baru mendirikan Lembaga Jaminan Kredit Koperasi (LJKK), sebagai terobosan yang digagas Presiden Soeharto untuk mendukung perkembangan koperasi. Pada saat inilah Prof. DR. Subroto memimpin Departemen Transmigrasi dan Koperasi (1972).
Secara realitas koperasi di Indonesia menjadi tumpuan kehidupan masyarakat, terutama bagi masyarakat yang tak mampu menjangkau jalur perbankan. Lembaga Keuangan Perbankan memberikan pinjaman dengan bunga tak seirama dengan penghasilan mereka. Kenyataan yang terpampang pada saat itu, 80% rakyat Indonesia menggantungkan kehidupannya dari sektor pertanian. Pak Harto juga melihat Indonesia sebagai negara tropis yang terbentang dari Sabang hingga Merauke dan dari Mianggas sampai ke Pulau Rote memiliki lahan luas yang bisa dijadikan lahan-lahan pertanian baru. Konsepsi dan strategi pembangunan Orde Baru pun muncul dari sosok Pak Harto. Terbentuknya Koperasi Unit Desa (KUD) adalah gagasan orisinal Pak Harto. Selanjutnya, perkembangan koperasi di Indonesia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan nasional Bangsa Indonesia, sebagai komitmen Pak Harto untuk mensejahterakan rakyatnya.
Perjalanan Incoqnito Pertama
Syahdan, Pak Harto melakukan perjalanan ke beberapa provinsi meninjau daerah pedesaan.Tercatat pada tahun 1970, Presiden Soeharto melakukan perjalanan incognito pertamanya. Serangkaian kunjungan dilakukannya untuk mengetahui secara langsung kemajuan para petani di pedesaan dan tentunya ingin menyaksikan perkembangan program Bimbingan Massal. Dalam perjalanan incoqnito tersebut beberapa rekan wartawan senior turut serta. Diantaranya, Soedjarwo dari RRI, Patti Rajawane dari LKBN Antara, Willy Karamoy (alm) dari TVRI serta beberapa rekan lainnya (baca buku berjudul Incoqnito yang ditulis oleh Sdr. Mahpudi).
Dari serangkaian perjalanan yang beliau tempuh dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur serta Pulau Dewata (Bali), berbagai kenyataan disaksikan langsung. Melalui rute perjalanan yang beliau tempuh, berbagai lokasi menjadi persinggahannya. Komunikasi dengan rakyat pedesaan terjalin langsung. Ketika perjalanan menuju Jawa Timur, Pak Harto melalui Jawa Tengah dan singgah di Kabupaten Sleman. Di Desa Tempel, Kabupaten Sleman (Yogyakarta) yang merupakan salah satu daerah tempat percobaan aktivitas BUUD (cikal bakal KUD). Mengapa beliau juga singgah di desa ini? Di sinilah Pak Harto meletakkan harapannya, keberhasilan dari desa yang dijadikan pilot project Bimas akan dijadikan percontohan untuk desa-desa lainnya. Yang jelas, dari kunjungan incoqnito, Pak Harto bisa berdialog langsung khususnya dengan para petani setempat.
Perjalanan incoqnito Pak Harto, tentu tidak semata-mata hanya menjalankan satu missi. Sebagai seorang Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, incoqnito mengemban missi multi dimensi. Dimensi pembangunan ekonomi (khususnya pertanian), sosial-politik, keamanan serta dalam rangka melihat langsung hasil-hasil kinerja para pembantunya. Perjalanan incoqnito itu sebagai wujud kepedulian beliau terhadap situasi dan kondisi di pedesaan. Latar belakang belakang sebagai seorang militer, incoqnito bisa diartikan sebagai inspeksi. Inspeksi atas pengeterapan kebijakan pemerintah, sekaligus melakukan komunikasi langsung dengan rakyatnya. Beliau ingin lebih mendalami permasalahan rinci yang menghimpit rakyat pedesaan.
Sehingga perjalanan incoqnito Presiden Soeharto, saya simpulkan sebagai wacana untuk melakukan monitoring terhadap hasil kinerja para pembantunya (pelaksana kebijakan Presiden), seperti yang telah terurai di atas. Bahwa dalam perjalanan tersebut beliau menemui para ulama di beberapa Pondok Pesantren, mereka adalah bagian dari rakyat Indonesia. Apalagi mayoritas penduduk kita menganut agama Islam, yang dibeberapa pondok pesantren telah terbangun koperasi. Seperti Pondok Pesantren Moderen Gontor, sejak tahun 1953 telah memiliki koperasi.
Saya juga menilai perjalanan incoqnito pertama Pak Harto itu sebagai wahana mendekatkan diri dengan masyarakat, pasca terjadinya kudeta G-30-S/PKI. Di mana sebagian rakyat di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan di Pulau Dewata (Bali) masih terhempas dari peristiwa berdarah tersebut. Pak Harto ingin memastikan keamanan, situasi dan kondisi di pedesaan sudah kondusif untuk melanjutkan pembangunan nasional melalui sektor pertanian yang ditopang oleh koperasi.
Pemimpin Yang Cermat
Ada beberapa catatan saya, ketika Pak Harto segera mengalihkan jabatan Ashari Danudirjo dari Menteri Perindustrian Tekstil Kabinet 100 Menteri) menjadi Menteri Perdagangan dan Koperasi yang ditugasi merancang Undang-Undang No.12, tahun 1967, Tentang Perkoperasian. Setelah itu dijadikan Duta Besar RI untuk Jepang. Pengangkatan Ashari menjadi Duta Besar mempunyai makna strstegis, terkandung missi mempercepat pelaksanaan bantuan Jepang dalam kerangka alih teknologi pertanian.
Kemudian Jenderal M. Yusuf (alm) yang saat itu masih berpangkat Brigadir Jenderal ditugasi menduduki pos di Jepang, sebagai Attache Perindustrian. Posisi M. Yusuf kemudian dialihkan menjadi Menteri Perindustrian yang juga sangat strategis. Konsepsi pembangunan nasional di bawah Pemerintahan Orde Baru segera akan mengadopsi teknologi pertanian industri pangan serta industri lainnya yang dipastikan dapat diandalkan dari Pemerintah Jepang melalui “pampasan perang”.
