(Prinsip hidup orang Nusantara asli itu hidup rukun dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang menyebabkan penderitaan maupun hilangnya nyawa orang lain. Munculnya budaya pertengkaran itu karena dibawa pejajah dan pendatang)
Pandangan kesejarahan sebagaimana diungkapkan sesepuh-sesepuh (orang-orang yang di tuakan) di pedalaman Jawa diatas memiliki dua dimensi pengertian. Pertama, merupakan peringatan terhadap situasi kebangsaan yang penghuninya semakin jauh dari spirit dan nila-nilai kenusantaraan. Karakter asli masyarakat Nusantara adalah ketaatannya terhadap pijakan nilai-nilai transendensi —keyakinan dan ketundukan terhadap esensi dan nilai-nilai Ke-Tuhanan—, memegang teguh harmoni dan kerukunan —keguyuban dan gotong royong—, menghargai keragaman (pluralitas) dan menolak bentuk-bentuk perilaku yang dapat menyebabkan penderitaan maupun hilangnya nyawa orang lain tanpa alasan yang dibenarkan. Pada saat ini karakter tersebut terdegradasi mencapai taraf mencemaskan dengan ditandai maraknya perilaku destruktif dalam mencapai tujuan. Pandangan kesejarahan itu merupakan bentuk peringatan, bahwa sejarah kegemilangan Nusantara pada masa lalu dibangun di atas spirit dan nilai-nilai tersebut. Tercerabutnya spirit dan nilai-nilai itu dapat mengagalkan upaya meneguhkan kembali peradaban Nusantara —dalam konstruksi Indonesia modern— sehingga cita-cita menghadirkan kembali kegemilangan masa lalu dengan prestasi yang lebih baik —sebagaimana harapan segenap masyarakat Indonesia— hanya akan menjadi fatamorgana.
Kedua, merupakan jawaban atas berbagai tudingan sebagian pihak yang menilai masyarakat Nusantara memiliki sifat hipokrit (munafik). Pada satu sisi menekankan dan membanggakan nilai-nilai adiluhung namun secara bersamaan dijumpai fakta adanya bentuk-bentuk perilaku destruktif dan moralitas yang rendah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (perilaku kriminal, korupsi, dll). Pandangan kesejarahan itu dimaksudkan untuk membuka kesadaran bersama, bahwa munculnya sifat destruktif merupakan perilaku bawaan penjajah dan pendatang yang harus dikikis habis[1]. Pandangan itu tanpa bermaksud memungkiri sebagian pendatang juga menyumbangkan nilai-nilai kearifan yang dapat memperkaya spirit dan nilai-nilai kenusantaraan[2].
Mengacu pesan kesejarahan orang-orang Jawa[3] itu dapat kita tarik pemahaman, kenapa Presiden Soeharto menekankan wasiat untuk tetap berpijak pada Pancasila sebagai pijakan idiologis penyelenggaraan Negara.
“Wasiat saya, sebenarnya bukan wasiat saya sendiri, melainkan wasiat atau pesan kita bersama. Yakni, agar mereka yang sesudah kita benar-benar dapat menjamin kelangsungan hidup bangsa dan Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini. Selama bangsa Indonesia tetap berpegang kepada Pancasila sebagai landasan idiilnya, dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusinya, (dan tetap setia kepada cita-cita perjuangannya, ialah mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila), dengan sendirinya persatuan dan kesatuan bangsa itu akan terwujud. Berpegang kepada kedua hal itu, cita-cita perjuangan sebagai bangsa yang ingin tetap merdeka, berdaulat, bisa hidup dalam kemakmuran dan keadilan, niscaya akan tercapai”[4]
Pancasila merupakan spirit dan nilai-nilai kenusantaraan yang berhasil dielaborasi kembali oleh generasi Bung Karno. Sebelumnya, spirit dan nilai-nilai itu tertanam kuat dalam kantong-kantong kultural masyarakat Nusantara dan menjadi pijakan bagi tegaknya peradaban Nusantara berabad-abad lampau. Spirit dan nilai-nilai itu ditransformasikan secara terus menerus kepada generasi-generasi bangsa dan juga diterima oleh Presiden Soeharto melalui para leluhur-leluhurnya. Pancasila merupakan road map idiologis, bagi bangsa Indonesia untuk menegakkan kembali (merekonstruksi) eksistensi peradabannya yang tenggelam akibat Paregreg, maupun upaya-upaya dekonstruksi pada masa-masa kolonial di era-era sesudahnya.
