Antara Badan Otoritas Pangan dan Bulog
Pemerintah sebaiknya menjadikan Perum Bulog sebagai Badan Otoritas Pangan. Selain lebih simpel, perubahan status Bulog menjadi Badan Otoritas Pangan akan menghemat biaya, waktu, dan tidak menciptakan rantai birokrasi baru.
DEWAN Perwakilan Rakyat pada Kamis, 18 Oktober 2012, menyetujui Rancangan Undang-Undang Pangan. Esensi terpenting dari UU Pangan yang baru, pangan harus senantiasa tersedia secara cukup, aman, bermutu, bergizi, dan beragam, serta harganya pun harus terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Lahirnya UU Pangan yang menggantikan UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan salah satunya didasari oleh kecemasan akan impor pangan yang semakin meningkat, baik jumlah maupun nilainya. Sebagai contoh, beras sebagai makanan pokok bangsa ini pun sebagiannya masih diimpor dari negara lain. Swasembada beras pun seakan terus menjadi mimpi. Padahal, pada 1984 Indonesia bisa berbangga karena sanggup memenuhi sendiri kebutuhan beras di dalam negeri.
Keasyikan untuk terus melakukan impor pertanian salah satu sebabnya adalah karena ada keuntungan di balik itu. Impor beras yang dilakukan, misalnya, bukan semata-mata karena kekurangan stok beras di masyarakat, tetapi di balik setiap kilogram beras yang diimpor, ada keuntungan yang luar biasa.
Itulah yang kemudian membuat kita enggan untuk bisa mencapai swasembada. Ketika kebutuhan masyarakat bisa dipenuhi sendiri, maka tidak ada peluang bisnis yang bisa didapat. Itulah salah satu yang membuat kita begitu asyik mengimpor dan lupa untuk meningkatkan produksi pertanian di dalam negeri.
Padahal dulu Indonesia memiliki Bulog. Pada awal sejarahnya, Bulog yang berstatus Lembaga Pemerintah Non Departemen dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden mampu mengendalikan harga dan mengelola persediaan beras, gula, tepung terigu, kedelai, pakan, daging sapi dan bahan pangan lainnya. Keberadaan Bulog sebagai importir tunggal juga mampu membatasi impor pangan agar tidak dikendalikan para mafia importir.
Namun ketika era reformasi lahir pada 1998, wewenang Bulog pun dipangkas atas tekanan Dana Moneter Internasional (IMF). Komoditas pangan pun diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Alhasil, kebijakan itu merugikan masyarakat dan petani. Harga bahan kebutuhan pokok berfluktuasi tajam dan impor pangan pun tak terkendali.
Perubahan status Bulog dari Lembaga Pemerintah Non Departemen menjadi Perusahaan Umum pada 2003 telah mengubah peran dan tujuan Bulog. Tujuan awal Bulog sebagai lembaga negara adalah menyejahterakan masyarakat tanpa memikirkan profit secara berlebihan. Namun, kini Perum Bulog lebih memikirkan profit dibandingkan dengan kesejahteraan masyarakat. Perubahan orientasi ini terlihat dari seringnya Perum Bulog mengimpor beras padahal persediaan beras di tingkat petani lokal masih mencukupi.
Kini semangat swasembada pangan tercermin dalam UU Pangan yang baru. Untuk itu, UU Pangan mengamanatkan hadirnya Badan Otoritas Pangan yang bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden guna mewujudkan kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan pangan nasional. Lembaga itu dapat mengusulkan kepada Presiden, untuk memberi penugasan khusus bagi BUMN di bidang pangan, guna melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, atau distribusi pangan pokok dan pangan lainnya. Status lembaga yang harus terbentuk paling lama pada 2015 itu akan diatur melalui peraturan presiden (perpres).
Mengingat tugas dan peran Badan Otoritas Pangan yang mirip dengan tugas dan peran Bulog pada Pemerintahan Presiden Soeharto, banyak kalangan menyarankan Pemerintah sebaiknya menjadikan Perum Bulog sebagai Badan Otoritas Pangan. Selain lebih simpel, perubahan status Bulog menjadi Badan Otoritas Pangan akan menghemat biaya, waktu, dan tidak menciptakan rantai birokrasi baru.
Apalagi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah berencana membuat Instruksi Presiden yang akan merevitalisasi peran Bulog sebagai stabilisator harga pangan sekaligus penyangga stok pangan utama nasional. Revitalisasi bertujuan agar Bulog bisa menjaga kepentingan petani di satu sisi dan kepentingan konsumen di sisi lain. Konsumen dapat membeli pangan dengan harga terjangkau, tapi petani juga memperoleh nilai tukar yang bagus.
Presiden Yudhoyono juga menyatakan Bulog akan kembali diserahi tugas mengelola beras, gula, kedelai, dan daging sapi. Bahkan, dikabarkan Bulog akan ditempatkan langsung di bawah Presiden. Jika demikian, itu berarti peran Bulog akan dikembalikan ke era Pemerintahan Pak Harto.
Perum Bulog dikabarkan pula berharap bisa menjalankan tugas sebagai Badan Otoritas Pangan yang memiliki kewenangan penuh untuk mengatur pangan dalam negeri. Lembaga itu menyatakan siap ditunjuk sebagai stabilisator pangan, menyusul kehadiran UU Pangan yang baru.[]
Sumber: Harian Pelita 22 Oktober 2012