Mengenai “pampasan perang” ini, perlu diingat bahwa pelantikan Pak Harto menjadi Presiden RI ke II berlangsung di Gedung DPR/MPR, Senayan Jakarta tanggal 27 Maret 1968 di malam hari. Keesokan harinya Presiden Soeharto langsung melakukan lawatan ke luar negeri pertamanya menuju Tokyo, Jepang. Di negeri Matahari Terbit itu, beliau secara halus “menagih janji” kepada Pemerintah Jepang agar segera membantu pembangunan perekonomian Indonesia — khususnya di sektor industri pertanian dan industri lainnya – melalui dana “pampasan perang”.
Kita tengok kembali individu-individu yang menerima tugas dan tanggungjawab dari Presiden Soeharto di awal pemerintahannya. Kecermatan Pak Harto selaku Pemimpin Pemerintahan Orde Baru tercermin dari pemilihan individu-individu yang menduduki jabatan menteri. Sementara terlontar pendapat bahwa Pak Harto menempatkan kroni-kroninya untuk menduduki jabatan-jabatan strategis di dalam susunan kabinetnya. Pilihan Presiden Soeharto jatuh kepada individu-individu yang tepat untuk menangani perkembangan-perkembangan sektor pertanian dan pengembangan koperasi dengan seluruh pendukungnya. Antara pertanian (utamanya) dengan koperasi dalam konsepsi Pak Harto tak mungkin dipisahkan.
Kita mengenal Ashari Danudirjo, Basuki Rahmat dan M. Sarbini, ketiga menteri tersebut perwira tinggi berasal dari TNI-AD, yang diberi tanggungjawab menangani perkoperasian. Periode tahun itu, pasca terjadinya kupdeta G-30-S/PKI, kondisi keamanan dalam negeri masih sangat rawan. Sehingga konsep pembangunan perlu dikawal oleh individu-individu yang diyakini loyal dan tidak disangsikan pengabdiannya terhadap Pancasila dan Sapta Marga. Di sini saya melihat, Pak Harto tidak ingin mengambil resiko terhadap perencanaan pembangunan sektor pertanian dan koperasi sebagai landasan utama dalam pembangunan nasional. Demikian pula dibentuknya Badan Urusan Logistik (BULOG), untuk pertama kalinya, Kepala BULOG dijabat Achmad Tirtosudiro yang pernah menjadi Direktur Jendral Koperasi di bawah Menteri Ashari, adalah seorang pewira tinggi TNI-AD.
Krisis Pangan
Sekali lagi, wakti itu untuk Pak Harto sektor pertanian merupakan ujung tombak pembangunan nasional. Sangat logis. Mengingat sektor pertanian menjadi tumpuan kehidupan mayoritas rakyat Indonesia. Kita melihat pada tahun 1972, BUUD/KUD terus meluas. Tetapi petaka datang menimpa negeri kita. Terjadi krisis pangan, kekurangan penyediaan beras dan harga-harga meningkat tinggi. Krisis pangan ini kemudian memunculkan berbagai kebijakan baru. Presiden pun segera menginstruksikan agar BUUD/KUD melakukan kegiatan pengadaan pangan. Badan Urusan Logistik (BULOG) diinstruksikan melakukan pembelian padi dari petani untuk kepenting stock nasional, terutama di beberapa provinsi di Pulau Jawa.
Badan-Badan Usaha Unit Desa (BUUD) yang semula hanya dilibatkan dalam program Bimbingan Massal (Bimas sektor pertanian pangan), kemudian ditingkatkan menjadi Koperasi Unit Desa (KUD) dengan tugas serta peranan yang terus dikembangkan. Instruksi Presiden (Inpres) No.4, Tahun 1973, Tentang Unit Desa dikeluarkan 5 Mei 1973, menjadi tonggak yuridis keberadaan KUD. Kebijakan tersebut dilanjutkan dengan Instruksi Presiden No. 4, Tahun 1973, yang membentuk Wilayah Unit Desa (Wilud), pada akhirnya menjadi Koperasi Unit Desa (KUD). Dari sinilah lahir Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), yang berada di bawah Departemen Pertanian.
Krisis pangan yang terjadi di Indonesia tahun 1972/1973, membawa Indonesia menjadi pengimpor beras terbesar di dunia. Setelah terjadi krisis yang cukup meresahkan, pemerintah menetapkan berbagai kebijaksanaan untuk menunjang produksi pangan. Jaringan irigasi teknis dibangun diberbagai daerah dan program pembibitan ditingkatkan. Pembanguan lima tahun (Pelita) I yang mulai memasuki program Pelita II menentukan sasaran utama dengan penyediaan pangan, sandang, perumahan (papan), sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat dan memperluas lapangan kerja.
Pelaksanaan Pelita II cukup berhasil dengan angka pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% per tahun dan inflasi turun menjadi 47%. Ditunjang pendapatan negara yang membaik karena kenaikan harga minyak dunia, pada Pelita II ini pembangunan infrastruktur (irigasi, jalan desa, transportasi segera diperluas yang ditunjang pula dengan pendidikan. Sementara itu, sektor pertanian dan koperasi terus didorong agar menjadi kekuatan utama dalam pembangunan ekonomi nasional.
Oleh karena itu, ketika harga minyak melonjak Pak Harto segera menginstruksikan agar pendapatan ekspor minyak itu juga bisa dipergunakan untuk membangun gudang-gudang sarana produksi pertanian. Juga memperbaiki serta membuat jalan-jalan, sarana transportasi ditingkatkan serta menata sistim kerja yang lebih efesien. Selanjutnya Pemerintahan Orde Baru mengeluarkan Inpres No. 2, Tahun 1978, yang memberikan kebebasan kepada BUUD/KUD untuk melakukan berbagai kegiatan ekonomi yang dimilki daerah pedesaan.
Presiden Soeharto kemudian menampilkan Bustanil Arifin yang dijadikan Menteri Muda Urusan Koperasi merangkap Kepala BULOG. Duet Radius Prawiro sebagai Menteri Perdagangan dan Koperasi serta Bustanil Arifin menghasilkan pertumbuhan serta perkembangan perkoperasian Indonesia melejit. Berbagai kebijaksanaan meluncur dan BULOG pun segera membangun gudang-gudangnya secara bertahap, sesuai acuan REPELITA. Namun berbagai kendala menghadang pada awal tugas Bustanil (1978), ternyata koperasi-koperasi itu terlalu besar bergerak dalam aspek sosialnya. Aspek sosial terlalu menojol, sehingga lupa pada aspek-aspek ekonomi, aspek usaha yang diperlukan sebagai suatu organisasi yang melaksanakan bisnisnya. Terkadang dalam koperasi, kala itu tidak ada bisnisnya.