Spirit idiologis merupakan syarat pembangunan sebuah peradaban. Sebagaimana diungkapkan John Gardner, cendekiawan Amerika dan pernah menjadi Menteri Kesehatan Pemerintahan John J.F. Kennedy yang menyatakan:
“Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran, kecuali bangsa itu percaya kepada sesuatu, dan sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban yang besar[5]”.
Wasiat Presiden Soeharto diatas bukanlah sekedar himbauan normatif, akan tetapi merupakan cerminan pandangan kesejarahan bahwa —sebagaimana syarat tegaknya peradaban bangsa-bangsa lain— tegaknya kembali peradaban Nusantara memerlukan keteguhan masyarakatnya memegang teguh spirit dan nilai-nilai bangsanya sendiri. Spirit dan nilai-nilai itu dalam format Indonesia Merdeka terelaborasi kedalam Pancasila.
Pancasila bukanlah agama, akan tetapi —sebagaimana piagam Madinah—merupakan “manajemen pemersatu keragaman”. Keragaman sendiri merupakan keniscayaan pencipataan Tuhan[6] dan keberadaanya bukan untuk dihapuskan, akan tetapi dikelola sedemikian rupa agar melahirkan prestasi-prestasi positif bagi kesejahteraan ummat manusia secara menyeluruh[7]. Pancasila —meminjam istilah Dr. Nucholish Madjid— merupakan nuktah-nuktah pemersatu keragaman masyarakat Nusantara yang multikultural (terdiri dari berbagai suku, bangsa, bahasa, warna kulit dan agama). Pancasila juga merupakan titik temu komitmen kebangsaan atau rumusan konsensus nasional (seluruh elemen bangsa) dalam mewujudkan tatanan peradaban Indonesia.
Tanpa adanya konsensus —dalam semangat keragaman— pembangunan peradaban tidak bisa ditegakkan. Sebaliknya, pemangkasan keragaman atas nama kepentingan pencapaian tujuan bersama juga akan menjadi batu sandungan pembangunan sebuah peradaban. Oleh karena itu titik temu kepentingan bersama (konsensus nasional) harus dicapai —dalam konstruksi pengakuan terhadap berbagai keragaman— sebagai prasyarat terlaksananya pembangunan peradaban bangsa.
Pancasila —meminjam istilah Bung Karno— merupakan philosophische grondslag yang disepakati bersama sebagai idiologi bangsa. Merupakan weltanschaung dimana arah dan tujuan negara Indonesia diletakkan dan dengan cara apa tujuan itu hendak dicapai. Pancasila merupakan koridor yang harus ditaati segenap komponen bangsa dalam melakukan rekonstruksi dan menegakkan kembali eksistensi peradabannya.
Pancasila merupakan sebuah konsepsi peradaban yang diletakkan diatas nilai-nilai transendensi (sila 1), tegak dan terlindunginya harkat dan martabat kemanusiaan (sila ke-2), kebulatan tekad segenap komponen bangsa mewujudkan peradaban tersebut diatas keutuhan teretori NKRI, terselenggaranya mekanisme demokrasi yang dibimbing oleh hikmat kebijaksanaan dalam penyelenggaraan negara (sila ke-4) dan komitmen untuk terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat (sila ke-5).
Orientasi transendensi adalah ketertundukan, kepatuhan dan kepasrahan kepada Tuhan, Hukum Tuhan dan perjanjian kontraktual antara sesama warga yang tidak melanggar jiwa hukum Tuhan. Maka mengacu sila pertama Pancasila, peradaban yang hendak diwujudkan di atas bumi nusantara dalam format Indonesia moderen (NKRI) adalah peradaban dari masyarakat atau bangsa ber-Tuhan. Sebuah pranata sosial-kemasyarakatan dan kebangsaan yang dielaborasi dari hukum-hukum kehidupan universal yang bersumber dari nilai-nilai ke-Tuhanan.