Setelah melalui perombakan di tangan Menteri Muda Koperasi, Koperasi Unit Desa bisa menjangkau seluruh sendi-sendi kehidupan rakyat. Pertanian (dari gabah, pupuk, obat-obatan hingga sistim irigasi), perikanan (nelayan hingga tempat pelelangan ikan), peternakan (hingga penghasil susu sapi & kambing), ayam, produk telur ayam, usaha listrik, pertambangan, simpan-pinjam, tahu-tempe dan masih banyak lagi. Bahkan di Timor-Timur (kini Timor Leste) provinsi termuda di Indonesia itu, KUD bisa berkembang cepat. Pelaksanaan tataniaga kopi sebagai hasil utama setempat, sudah bisa ditangani oleh KUD.
Peningkatan Peran Koperasi
Peranan KUD dalam menunjang peningkatan pangan (beras) menjadi sangat menonjol pada Pelita III (1979-1984). Dalam periode Pelita III ini penekankan lebih menonojol di segi pemerataan, yang dikenal sebagai Delapan Jalur Pemerataan.
Awal tahun 1980 terjadi resesi yang mempengaruhi perekonomian Indonesia. Pemerintah terpaksa mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal sehingga kelangsungan pembangunan ekonomi bisa dipertahankan. Pemerintah pun dengan berbagai upaya tiada henti-hentinya mendorong koperasi denan memberi peranan dan kewenangan agar bisa meningkatkan dirinya menjadi kuat. Cita-cita Pak Harto, koperasi mampu berdiri sendiri di atas kaki sendiri, tanpa harus ditopang pemerintah. Pembinaan pemerintah pun dititikberatkan pada segi kemampuan managerial dan teknis operasional agar koperasi mampu menjemput kesempatan-kesempatan ekonomi yang tercipta. Pak Harto juga mendorong koperasi pada posisinya nanti akan sejajar dengan usaha perusahaan swasta dan perusahaan negara (BUMN).
Di bawah Kepemimpinan Presiden Soeharto, program transmigrasi juga ditingkatkan. Maknanya, mengalihkan kepadatan penduduk di Pulau Jawa ke pulau lainnya yang masih memiliki lahan luas. Pemerataan penduduk pun dilakukan, sekaligus memberikan kesempatan penduduk Pulau Jawa untuk mengarungi kehidupan yang lebih layak. Kepadatan penduduk di Pulau Jawa mengakibatkan sulitnya mengembangkan mata pencaharian. Di lokasi transmigrasi inilahj pemerintah memberikan berbagai kemudahan melalui serangkaian kebijakannya. Dan jangan lupa, di lokasi transmigrasi inipun pemerintah segera mendorong dibentuknya Koperasi Unit Desa (KUD).
Peranan KUD di daerah transmigrasi tak terlepas dari upaya pembangunan daerah baru dalam mencapai kemandiriannya. Koperasi Unit Desa berhasil menjadi pendorong ekonomi daerah-daerah tersebut dalam memenuhi kebutuhan pokok, menyalurkan sarana produksi, mendirikan warung serba ada, menyalurkan Kredit Candak Kulak (KCK), menyewakan sarana transportasi dan alat-alat pertanian serta pengadaan listrik. Di samping itu, transmigrasi tidak terlepas dari pembangunan daerah baru. Dikemudian hari hadirnya investor dari dalam maupun luar negeri yang membuka perkebunan kelapa sawit turut menciptakan program transmigrasi dalam bentuk Program Transmigrasi Proyek Inti Rakyat (PIR-Trans). Peranan KUD berhasil mendukung para transmigran di daerah PIR-Trans, sehingga banyak petani yang bisa menjadi kaya. Di sini terbukti bahwa secara umum, pada dasarnya koperasi selalu mengemban missi sebagai “agent of development”.
Badan-Badan Usaha Unit Desa/Koperasi Unit Desa melakukan kegiatan pengadaan pangan untuk stock nasional, kemudian diperluas dengan tugas menyalurkan sarana produksi pertanian, utamanya pupuk, benih serta obat-obatan. Pelaksanaan pengadaan pangan oleh KUD sangat berhasil, dalam rangka pemupukan stock nasional maupun pengamanan harga dasar gabah. Badan Urusan Logistik (BULOG) dikembangkan. Setiap tahunnya pasokan beras oleh KUD, rata-rata mencapai 85% dari realisasi pengadaan BULOG.
Pembangunan koperasi perlu diarahkan agar mampu berperan secara lebih luas di dalam perekonomian nasional. Koperasi didorong agar bisa sungguh-sungguh menerapkan prinsip perkoperasian dan kaidah-kaidah usaha dalam tataran perekonomian nasional. Sehingga Koperasi dapat menjadi organisasi ekonomi yang mantap, demokratis, otonomi, partisipatif dan mengandung nilai-nilai sosial. Pembinaan koperasi pada dasarnya dimaksudkan mendorong agar koperasi menjalankan kegiatan usaha dan berperan utama dalam kehidupan ekonomi rakyat.
Pada Pelita IV, koperasi sudah makin berkembang dan memerlukan dukungan kebijakan untuk memperluas peluang usahanya. Presiden Soeharto menyempurnakannya melalui Instruksi Presiden No. 4, Tahun 1984, Tentang Pembinaan dan Pengembangan untuk lebih mendorong KUD menjadi koperasi pedesaan yang serba usaha serta lebih mampu menjadi wahana ekonomi masyarakat pedesaan sesuai potensi yang dimiliki desa dan anggotanya. Instruksi Presiden tersebut menggantikan Inpres No. 2, Tahun 1978.
Serangkaian Instruksi Presiden (Inpres), Keputusan Presiden (Keppres), Keputusan Menteri (Kepmen) dan Surat Keputusan Bersama (SKB) dikeluarkan untuk meningkatkan peranan koperasi pedesaan. Secara bertahap Pak Harto menata pengelola perkoperasian sesuai keperluan dan perkembangannya. Ini tercermin dari awal Orde Baru sektor koperasi hanya ditangani pada tingkat Direktur Jenderal. Sedangkan pada tingkat Menteri baru dikukuhkan sejak Kabinet Pembangunan IV. Pada saat itu pula pemerintah merubah orientasi koperasi dari koperasi sebagai gerakan sosial menjadi kegiatan yang lebih dekat dengan gaya usaha murni, diawali dengan koperasi susu, tahu-tempe, koperasi pasar dan kemudian menyusul koperasi-koperasi lainnya. Titik berat pada Pelita IV ini, adalah sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang mampu menghasilkan mesin industri.
Pak Harto dan rakyat kecil, memang tak terpisahkan. Kepedulian beliau tak pernah pudar. Koperasi di pedesaan terus dipacu untuk meningkatkan produktivitasnya. Kebijakan terus mengalir guna menopang kegiatan di daerah pedesaan. Perkembangan pembangunan sektor pertanian pada akhirnya membawa Indonesia mampu mencapai berswasembada pangan (1984). Upaya ini telah membanggakan Bangsa Indonesia yang mengantarkan Presiden Soeharto di undang oleh Food and Agriculture Organization (FAO) – satu organisasi pangan dunia di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa – ke Roma Italia, untuk menghadiri peringatan hari jadi FAO dan sekaligus melakukan Sidang Dwi Dasawarsa-nya (1985). Dan tahun 1986 meraih penghargaan internasional. Organisasi Pangan Dunia, Food and Agriculture Organization (FAO) tanggal 1 Juli 1986, menganugerahkan medali penghargaan swasembada pangan kepada Presiden Soeharto yang berlangsung di Istana Merdeka.
Sepanjang 12 tahun (sejak terjadinya krisis pangan 1972), Pemerintahan Presiden Soeharto terus memacu sektor pertanian melalui koperasi. Keberhasilan Indonesia dalam swasembada pangan yang sangat dihargai oleh dunia, tidak lepas dari peranan KUD-KUD tersebut. Sebagai pengimpor beras, Indonesia sudah bisa mandiri dan bahkan sempat mengekspor beras produksi dalam negeri.
Jadi, fakta menunjukkan bahwa Pak Harto dalam membangun perekonomian nasional itu tak semata-mata mengejar sasaran “pertumbuhan” yang dituding memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada para konglomerat. Sasaran “pemerataan” dilaksanakan seiring-sejalan dengan sasaran “pertumbuhan”. Ini dibuktikan dengan kepedulian beliau terhadap masyarakat grass root yang mayoritas hidup dari sektor pertanian.
Dalam tatanan perekomomian nasional, koperasi dibangun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. Pembangunan koperasi merupakan tugas dan tanggungjawab pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia. Pada Kabinet Pembangunan V (1989-1994), dilanjutkan program-program perkoperasian sesuai acuan di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pada masa itu kondisi sektor pertanian serta industri membaik. Pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,8% pertahun. Sedangkan posisi perdagangan luar negeri juga menggembirakan, ekspor meningkat.
Presiden Soeharto yang melihat bahwa perkembangan ekonomi melejit ditandai dengan bursa saham mulai melonjak, maka pada bulan Januari 1990 di depan Sidang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menekankan bahwa perusahaan-perusahaan swasta nasional yang telah berkembang perlu didorong untuk menjual sahamnya kepada koperasi. Menurut beliau, hal ini merupakan implementasi perekonomian berdasarkan atas kekeluargaan. Gagasan tersebut kemudian disampaikan kepada 30 perusahaan besar yang tergabung dalam kelompok Prasetya Mulya di Tapos 4 Maret 1990. Penjualan saham terhadap koperasi itu dengan rincian; penjualan saham kepada masyarakat secara perorangan sekitar 20% melalui pasar modal, dan 25% dijual kepada koperasi sebagai kelompok masyarakat yang terorganisir. Para Pengusaha Besar itupun sepakat menjual sebagian sahamnya kepada koperasi dengan harga nominal dan pembayarannya diangsur melalui pendapatan deviden.
Selanjutnya, agar koperasi mampu berperan sebagai sokoguru perekonomian nasional, pemerintah mengatur kembali ketentuan tentang Perkoperasian di Indonesia melalui Undang-Undang sebagai pengganti Undang-Undang No.12, Tahun 1967, Tentang Pokok-Pokok Perkoperasian. Pemerintah kemudian menerbitkan Undang-Undang No. 25, Tahun 1992, tentang Perkoperasian. Terbitnya Undang-Undang No.25, Tanggal 21 Oktober, Tahun 1992, Tentang Perkoperasian, lebih memperkokoh kedudukan Koperasi dalam percaturan perekonomi Nasional. Undang-Undang ini mempertegas fungsi dan peran Koperasi. Antara lain berperan aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat serta memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan koperasi sebagai sokogurunya.
Pembaharuan Undang-Undang Koperasi juga memberi kesempatan koperasi untuk memperkuat permodalan melalui pengerahan modal penyertaan, baik dari anggota maupun bukan anggota. Dengan demikian, koperasi dapat menghimpun dana guna pengembangan usahanya. Seiring dan sejalan dengan Undang-Undang tersebut, koperasi dituntut dapat berkiprah secara profesional. Di sisi lain, Pemerintah Pusat maupun Daerah wajib menciptakan dan mengembangkan iklim serta merupakan jangkauan pembiayaan secara berkesinambungan. Sehingga kebijakan yang konsisten dan political will (kemauan politik) merupakan dasar utama dalam mewujudkan missi Pemerintah Pusat.
Perhatian Terhadap Kemelut Koperasi
Tentu saja tak seluruh kegiatan koperasi di Indonesia berhasil. Masih banyak koperasi mengalami kegagalan, dengan berbagai jenis musabab. Kendala utamanya, faktor SDM yang berakibat bagi profesionalisme management. Tanpa persiapan matang, tugas serta tanggungjawab yang dibebankan pada pundak koperasi akan menimbulkan kegagalan dan meluruhkan citra perkoperasian. Seperti halnya, terlalu besar nilai pinjaman (kredit) yang tak bisa dikembalikan baik oleh koperasi-koperasi maupun oleh pelaku-pelaku usaha kecil, secara individu maupun pelaku usaha kecil yang memperoleh pinjaman dari koperasi. Perlu kita sadari, bahwa adanya jarak antara cita-cita dengan realitas-realitas acapkali tak seimbang. Realitas-realitas seharusnya bisa ditumbuhkan menuju kepada cita-cita koperasi. Dengan memupuk kebersamaan cita-cita serta realitas yang timbul, bisa disatukan untuk perbaikan nasib bangsa menuju kemajuan ekonomi secara nasional.