Berdasar konsepsi tersebut, negara bertanggung jawab mendorong seluruh masyarakat Indonesia sebagai masyarakat ber-Tuhan sesuai keyakinan dan kepercayaan masing-masing, dan menjaga harmoni antar ummat beragama untuk saling menghargai/toleran atas pilihanan agama sesuai keyakinan setiap warga negara. Dorongan negara kepada seluruh masyarakat untuk ber-Tuhan tidak dilakukan melalui pemaksanaan, melainkan melalui proses edukasi dengan mendorong terlembaganya sistem edukasi keagamaan, sehingga setiap individu memiliki kedewasaan, kematangan dan kemerdekaan menentuan pilihannya dalam beragama. Hal yang tidak bisa dipungkiri adalah prinsip kemutlakan keyakinan dari masing-masing ajaran agama dan keragaman tingkat pemahaman keagamaan masing-masing individu yang dapat menyebabkan munculnya kesalahpahaman dan memicu keresahan dalam hubungan antar ummat beragama. Disinilah peran negara untuk membuat pengaturan agar keresahan itu bisa direduksi sehingga kehidupan antar ummat beragama yang toleran dapat diwujudkan.
Ketika pengetahuan, pemahaman dan sikap-sikap keagamaan masing-masing individu telah diresapi dalam tingkat kedewasaan dan kematangan, maka spirit nilai-nilai ke-Tuhanan akan terejawantah kedalam pranata sosial-kemasyarakatan-kenegaraan-kebangsaan dan dengan sendirinya akan membentuk sebuah peradaban yang disangga oleh hukum-hukum kehidupan universal yang bersumber dari nilai-nilai Ketuhanan. Kehadiran negara untuk memfasilitasi gairahnya sistem edukasi keagamaan dan pengaturan untuk terwujudnya toleransi beragama tidak bisa dikatakan sebagai bentuk campur tangan negara terhadap kemerdekaasn pilihan setiap warga untuk beragama atau berkeyakinan. Tanpa adanya kehadiran negara dalam dua hal tersebut, bentuk-bentuk intoleran yang dilatarbelakangi oleh ketidakmatangan dan ketidakdewasaan sikap kegamaan akan bermunculan dan menggagalkan terwujudnya sebuah peradaban yang bersumber dari nilai-nilai ke-Tuhanan itu sendiri.
Konsekuensi orientasi transendensi (ber-Tuhan) adalah komitmen untuk tegak dan terlindunginya nilai-nilai dan harkat martabat kemanusiaan. Konsekuensi “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” bukanlah kebebasan individual tanpa batas, akan tetapi sebuah perlindungan harkat dan martabat kemanusiaan dalam kerangka keadaban. Maka bentuk-bentuk kebebasan yang tidak beradab tidak mendapat tempat sebagai bagian dari perlindungan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan itu sendiri. Begitu pula implementasi perlindungan HAM (Hak Asasi Manusia), tidak bisa diterapkan kedalam bentuk-bentuk perilaku yang esensinya melanggar HAM itu sendiri.
Rumusan sila ketiga Pancasila adalah “Persatuan Indonesia” yang dapat dimaknai sebagai kebulatan tekad segenap warga negara untuk mewujudkan peradaban Pancasila melalui format Indonesia modern, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Rumusan sila tersebut bukan semata-mata “keutuhan wilayah NKRI”, akan tetapi komitmen untuk secara bersama-sama melindungi keutuhan teritori fisik dan idiologi bangsa (visi peradaban) yang hendak diwujudkan diatasnya. Maka bentuk-bentuk upaya dekonstruksi kedaulatan teritori fisik dan idiologi bangsa —sebagai road maps pembangunan peradaban– merupakan pengingkaran terhadap sila ke-3 Pancasila ini.