Berbagai kemelut melingkari sejumlah koperasi. Tetapi Pak Harto tak berpangku-tangan, beliau turut turun-tangan mengatasinya.Kemelut yang pernah terjadi, diantaranya masalah KUD/Koperasi Susu yang mengalami kemelut di tahun 1982. Pak Harto mengatasinya dengan Instruksi Presiden No. 2, Tahun 1985, Tentang Pedoman Koordinasi Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional. Instruksi tersebut secara eksplisit memuat agar produksi susu dalam negeri ditingkatkan melalui modernisasi peternakan rakyat yang dibina melalui koperasi susu. Di pihak lain, Industri Pengolah Susu (IPS) diwajibkan menyerap susu segar dalam negeri, perusahaan susu dalam dan luar negeri tidak diperbolehkan mengimpor susu segar. Selanjutnya Pak Harto kemudian memacu pengembangan Kawasan Usaha Peternakan dalam wadah koperasi dengan mewujudkan Kawasan Peternak Sapi Perah, dalam Koperasi Peternak Sapi Perah di Cibungbulang, Bogor.
Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) pernah mengalami kesulitan keuangan (1985), akibat ketidakmampuannya mengikuti perkembangan ekonomi pasar. Terlindas oleh munculnya perubahan-perubahan pasar regional serta internasional berakibat terdesaknya anggota-anggota GKBI. Usaha pembatikan anggota GKBI mengalami kemunduran karena penjualan ke pasaran umum tidak lancar, diakibatkan munculnya pabrik-pabrik tekstil asal Jepang yang memproduksi batik printing. Produk teknologi printing serta perubahan selera konsumen mempersempit area pemasaran batik.
Secara konsisten Pak Harto segera turun tangan menyelamatkan GKBI. Pemerintah membentuk care taker (pengurus sementara) yang ditugasi mengatasi kesulitan tersebut. Tahun 1989, kemelut GKBI mulai tertanggulangi dan tahun 1993 mulai melakukan diversifikasi usaha. Pada akhirnya bekerjasama dengan pihak swasta dalam negeri, GKBI mampu mendirikan Wisma GKBI terdiri dari 37 lantai, yang berdiri megah di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta.
Masih terdapat berbagai kemelut di ranah perkoperasian Indonesia. Kemelut didua kegiatan koperasi tersebut di atas, sekedar memberikan gambaran bagaimana kepedulian Pak Harto terhadap kesulitan yang timbul di lingkup perkoperasian.
Memacu Kepentingan Rakyat
Pada Kabinet Pembangunan VI (1994-1999), pemerintah terus melanjutkan pengembangan koperasi. Institusi Departemen Koperasi pada Kabinet Pembangunan V diperluas menjadi Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil. Dimaksudkan agar Koperasi dan Usaha Kecil bisa bersama-sama tumbuh-berkembang dan kelompok pengusaha kecil seluruhnya bisa bergabung di dalam wadah koperasi.
Selain memperbaharui Undang-Undang Perkoperasian (1992), Pemerintah juga menerbitkan Undang-Undang No.9, Tahun 1995, Tentang Usaha Kecil, sebagai landasan hukum bagi pengembangan Koperasi serta Usaha Kecil. Kedua undang-undang tersebut menselaraskan perkembangan lingkungan perekonomian yang makin dinamis dan global. Dimaksudkan agar Koperasi dan Usaha Kecil bisa lebih berperan mengisi derap langkah percaturan perekonomian di negeri sendiri. Pemerintah Pusat dan Daerah, Dunia Usaha serta Masyarakat dapat melaksanakan usaha ini secara sinergis. Langkah utama dengan melakukan penumbuhan iklim serta pengembangan usaha terhadap Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah. Langkah kebijakan ini bertujuan agar ketiga pelaku ekonomi tersebut mampu tumbuh serta berkembang menjadi usaha yang tangguh sekaligus mandiri.
Upaya meningkatkan kemampuan dan ketangguhan usaha kecil yang berjumlah besar dan tersebar luas di seluruh tanah air, merupakan kegiatan yang tak terpisahkan dari upaya menumbuhkan kemampuan, ketangguhan dan ketahanan ekonomi nasional secara keseluruhan. Kenyataan menunjukkan, bahwa usaha kecil yang terdiri dari usaha kecil pemula, usaha kecil yang belum layak usaha, usaha kerajinan rumah tangga, nelayan, dan petani yang tersebar di seluruh pelosok tanah air, belum mampu memupuk modal sendiri. Juga belum bisa memanfaatkan sumber permodalan,memanfaatkan peluang pasar, menata organisasi dan menejemen, apalagi menguasai teknologi.
Walau pun strategi ditempuh secara bertahap, sejak Pelita I hingga Pelita VI serta program menyongsong tahun 2003, tidak sejengkal pun Pak Harto bergeser dari benang merah dunia koperasi. Dalam dalam sidang-sidang kabinet Pak Harto ketika membahasan persoalan ekonomi selalu merujuk pada koperasi. Beliau pun selalu berpesan agar pembantu-pembantunya (para menteri) jangan sekali-kali menjauhi koperasi.
Untuk kepentingan masyarakat grass root, Presiden Soeharto memberikan peluang lebih besar kepada Koperasi dan Pengusaha kecil. Beliau mencanangkan “Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN), tanggal 12 Juli 1995. Melalui Gerakan Kewirausahaan tersebut, sumber daya manusia koperasi bisa terus ditingkatkan. Para Pengusaha Besar dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diminta bermitra dan ikut membina koperasi serta Pengusaha Kecil. Gerakan ini bertujuan menggalang seluruh potensi dan kekuatan usaha nasional guna mempercepat laju pembangunan. Pak Harto mengharapkan Koperasi dan Usaha Kecil akan mampu menghadapi globalisasi. Pelaksanaan GKN ini dilakukan melalui koordinasi intensif antara instansi Pemerintah, BUMN, BUMS serta Gerakan Koperasi.
Melalui gerakan kewirausahaan sumber daya insan koperasi terus ditingkatkan. Tantangan globalisasi menuntut kesiapan Koperasi dan Pengusaha Kecil agar selalu tegar. Untuk itu berbagai jenjang dan jenis pendidikan serta latihan peningkatan mutu sumber daya insan koperasi diselenggarakan. Gerakan Koperasi dari berbagai negara tak hanya mengakui kiprah koperasi Indonesia, tetapi juga menjalin kerjasama untuk peningkatan sumber daya manusia (SDM).
Tak sampai setahun, pada 15 Mei 1996, Pak Harto meluncurkan “Gerakan Kemitraan Usaha Nasional”. Mengingat payung pelindungnya adalah Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Usaha Kecil, maka peran utamanya tak lain dan tak bukan, mewujudkan Azas Demokrasi dalam perekonomian rakyat sesuai Undang-Undang No.25,Tahun 1992, serta merealisasikan unsur kemitraan sesuai Peraturan Pemerintah No.44,Tahun 1997, agar dapat segera mendorong pertumbuhan perekonomian nasional.
Seiring dengan terbitnya Peraturan Pemerintah tersebut, dilangsungkan acara Temu Kemitraan Usaha di Istana Bogor (1997) yang dihadiri oleh 1000 peserta. Penegasan pada kemitraan usaha ini, Pak Harto mengingatkan semua pihak agar selalu memperhatikan dua sasaran utama, yakni; menghapus kemiskinan dan memperkecil kesenjangan. Kemitraan usaha diharapkan bisa mengangkat 11% penduduk Indonesia atau 22 juta orang miskin yang tersebar di desa-desa tertinggal melalui Program Keluarga Sejahtera (Prokesra).
Melalui berbagai upaya guna memacu kepentingan rakyat, pemerintah melalui Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil terus memberikan perhatian dan komitmen dengan memperkuat permodalan para insan pelaku Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah. Guna mencapai tujuan mulia tersebut, pemerintah pun menyediakan dana yang sangat besar. Dikandung maksud, agar program-program yang telah disusun untuk memberdayakan masyarakat dapat berjalan dan terlaksana sebaik-baiknya. Khususnya dalam program pengentasan kemiskinan serta mengatasi maraknya pengangguran di negeri tercinta ini. Untuk itu diperlukan upaya-upaya nyata dalam menciptakan iklim yang mampu merangsang terselenggaranya kemitraan usaha, yang kokoh di antara semua pelaku kehidupan ekonomi berdasarkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan.
Terwujudnya kemitraan-usaha yang kokoh, akan lebih memberdayakan Koperasi dan Pengusaha Kecil, agar dapat tumbuh-berkembang menjadi kuat dan mandiri. Pada akhirnya tujuan memantapkan struktur perekonomian nasional, yang seimbang berdasarkan demokrasi ekonomi dan meningkatkan kemandirian serta daya saing perekonomian nasional, dapat dicapai. Untuk itu pemerintah melalui instansi tehnisnya menetapkan kebijakan yang terkoordinasi serta menciptakan iklim yang kondusif.
Guna memperlancar program kemitraan lembaga pembiayaan diperbolehkan memberi prioritas pelayanan dan kemudahan akses dalam penyediaan pendanaan kemitraan. Pemberian keringanan tingkat bunga pinjaman bagi terjalinnya kemitraan dirumuskan secara seksama. Di sisi lain, merumuskan penyederhanaan tatacara dalam memperoleh dana dengan memberikan kemudahan pada pengajuan permohonan, kecepatan memperoleh keputusan, pemberian keringanan persyaratan jaminan tambahan.
Kemudian pemerintah meningkatkan sumber dana dengan mengupayakan; pengembangan sumber pembiayaan dari kredit Lembaga Keuangan Perbankan (LKP) dan Lembaga Keuangan Non-Perbankan (LKNP), pengembangan Lembaga Modal Ventura, peningkatan kerjasama melalui Koperasi Simpan Pinjam dan Koperasi Jasa Keuangan Konvensional.
Koperasi dan Usaha Kecil bisa melakukan kemitraan yang saling menguntungkan dan saling memerlukan. Usaha Besar yang melakukan kemitraan dengan Koperasi dan/atau Usaha Kecil mempunyai hak untuk meningkatkan efesiensi usaha, mendapatkan kemudahan melakukan kemitraan serta membuat perjanjian kemitraan. Program ini merupakan salah satu bentuk kerjasama yang efektif dan efesien bagi peningkatan serta pengembangan kelestarian usaha. Upaya ini merupakan salah satu jalan pintas dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Berkaitan dengan program kemitraan tersebut Presiden Soeharto menunjuk Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil selaku koordinator. Yang diinstruksikan menyusun dan melaksanakan gerakan nasional bersama-sama para Menteri, Gubernur Bank Indonesia (BI) dan Gubernur Kepala Daerah untuk melaksanakan gerakan memasyarakatkan dan membudayakan kemitraan serta kewirausahaan di sektor masing-masing.
Pemerintah juga mengupayakan kondisi iklim usaha yang kondusif, secara sinergis melalui penetapan dan peraturan perundang-undangan serta kebijakan di berbagai aspek kehidupan ekonomi. Mengupayakan agar Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah memperoleh kepastian, pemihakan, kesempatan, perlindungan dan dukungan berusaha yang seluas-luasnya. Sedangkan pengembangannya merupakan upaya yang dilakukan Pemerintah, Dunia Usaha dan Masyarakat untuk memberdayakan Koperasi, melalui pemberian fasilitas bimbingan pendampingan dan bantuan perkuatan modal guna menumbuhkan serta meningkatkan kemampuan daya saing.