Konsepsi peradaban Pancasila juga menekankan terselenggaranya mekanisme demokrasi dalam penyelenggaraan negara, namun dengan penekanan bimbingan “hikmat kebijaksanaan” dalam proses permusyawaratan. Dalam Konsepsi UUD 1945 (sebelum amandemen), kehadiran institusi “hikmat kebijaksanaan” ini dimanifestasikan dengan utusan golongan. Selain untuk menjadi penyeimbang para wakil rakyat hasil proses pemilu bebas, utusan golongan dimaksudkan untuk mengakomodasi multikulturalisme Indonesia. Sebagai contoh, suku-suku kecil di Indonesia yang secara kualitas maupun kuantitas akan kesulitan menyodorkan wakilnya untuk turut menentukan arah dan kebijakan negara melalui proses pemilu bebas.
Peradaban Pancasila juga menekankan proses penyelenggaraan negara dilakukan secara adil untuk semua golongan. Rumusan sila ke-5 Pancasila menekankan terwujudnya sistem yang adil dalam segala bidang, sehingga seluruh sumber daya dan capaian pembangunan dapat diakses serta dinikmati secara adil.
Sebagai philosophische grondslag, kelima sila tersebut menjadi dasar/ rujukan atau koridor-koridor yang harus ditaati dalam mewujudkan tujuan negara, yaitu terlindunginya segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, majunya kesejahteraan umum, cerdasnya kehidupan bangsa dan keikutsertaanya dalam mewujudkan ketertiban dunia. Konsepsi peradaban Pancasila ini pada era reformasi banyak diabaikan. Implikasinya bangsa Indonesia seakan berjalan tanpa orientasi, tanpa jati diri, dan kehadirannya tidak memiliki gaung atau harga diri dalam percaturan peradaban-peradaban dunia.
***
[1] Konflik antar masyarakat itu merupakan kelanjutan politik disintegrasi kekaisaran Cina terhadap kerajaan induk (Majapahit)-vasal masa Paregreg, politik adu domba Kolonialis Eropa serta pembenaran pertentangan (perlawanan) kelas dan antar golongan dalam idiologi komunisme. Peristiwa tersebut (yang kesemuanya dibawa dari luar) telah menyemaikan pertentangan antar sejumlah anggota masyarakat Nusantara dan perilaku tersebut terbawa hingga saat ini.
[2] Banyak Wali Songo berlatar belakang pendatang, namun keberadaanya merupakan penganjur kearifan dan akhirnya diterima secara penuh dalam masyarakat Nusantara. Oleh karena itu harus dihindarkan dari simplikasi antara ajaran-ajaran/ nilai-nilai positif dengan budaya hidup yang dibawa pendatang.
[3] Bagi sesepuh-sesepuh Jawa, penggunaan istilah “orang Jawa” bukan mengacu pada etnis penghuni Pulau Jawa saja, akan tetapi melingkupi masyarakat Nusantara yang terdiri dari berbagai etnis. “Wis Jowo” memiliki pengertian sebagai penggambaran kepribadian matang, dewasa, atau full personality, insan kamil. Sedangkan “Ora Jowo” adalah penggambaran sosok pengertian sebagai pribadi yang tidak dewasa, split personality, walaupun usianya sudah tergolong tua. Kesalahan dalam memaknai penyebutan itu menyebabkan pengajuan falsafah-falsafah Jawa seringkali dinilai sebagai bentuk “Jawa sentris”. Padahal yang dimaksudkan adalah masyarakat Nusantara secara keseluruhan. Namun tidak dipungkiri nilai-nilai tersebut banyak terdokumentasikan (terlembagakan) di Jawa, sebagai konsekuensi adanya imperium besar skala kebangsaan (Majapahit) yang berpusat di pulau Jawa).
[4] G. Dwipayana & Ramadan KH, Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, (Jakarta: PT. Kharisma Bunda, 1989), hlm 566-567.
[5] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992) hlm xxiii.
[6] Sebagaimana diungkapkan dalam cacatan kaki no. 93 pada Bab V.
[7] Sebagaimana ajaran Islam, menekankan keberadaan ummatnya harus mampu memegang tehuh ajarannya agar bisa menjadi rahmat bagi seluruh alam raya, dan bukan hanya untuk kepentingan primordial sempit pemeluknya.