Penyediaan danapun merupakan tugas bersama Pemerintah, Dunia Usaha dan Masyarakat. Langkah ini dapat dilakukan melalui Bank, Koperasi dan Lembaga Keuangan Non-Perbankan (LKNP) dengan tujuan mengembangkan serta memperkuat permodalan Usaha Kecil dan Menengah. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Dunia Usaha dapat memberikan hibah yang tak mengikat. Mengupayakan bantuan luar negeri dan sumber pembiayaan lain yang syah serta tidak mengikat untuk Usaha Kecil dan Menengah. Selain itu memberikan insentif dalam bentuk kemudahan persyaratan perizinan, keringanan tarif sarana prasarana dan bentuk insentif lainnya yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Fungsi dan peranan insan koperasi di Indonesia tak lagi disangsikan. Pemerintah menyadari sepenuhnya partisipasi Koperasi dan Usaha Kecil merupakan penyangga pertumbuhan dan perkembangan potensi ekonomi rakyat, khususnya di pedesaan. Gerakan Koperasi di Indonesia telah mampu mewujudkan demokrasi ekonomi melalui kebersamaan, kekeluargaan, keterbukaan serta nilai-nilai demokrasi.
Pada masa Orde Baru berbagai peluang, rangsangan dan kemudahan bagi rakyat kecil untuk bangkit mensejahterakan dirinya terus ditingkatkan. Usaha-usaha pemberdayaan rakyat antara lain ditunjang dengan berbagai jenis kredit usaha kecil dan penyisihan keuntungan BUMN sebesar 5 persen digunakan untuk membantu koperasi dan pengusaha kecil.
Aktualisasi kinerja koperasi makin mantap. Dari sentuhan kebijakan Pak Harto yang secara konsisten memacu dinamika pertumbuhan dan perkembangan koperasi, sangat membesarkan hati ketika beliau mencanangkan “Tahun Pemantapan Koperasi” ketika menyambut Tahun Baru 1997. Tahun Pemantapan Koperasi itu bertepatan dengan 50 tahun usia Gerakan Koperasi Indonesia. Melalui kebijakan beliau pula, gerakan koperasi memantapkan keteguhan tekad menghadapi globalisasi, melalui “Gerakan Desa Cerdas Teknologi”.
Pada Tahun Pemantapan Koperasi ini, Ketua Umum Dekopin, Sri Mulyono Herlambang menyadari sejumlah tugas berat dalam memajukan serta menggerakkan dinamika koperasi. Terlepas dari berbagai kendala dan tantangan, Dekopin merasakan semangat membangun koperasi tak pernah surut. Pertumbuhan serta kemajuan koperasi Indonesia sangat ditentukan oleh peranan Pak Harto, yang secara konsisten gigih menggerakkan ekonomi kebersamaan yang menjadi dasar jiwa koperasi.
Oleh karenanya, menjelang peringatan 50 tahun usia Gerakan Koperasi Indonesia, anggota Induk-Induk Koperasi dalam rapatnya memutuskan memberikan gelar “Bapak Penggerak Koperasi” kepada Presiden Soeharto. Pimpinan Dekopin kemudian mensepakati pemberian gelar tersebut ketika digelarnya Musyawarah Nasional Koperasi ke 14 (1997). Pada saat peringatan 50 tahun Gerakan Koperasi Indonesia, 12 Juli 1997, Dekopin menyampaikan gelar “Bapak Penggerak Koperasi” kepada Presiden Soeharto, di tengah-tengah upacara peringatan tersebut. Presiden Soeharto menyambut pemberian gelar “Bapak Penggerak Koperasi” dengan rendah hati menyatakan :
“Penghargaan ini mudah-mudahan tidak melunturkan saya untuk bersama-sama menggerakkan koperasi”.
Dari serangkaian peringatan Hari Koperasi, yang paling mengesankan adalah saat memperingati 50 tahun Gerakan Koperasi Indonesia serta pemberian gelar “Bapak Penggerak Koperasi” kepada Presiden Soeharto. Saat peringatan tahun emas Gerakan Koperasi dan penganugerahan gelar kepada Presiden Soeharto, Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil melengkapinya dengan pembuatan prangko berbentuk segilima bergambarkan Presiden Soeharto. Kebetulan, saya terlibat langsung dalam pembuatan prangko peringatan tahun emas Gerakan Koperasi tersebut.
Hasil Jerih-Payah Rakyat
Masih ingat ucapan Pak Harto dalam pidatonya ketika menghadiri Sidang Food and Agriculture Organization di Roma (1985)? Di sana beliau menegaskan bahwa keberhasilan Indonesia berswasembada pangan sebagai hasil kerja keras, jerih payah rakyat pedesaan di Indonesia. Selaku seorang Presiden dari negeri yang tumbuh dari sektor pertanian, Pak Harto tidak membusungkan dada. Beliau tidak menjemput penghargaan internasional itu dengan menyebut sebagai keberhasilannya sebagai seorang pemimpin. Pak Harto yang memiliki pembawaan “rendah hati” tak sekali pun menepuk dada atas keberhasilan pembangunan nasional.
Oleh karena itu, menyadari pentingnya kehidupan koperasi untuk berbagai seluruh tataran masyarakat Indonesia, Pak Harto terus mendorong agar di setiap lapisan masyarakat bisa ditumbuh-kembangkan koperasi. Dari berbagai kebijakan yang dituangkan Pemerintah Orde Baru dalam upaya membangkitkan masyarakat grassroot merupakan konsistensi pemerintah agar kelompok Koperasi dan Usaha Kecil mampu menjadi sokoguru ekonomi nasional. Pemerintah telah mengerahkan segala daya dan upaya mendorong seluruh komponen masyarakat bergiat mendirikan koperasi, dengan harapan memajukan perekonomian nasional berlandaskan gotong-royong.
Kita bisa menyaksikan derap langkah Koperasi Wanita pun turut menentukan keberhasilan organisasi serta usaha koperasi secara nasional. Selain itu pemerintah menghimpun generasi muda dalam berkoperasi, melalui Koperasi Pemuda Indonesia (Kopindo) yang didirikan di Malang pada tanggal 11 Juni 1981. Koperasi Pemuda Indonesia merupakan koperasi sekunder tingkat nasional dan beranggotakan koperasi-koperasi primer di kalangan generasi muda yang tersebar di seluruh Indonesia. Anggotanya terdiri dari Koperasi Mahasiswa, Koperasi Pramuka, Koperasi Pemuda, Koperasi Siswa dan Koperasi Pondok Pesantren.
Koperasi Pondok Pesantren (Koppontren) mendapat perhatian khusus dari Pak Harto, karena dari perspektif kultur sosial, Koppontren memungkinkan berkembang pesat di kalangan masyarakat pesantren. Selain menjadi wahana pendidikan Agama Islam, sebagian besar Pondok Pesantren juga menjalani fungsi sosial ekonomi sesuai ajaran ekonomi Islam yang menitikberatkan pada kebersamaan, kejujuran dan membantu yang lemah. Aturan yang sesuai dengan syariat Islam itu mempunyai kesamaan dengan prinsip-prinsip koperasi. Secara keseluruhan dari tahun 1985-1996, jumlah Koppontren mencapai 1.067 unit dengan jumlah anggota 232.954 orang.
Melalui sektor pertanian, pemerintah semasa itu allout menegakkan pembangunan ekonomi nasional. Pak Harto yang sangat mendambakan petani di seluruh Nusantara menjadi sejahtera. Saya sempat menyaksikan bagaimana gegap-gempitanya kiprah Gerakan Koperasi di Indonesia. Berkesempatan menyusuri berbagai jenis koperasi di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, Irian Jaya (kini Papua) dan Timor-Timur (kini Timor Leste), sungguh menakjubkan. Keberhasilan membina koperasi hingga ke lini pedesaan sempat saya saksikan.
Dari sekian banyak koperasi-koperasi yang saya kunjungi, beberapa kegiatan koperasi yang saya kagumi. Semisal di utara Kota Jayapura (Irian Jaya), para transmigran asal Pulau Jawa yang menjadi anggota KUD setempat, berhasil mengembangkan tahu-tempe dengan mempekerjakan sejumlah anak-anak muda setempat. Selain berhasil untuk meningkatkan ekonominya, budaya mengkonsumsi tahu-tempe pun marak di kalangan masyarakat Jayapura. Sehingga missi para transmigran tersebut tak hanya mengembangkan sisi ekonomi, namun juga mengandung sisi kultural.
Hasil kiprah selama Pemerintahan Orde Baru, tercatat pada akhir tahun 1997, volume usaha koperasi telah mencapai lebih dari Rp. 13,2 triliun. Di awal Repelita I volume usaha koperasi baru mencapai Rp. 61,6 Miliar, sedangkan aset yang dimiliki koperasi meningkat tajam dari Rp. 21,9 Miliar pada Pelita I menjadi Rp. 8,2 Triliun tahun 1997.
Hingga Desember 1997, telah terbentuk 52.206 Unit Koperasi dan 8.635 unit diantaranya Koperasi Unit Desa (KUD), yang sudah menjadi KUD Mandiri sebanyak 7.264 unit, berlokasi di hampir setiap kecamatan. Sejumlah 5.349 Koperasi Mandiri telah berada di perkotaan dengan jenis dan bentuk yang makin beragam. Jumlah anggota koperasi pada tahun 1997, baru 29,1 juta orang. Ini berarti tak mencapai 25% dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia. Realisasi omset usaha KUD (1997) dalam pengadaan pangan secara nasional mencapai Rp. 1,082 Triliun.
Selain pemberian Kredit Candak Kulak (KCK), dan terakhir disediakan pula Kredit Usaha Kecil (KUK) yang hingga akhir Agustus 1997 mencapai Rp. 66.45 Triliun. Sedangkan pada tahun 1996, alokasi kredit untuk koperasi dan anggotanya dalam bentuk Kredit Usaha tani (KUT) sebesar Rp. 243,1 Miliar, Kredit Koperasi Primier Untuk Anggotanya (KKPA) sebesar Rp. 938,2 Miliar, untuk KUD sebesar Rp. 114,3 Miliar.
Di sektor permodalan telah berhasil dibentuk sekitar 25 skim kredit dengan nilai pinjaman lebih dari Rp. 67,2 Triliun. Perusahaan Modal Ventura (PMV) telah terbentuk 25 unit di tingkat provinsi. Di tengah-tengah gejolak moneter, pemerintah mengembangkan skim kredit baru, Kredit Modal Kerja Usaha Kecil dan menengah (KMK-UKM) yang juga berlaku bagi koperasi, dengan plafond kredit maksimum Rp. 3 Miliar untuk tiap nasabah. Kredit yang diberikan ini sepenuhnya bersumber dari dana BUMN yang waktu itu tersedia sebesar Rp. 9,9 Triliun.
Ketika krisis ekonomi melanda Indonesia (1997-1998), di mana mayoritas Pengusaha Besar jatuh bergelimpangan, ternyata kelompok Usaha Kecil masih tetap mampu bertahan. Khususnya kelompok Usaha Mikro dan Usaha Kecil mampu memberikan kontribusi dalam mempertahankan roda perekonomian nasional. Ini menunjukkan bahwa potensi ekonomi rakyat tak dapat diabaikan. Data yang terkumpul (awal 1998), jumlah pengusaha yang tergolong dalam kelompok Usaha Mikro dan Kecil di negeri ini mencapai 50 Juta unit. Sedangkan yang tergolong kelompok Usaha Menengah diperkirakan mencapai sekitar 8,8 Juta unit. Jumlah tersebut merupakan potensi yang sangat signifikan untuk ditumbuhkembangkan dalam rangka upaya pemerintah mengentaskan kemiskinan.
Fakta yang jelas terpampang, globalisasi harus disikapi dengan kesiapan yuridis maupun disiplin management. Hiruk-pikuk koperasi pun tak lagi terdengar nyaring di telinga kita. Upaya memperkenalkan program-program baru untuk Koperasi dan Usaha Kecil, tak lagi merunut pada keberhasilan masa lalu. Undang-Undang Perkoperasian pun sudah berubah, tak lagi bertumpu pada ekonomi kerakyatan. Di zaman reformasi ini koperasi justeru ditopang dengan Undang-Undang N0.17, tahun 2012 yang berkiblat pada ekonomi liberalisme. Apalagi Badan Urusan Logistik (BULOG) yang tadinya berperan sentral terhadap berlangsungnya stock pangan nasional, telah tergabung di dalam area Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Mungkin tak dipahami, bahwa BULOG berada pada garis langsung ke Presiden, sehingga Kepala Pemerintahan bisa langsung memantau situasi stock pangan di negeri ini.
[1] Wartawan Senior Istana Pada Masa Kepemimpinan Presiden Soekarno (1964-1967) dan Presiden Soeharto (1974-1983).